Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Memahami Risau Anak Rantau
22 Desember 2017 21:30 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Nadira Aliya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kamis lalu (21/12/17), kumparan mengadakan sebuah acara talkshow dengan tema kepenulisan, bersama ahlinya langsung A. Fuadi. Namanya besar dengan trilogi Negeri 5 Menara. Beruntung saya menjadi salah satu peserta talkshow yang dinamakan “The Expert” tersebut, mendengarkan Fuadi berbagi energi kepada empat puluh peserta talkshow dan kru dari Kumparan.
ADVERTISEMENT
Walaupun saat itu sempat tersasar dan menantang hujan demi mencapai kantor kumparan, saya sampai juga dan sudah terlambat 30 menit, namun beruntung sebab masih mendapatkan tempat duduk yang nyaman.
Dia yang Datang Merantau, Merisau, lalu Melebur
Bicara tentang A.Fuadi, pasti tak jauh-jauh dari dunia kepenulisan dan perantauan. Sebab trilogi Lima Menara pun ditulis atas dasar pengalaman dan kisah-kisah nyata dari perjalanan Fuadi meninggalkan kampung halaman.
Saya sendiri pernah berada di perantauan, walau tak keluar pulau. Sebagai anak rumahan yang dari taman kanak-kanak hingga SMA selalu dipingit di rumah (jarang main, lebih sering baca buku), saya punya satu impian untuk sejenak terlepas dari rumah. Selepas SMA, saya mau kuliah di luar kota. Terinspirasi dari kisah-kisah yang saya baca dari pengarang-pengarang inspiratif seperti Fuadi dan Andrea Hirata, saya pun pergi merantau ke kota lain. Walau hanya kota yang jaraknya tiga jam menggunakan kendaraan roda empat atau enam, tetap saja orang tua saya sebetulnya cukup berat melepaskan putri pertamanya dan khawatir terjadi hal-hal yang tak diharapkan selama saya di masa perantauan.
ADVERTISEMENT
Namun saya sudah bertekad, saya harus keluar zona nyaman. Dan pergilah saya, ke kota Bandung yang lebih dingin cuacanya dan juga lebih segar udaranya. Lebih nyaman untuk kegiatan belajar, dan juga tidur tentunya (hehe).
Benar jika ada yang berkata bahwa seseorang akan banyak berubah ketika ia meninggalkan tempat asalnya. Ketika akhirnya kembali ke tempat kelahirannya, perubahan kota tersebut mungkin tak akan banyak, jauh lebih banyak perubahan pemahaman, pengalaman, ilmu dari orang yang merantau.
Di perantauan, saya bersyukur bisa menemukan teman-teman yang juga berasal dari luar daerah. Asal saya dari Jakarta, namun saya tak mengambil teman dekat yang sama-sama berasal dari Jakarta, walaupun ada beberapa. Saya secara sadar memang menginginkan exposure terhadap orang-orang dari berbagai daerah. Jadilah teman saya pun beragam, hingga di lingkar pertemanan saya, saya memiliki teman yang berasal dari Padang, Kediri, Bogor, hingga Majene.
ADVERTISEMENT
Kata ibu saya, kuliah adalah masa-masa terbaik untuk mengamati karakter-karakter orang dari berbagai daerah di Indonesia. Entah karena teman SD-SMA saya rata-rata berasal dari Jakarta, saya merasa pernyataan ibu saya ini benar adanya. Saya baru bisa mengamati ciri khas dan perilaku orang-orang yang berbeda latar belakang semasa saya berkuliah.
Teman saya yang dari Padang, misalnya. Kata orang, orang Minang pandai berdagang. Namun temanku yang berasal dari Padang ini tak begitu suka berdagang. Aneh memang, tapi ternyata tak semua orang Minang ditakdirkan untuk berdagang. Di daerah asalnya, temanku wanita Minang ini bercerita bahwa dulunya ia bersekolah di asrama putri, sehingga sempat mengalami culture shock ketika bergaul di lingkungan yang lebih menyatu antara wanita dan pria seperti di unit kegiatan mahasiswa. Berkali-kali ia harus melawan rasa ketidaksukaannya terhadap hal-hal yang mungkin menurut orang di kota tempat perantauan saya biasa-biasa saja. Seperti saling bonceng motor antara pria dan wanita. Seperti juga saat harus menginap di kampus karena ada acara esoknya dan harus tidur di ruangan yang sama beramai-ramai. Dirinya tidak nyaman, sebab di tanah asalnya, hal-hal seperti ini bukan suatu hal yang lumrah, terlebih ia lulusan pesantren.
ADVERTISEMENT
Satu yang saya kagumi dari teman saya ini adalah, ia tidak pergi begitu saja ketika mengetahui dunianya kini tak senyaman dunia di tanahnya dahulu. Ia bertahan walau kadang menangis sendiri. Tapi tidak pergi, tak meninggalkan, sebab ia tau ada yang ia bisa perbaiki jika bertahan disini.
Sebab ia sedang merantau.
Sebetulnya ia bisa saja pergi meninggalkan lingkungan ini. Lalu mengeksklusifkan diri di unit kegiatan lain yang kental dengan tempat keagamaan dan bisa merasakan lingkungan seperti lingkungannya dahulu, lingkungan yang nyaman baginya. Tapi, sekali lagi tidak. Saya mengaguminya sebab telah memilih menetap di tempat yang baginya mungkin penuh kesalahan, tanpa dirinya benar-benar menghilangkan prinsip yang telah didapatnya sebelum merantau.
