Konten dari Pengguna

Impianku Ingin Bekerja di Gedung Pencakar Langit Buyar Gara-gara Lift

Nadila E R
Manusia setengah ayam paha atas.
23 Oktober 2020 12:57 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadila E R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Bagaimana rasanya bekerja dari lantai atas gedung pencakar langit Jakarta? Aku sering banget mengkhayalkannya, apalagi setiap lewat Kuningan atau SCBD (Sudirman Central Business District).
ADVERTISEMENT
Aku pernah magang di salah satu stasiun televisi swasta di bilangan Jakarta Timur. Kantor ini cuma dua lantai tanpa eskalator—apalagi lift. Tapi, kawasannya lumayan luas. Sebagai anak magang yang sering banget disuruh ini-itu, aku jadi hafal betul seluk-beluk bangunan ini (sekadar membayangkannya saja sudah bikin capek).
Sekarang aku kerja di media online di daerah Jakarta Selatan. Kantornya juga dua lantai tanpa eskalator dan lift. Di tahun pertama aku bekerja, cuma ada satu bangunan. Sekarang ada tiga bangunan di kompleks yang sama, lumayan luas. Waktu masih satu bangunan sih tiap jalan pasti 4L, "Lo lagi lo lagi". Saking kecilnya.
Oke, balik lagi ke gedung pencakar langit yang aku impikan. Sejujurnya alasan aku ingin sekali bekerja di gedung menjulang tinggi itu karena satu: Ingin naik lift!
ADVERTISEMENT
Kayaknya keren, ya, setiap hari naik lift, pakai baju setelan semi-formal, tangan kanan menenteng tas, tangan kiri pegang kopi Starbucks, terus di telinga terpasang AirPods. Membayangkannya saja sudah bikin senyum-senyum sendiri, waw anak kantoran milenial banget.
Terus kalau telat, lari-lari kecil ke arah lift, sambil teriak, "Eh tunggu-tunggu." Tahunya ketemu jodoh di lift (ya, kebanyakan nonton drama Korea).
Ngomong-ngomong, kalian yang suka nonton drama Korea sadar enggak sih di hampir semua drakor pasti ada adegan lift? Mungkin, salah satu yang melatarbelakangi kenapa aku pengin banget kerja di gedung pencakar langit tuh ya drakor haha.
Lalu suatu hari, aku diajak suamiku ke kantornya yang satu gedung dengan Plaza Indonesia, namanya The Plaza Office Tower. Aku ingat persis ke kantornya sekitar pukul 20.00 WIB. Kami terpaksa ke sana karena ada barangnya yang tertinggal.
ADVERTISEMENT
Akhirnya aku memiliki kesempatan untuk masuk ke gedung perkantoran yang sesungguhnya, yang biasanya cuma aku lihat di drama Korea.
Kantor suamiku ini gedung bertingkat, aku cari di Google dengan keyword, "The Plaza Office Tower berapa lantai," muncullah "49 lantai". Tinggi, ya.
Jadi ternyata sebelum masuk ke kantornya ini ada banyak prosedur yang enggak pernah aku rasakan di kantorku. Pertama, tas dicek oleh satpam. Kemudian, orang yang enggak punya ID atau kartu akses ke gedung, enggak diizinkan masuk (tapi aku tetap bisa masuk karena bareng suamiku). Prosedur itu enggak ada di kantorku, tinggal nyelonong masuk saja lewati gerbang sambil menyapa, "Pagi, pak satpam."
Setelah tas dan barang bawaan —dan aman, baru deh bisa masuk ke lobi gedung. Lanjut ke prosedur kedua, yaitu tap gate—entah apa istilahnya, yang pasti kamu harus tap-in kartu akses ke gate di lobi sebelum naik lift, kayak gate di stasiun KRL. Kalau kamu enggak ada kartu akses, wajib menukarkan KTP dengan kartu akses di resepsionis. Ya aku sih can't relate.
ADVERTISEMENT
Baru deh, ketiga, naik lift. Jujur, saat itu excited banget ha-ha-ha. Suasana liftnya juga oke, dikelilingi cermin, alias alhamdulillah karena aku suka mual kalau naik lift yang tidak ada cermin atau kaca transparannya.
Suamiku pun kembali tap kartunya ke sensor di lift dan otomatis langsung menuju ke lantai tujuh—canggih ya enggak perlu ditekan tombol liftnya. Kantor suamiku ada di lantai tujuh. Ternyata, kalau di gedung perkantoran yang lantainya puluhan, liftnya naik dengan cepat.
Saat keluar dari lift, baru terasa, ternyata aku mual, saudara-saudara, aku mabuk lift! Biasanya mabuk kalau liftnya pengap dan tertutup. Suamiku langsung tertawa saat aku sempoyongan keluar dari lift. Aduh ketahuan orang kampungnya. Aku pun cuma bisa cemberut kesal.
ADVERTISEMENT
Waktu turun lagi ke lobi, aku mual juga. Rasanya ingin merutuki diri sendiri. Padahal cuma lantai tujuh, gimana ceritanya kalau aku harus naik ke lantai yang lebih tinggi, keluar lift bukan hanya sempoyongan kali, ya? Tapi muntah. Duh.
Sebetulnya aku cukup sering keluar-masuk gedung pencakar langit, dulu, waktu masih liputan. Aku pernah naik ke lantai 13, ternyata mual juga, haha! Emang bukan habitatku!
Dari kisah per-lift-an ini, akhirnya aku sadar bahwa jangan suka iri dengan gedung kantor orang lain. Syukuri saja yang ada. Syukur masuk gerbang kantor tinggal menyelonong, masuk ke dalam kantor juga cuma pakai finger print—kalau jari kan enggak mungkin tertinggal, enggak kayak kartu akses. Enggak harus pakai lift, jalan kaki sedikit dari parkiran langsung duduk manis.
ADVERTISEMENT
Ya sudah. Memang aku kayaknya enggak cocok kerja di gedung pencakar langit. Ternyata bekerja di gedung perkantoran tak seindah Instastories kawan-kawanku, apalagi seindah drama Korea.