Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Wanita Tanda Tanya
20 Juni 2021 11:54 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Moh dzaky Amrullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bagian II
ADVERTISEMENT
Perkenalkan, namaku Elma, jika kalian menganggapku perempuan, kalian salah, Elma itu panggilan yang diberikan ibuku setelah kepergian ayahku, panjangnya Elmadury. Kebanyakan teman-temanku juga memanggilku dengan sebutan Elma bukan Dury.
ADVERTISEMENT
Baiklah, Jumat kemarin aku sudah menceritakan kisahku lewat tulisanku yang berjudul Gerbang Awal , bagaimana perjalananku sampai diterima di Universitas Brawijaya. Aku tak ingin panjang lebar menceritakan kisah yang sudah aku paparkan jum’at lalu, jika kalian penasaran, bacalah tulisanku dengan judul Gerbang Awal sebelum postingan ini.
“kriiiing kriiing kriiiing” jam becker itu terus membangunkan sosok yang sedang terlelap menyelami lautan mimpi. Semalam ia sibuk mencari sesuatu yang akan dibawa ke ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) di hari pertamanya.
Seperti banyak kisah yang telah dikisahkan para mahasiswa ketika ingin memasuki kampus, bahwa ospek itu sangat tidak enak, jika saja ada suatu hal yang sudah diminta oleh panitia ospek dan kemudian tak dibawa, maka tamatlah riwayat orang itu. Orang itu aku, aku yang sedang terlelap tidur mengalahkan semua bising yang diteriakkan jam beker.
ADVERTISEMENT
“Sial, hari pertama sudah telat begini” gerutuku dalam hati, karena tak mau telatku semakin lama, aku langsung bergegas mandi.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pas, artinya aku sudah telat selama satu jam.
Jalanan cukup ramai waktu itu, para pekerja kantoran berlalu lalang, pedagang buah mencari nafkah di pinggir jalan, toko yang berjejeran di jalanan serentak buka tepat pada jam itu. Sedang aku berlari seperti orang ketakutan.
Motor tua peninggalan ayah kupaksakan menyusuri jalan yang sedang ramai itu. Yamaha Alfa 99, sepeda motor yang hanya bisa masuk sampai gigi dua. Dengan lihai ku peragakan bagaimana lincahnya Rossi ketika mengendarai motor, knalpot bising seri Yoshimura menambah khayalku, aku berkhayalal sedang mengendarai motor Ninja dua tak.
ADVERTISEMENT
Semua peserta ospek tercengang melihatku, mereka seperti melihat hantu di siang bolong, entah kenapa. Kating (kakak tingkat) bertubuh gempal menghampiriku, ia tak menampakkan senyumnya sama sekali, seketika itu juga dia membentakku keras, keras, tak pernah kudapati orang tuaku membentakku sampai seperti ini, namun biarlah, biarlah lelaki gempal itu berpura-pura berwibawa di hadapanku.
“Kamu dari mana saja?”
“Ketiduran kak” jawabku, kupaksakan wajahku agar mau memelas.
“Hah apa? Kurang keraaaas!”
“Ketiduran kaaak!” aku agak meninggikan suaraku.
“Yang sopan kalo ngomong sama yang lebih tua, jangan keras-keraaas!”
Waktu itu emosiku meluap, ingin aku menunjukkan keahlianku dalam ilmu bela diri, ilmu yang sudah diwariskan embah Kung setelah aku matangkan Ilmu Tangkep (seni bela diri yang hanya diajarkan di kampung halamanku, sejenis bela diri yang diajarkan ketika malam hari dan harus memenuhi syarat-syarat tertentu) dengan meminum air bekas cucian keris hitam milik embah Kung.
ADVERTISEMENT
Biarlah, aku tak ingin melanjutkan kisahku dengan lelaki gempal itu, aku tau namanya setelah menghampiriku dan mengatakan bahwa semua yang ia lakukan adalah supaya peserta yang lain sadar akan pentingnya menjaga waktu, namanya Herman, lelaki gempal asal Sidoarjo.
Aku berdiri satu jam lamanya setelah ketahuan tak membawa alat tulis, waktu itu aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri, bagaimana mungkin aku lupa membawa buku yang sudah aku siapkan di dekat tas Visvalku (produk lokal yang didirikan M. Solihin). Sial, benar-benar hari yang sial.
Ingin ku kisahkan kepadamu sosok wanita yang menggunakan jas almamater Brawijaya waktu itu. Wanita itu memperhatikanku sejak pertama aku masuk ke aula tempat ospek dilaksanakan. Kerudungnya berwarna abu, cocok dengan baju hitam yang ia kenakan, dibalut dengan jas almamater berwarna navy, wajahnya tak begitu jelas, ia mengenakan masker.
ADVERTISEMENT
Wanita itu terus saja mencuri pandang padaku. Ia melangkahkan kakinya ke arahku, langkah demi langkah, ia semakin mendekat, jantungku entah kenapa berdetak tak menentu, belum pernah aku merasakan hal seperti ini, detaknya lebih kencang dari detak ketika aku dikejar anjing milik pak Katmo karena aku mengambil mangga yang menjalar sampai ke jalanan umum.
“Hai” kata wanita itu tiba-tiba, menghentikan detak jantungku yang berdegup kencang.
Aku diam membisu.
“hai, kamu sudah capek?” tanyanya.
“Ah emmm… apa?”
“Kamu boleh istirahat” katanya singkat.
Lalu aku duduk dan meminum air yang telah aku bawa dari kosanku.
“Ayo jangan istirahat di situ, ngumpul sama yang lain, nanti istirahat di sana.” wanita itu menungguku sampai aku menuju ke arahnya.
ADVERTISEMENT
Kami berjalan berdampingan menuju kumpulan mahasiswa baru yang lain, sampai dia membuka suara “Namamu siapa? Aku Nur.”
Begitulah wanita itu memperkenalkan namanya padaku, singkat dan cepat, layu, seperti putri malu di sawahku. Bedanya, putri malu di sawahku selalu mengganggu kegiatan bercocok tanam hingga aku harus menyemprotnya dengan obat rumput yang aku buat dari campuran sabun cuci piring dan garam batu, sedangkan wanita ini bisa membuatku nyaman sampai aku bisa kembali ke kumpulan peserta yang lain.
Sebelum aku masuk kelompok mahasiswa baru yang lain, wanita itu memberiku secarik kertas lalu berkata padaku “aku biasa beli makan siang di gerobak sate milik mbah Cur di perempatan sana, aku tak pernah telat ke sana, aku di sana setiap jam 12 siang.” Lalu wanita itu pergi dengan senyuman yang belum pernah aku dapati wanita lain tersenyum seperti itu padaku.
ADVERTISEMENT