Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pariwisata Berkelanjutan: Pengembangan Ecotourism di Desa Kawasan Borobudur
8 Desember 2024 0:24 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Nadine Aqila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Candi Borobudur merupakan salah satu atraksi wisata candi paling ikonik di dunia yang keberadaanya telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 1991. Disamping hal tersebut, terdapat Kawasan Borobudur sebagai destinasi wisata yang menyimpan potensi bentang alam saujana yang luar biasa. Borobudur tak hanya menawarkan keindahan mahakarya seni pahat candi, kawasan sekitar Borobudur merupakan daerah yang memiliki kekayaan alam dan budaya yang menjadi nilai tambah serta menjadi potensi pariwisata yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Saujana yang membentang luas dengan tokoh utamanya yaitu Candi Borobudur bagaikan sebuah mahakarya yang ada dalam sebuah lekukan bejana dengan dikelilingi oleh gunung-gunung megah. Gunung Api Merbabu, Merapi, Sumbing, Gunung Telomoyo, Andong, Tidar dan Pegunungan Menoreh. Tak hanya gunung, pada kawasan ini juga mengalir sungai-sungai besar seperti sungai Progo, Elo, Tangsi, Pabelan, Sileng dan anak sungai lainnya. Bentang alam Borobudur ini sangat kaya akan sumber daya alam dan budaya, peradaban Kerajaan Mataram Kuno pada Dinasti Syailendra pernah ada dan hidup disini. Peradaban pada era itu kini bertransformasi menjadi desa-desa yang tersebar di Kawasan Borobudur. Desa-desa yang ada di Kawasan Saujana Borobudur diantaranya ditemukan temuan beberapa prasasti peninggalan masa Kerajaan Mataram Kuno yang menambah bukti napak tilas kehidupan masa lampau yang telah berkembang.
ADVERTISEMENT
Di desa-desa ini berkembang pula berbagai kebudayaan, menandakan masyarakat Jawa khususnya pada era Mataram Kuno ini telah memiliki kemampuan luar biasa pada masanya dalam membangun peradaban. Salah satunya adalah arsitektur vernakular limasan yang saat ini yang kian tergerus peradaban modern. Arsitektur vernakular adalah gaya arsitektur yang tumbuh dan berkembang menyesuaikan dengan lingkungan serta penduduk asli (indigenous). Rumah dengan arsitektur vernakular adalah rumah dengan gaya kebanyakan pada suatu kawasan dan tidak memiliki status sosial, bersifat murni dan apa adanya. Arsitektur vernakular limasan berbeda dengan rumah adat joglo yang acapkali memiliki filosofi yang berorientasi kepada status sosial dan simbol-simbol kedudukan tertentu. Pada konteks arsitektur vernakular limasan yang disebut omah jowo di Kawasan Borobudur ini merupakan rumah asli jawa limasan yang memiliki ciri khas atap berbentuk limas dengan empat segitiga sama kaki. Bangunan-bangunan omah jowo vernakular yang tersebar di desa-desa kawasan Borobudur telah di kembangkan sebagai peluang pariwisata ecotourism dan slowtourism, salah satunya sebagai homestay yang dinikmati oleh wisatawan, baik dari wisatawan domestik (luar kota) dan mancanegara.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang spesial dari omah jowo ini adalah filosofi terkait nilai-nilai kehidupan dan kebudayaan jawa yang acapkali diremehkan dan dianggap sebagai mitos belaka oleh generasi masa modern ini, namun sebenarnya hal ini benar-benar diperhitungkan oleh leluhur kita pada zaman dahulu, seperti ilmu titen untuk membaca gejala alam, misalnya larangan membangun bangunan pada hari tertentu (mengenal hari baik dan hari buruk) yang sebenarnya hal tersebut cenderung melihat kepada musim yang berguna dalam perencanaan pembangunan dan perawatannya supaya bangunan dapat terbangun kokoh.
Pada kemunculan dan pengembangan homestay dengan arsitektur vernakular ini pada awalnya dianggap kurang bernilai, bahkan sempat mengalami perobohan di sejumlah unit karena dianggap bangunan RTLH atau Rumah Tidak Layak Huni. Namun, munculah gerakan dan secercah kesadaran akan pentingnya kebudayaan sendiri serta identitas diri, yang membuat bangunan-bangunan vernakular jawa ini dibangun kembali.
ADVERTISEMENT
Kembali dibangunnya omah jowo ini selain karena mulai munculnya kesadaran juga berangkat dari peluang ekonomi pariwisata. Pariwisata disini memberikan nilai tambah bagi warga sekitar yang mayoritas bekerja sebagai petani. Para warga desa diberdayakan dan dilibatkan dalam pengelolaan paket-paket wisata berbasis ecotourism. Dalam paparan Muhammad Panji Kusumah dalam gelar wicara yang diadakan di Situs Brongsongan, Desa Wringinputih, Magelang, Jawa Tengah pada acara Peluncuran Buku: Arsitektur Vernakular Borobudur Terbitan Museum dan Cagar Budaya Unit Warisan Borobudur (16/11), mengatakan bahwa pada paket-paket wisata yang ada di omah jowo ini cukup menarik wisatawan karena melibatkan wisatawan seolah-olah menjadi warga lokal dengan terlibat memasak di pawon (dapur) dan menikmati hidangan autentik dari pawon yang terdapat di omah jowo. Masyarakat perkotaan yang datang kesini memiliki minat yang cukup tinggi dalam berkegiatan di omah jowo. Hal ini menunjukkan pengembangan produk minat khusus berbasis lokalitas yang cukup baik.
ADVERTISEMENT
Seharusnya hal-hal seperti inilah yang menjadi perhatian kita sebagai stakeholder untuk bekerjasama meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan menitikberatkan mereka sebagai tuan rumah atau host, bukannya terus membiarkan pengelola dari luar dengan mengandalkan modal tinggi yang cenderung berorientasi profit dan mengesampingkan konteks budaya.
Pada acara yang sama, Laretna T. Adishakti sebagai penulis utama dari buku Arsitektur Vernakular Borobudur juga menyatakan bahwa pengembang pun harus memiliki visi yang sama terhadap masyarakat lokal (indigenous) supaya keberlanjutannya berlangsung dengan baik. Di tempat lain tak jarang pengembang yang datang dari luar kurang memperhatikan aspek lingkungan dan budaya yang ada. Di Kawasan Borobudur ini termasuk pengelolaanya cukup baik dibandingkan desa-desa lain yang telah terlanjur diambil alih oleh pendatang karena rendahnya minat pengelolaan dan kesadaran masyarakatnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Masa depan pelestarian omah jowo ini sebenarnya menghadapi tantangan yang cukup substansial dikarenakan kesadaran generasi muda sebagai penerus yang belum banyak dan potensi pengembang berkeinginan membangun infrastruktur yang mengesampingkan keautentikan budaya dengan menambahkan unsur lain dengan motivasi beautification. Harapan besar, apabila orkestrasi para stakeholder pada sektor ini dapat bekerjasama dengan baik dalam usaha pengembangan ecotourism omah jowo berarsitektur vernakular ini dapat dinilai positif, strategis dan berkelanjutan.