ADVERTISEMENT
Saya mengaguminya sebab ia berani memaknai kata ‘rantau’ dengan betul-betul keluar dari zona nyamannya. Hei, bukankah begitu makna perantauan yang sebetulnya?
Lambat laun, dirinya banyak berubah. Bukan, bukan jilbabnya yang memendek, bahkan dari awal ia merantau ke tanah perantauan, jilbabnya tetap sopan dan lebih panjang dari kami-kami yang lain. Setelah puluhan risau yang bergejolak di hatinya, ia pun memilih untuk tinggal, melebur dengan budaya-budaya di kota perantauan. Kata orang, lain ladang, lain belalang. Jika hanya ingin ladang yang sama, maka belalang tak perlu terbang jauh-jauh ke ladang lain untuk merantau.
Ada lagi teman saya yang berasal dari Majene. Bahkan ketika dirinya menyebutkan kata Majene, saya harus meminta penjelasan tambahan dimana Majene itu berada. Dia salah seorang pria yang sangat gigih dan pantang menyerah. Berkuliah dengan modal keberanian dan modal dari pemberi beasiswa. Terbang dari pulau Sulawesi tanpa bisa pulang bertahun-tahun kemudian. Sebab katanya, boro-boro untuk beli tiket pulang Lebaran, untuk makan sehari-hari dan memenuhi tuntutan kuliah saja, uang beasiswanya sering menguap tak bersisa.
ADVERTISEMENT
Empat tahun dia berkuliah, empat tahun juga tak bisa merayakan hari raya bersama keluarga. Sementara saya, masih bisa pulang sebab jarak Jakarta-Bandung hanya 3 jam saja. Setiap kali Hari Raya datang, dia mengirimkan pesan maaf lahir batin pada saya, sambil cerita bahwa ia merasa tak ada beda hari biasa dengan hari raya. Bedanya mungkin asrama tempat ia tinggal jadi lebih sepi. Lalu beberapa hari setelah hari raya, ia dan kawan-kawan yang kurang beruntung akan bersilaturahim ke tempat rektor saat Open House untuk mencicipi sedikit kebahagiaan dari makanan hari raya.
Mungkin ada rasa sedih,ada rasa rindu untuk bertemu keluarga bagi dirinya. Namun yang saya kagumi adalah ia tak mudah menyerah sampai akhirnya kini telah menyelesaikan studinya dengan hasil membanggakan. Saya ingat sewaktu tingkat satu, ia bahkan kewalahan dengan kurikulum perkuliahan. Padahal, untuk saya yang bersekolah di Jakarta, kurikulum tingkat satu itu bagaikan mengulang sedikit pelajaran SMA. Namun ternyata tak begitu baginya yang mendapatkan pendidikan SMA jauh di pelosok sana. Tapi tak semudah itu ia menyerah. Ia siap menghadapi apapun yang ada di depannya.
ADVERTISEMENT
Sebab ia sedang merantau.
Tak sedikit juga teman saya dari pelosok yang akhirnya memutuskan untuk tak melanjutkan kuliah hingga sarjana, karena banyak faktor. Namun bukan teman saya dari Majene tersebut.
Dari dua kisah teman saya tersebut, satu yang saya belajar mengenai perantauan. Siapapun yang merantau memang akan kehilangan kedekatan dengan teman-teman di daerah yang ditinggalkannya, namun juga menemukan teman-teman baru dengan karakter unik yang menarik untuk diperhatikan. Setiap anak perantau punya karakter khusus, yaitu berani. Berani sendiri di kota yang tak dikenali. Berani berjuang ketika pasokan untuk hidup tak menentu saat dinanti. Berani menembus zona nyaman untuk lalu melebur tanpa prinsip tergoyahkan.
Kisah Anak Rantau dari Fuadi
ADVERTISEMENT
Fuadi sendiri memiliki nama besar di dunia kepenulisan Indonesia setelah bukunya trilogi Lima Menara laris manis. Selalu menarik merunuti kisah-kisah yang berasal dari pengalaman hidupnya sendiri, hingga menghasilkan prinsip Man Jadda Wa Jadda, Man Shabara Zhafira, lalu Man Saara Ala Darbi Washala.
Lalu di tahun ini, Fuadi kembali menerbitkan buku keempatnya yang berkisahkan lagi-lagi tentang seorang anak yang merantau. Bedanya? Kisah ini lebih berdasarkan fiksi yang bukan terinspirasi dari kisah hidup penulisnya sendiri. Tentu berbeda dengan kisah fiksi yang dituliskan berdasarkan pengalaman pribadi, Fuadi sendiri pada kesempatannya berbicara di acara The Expert menyatakan bahwa bahkan ia memerlukan waktu empat tahun demi dapat menyelesaikan Anak Rantau dari mulai riset hingga akhirnya buku tersebut lahir dan mampu dinikmati pembaca. Empat tahun tersebut termasuk penyesuaian cara menulisnya untuk buku yang murni fiktif dan juga beberapa perubahan di tengah-tengah menyelesaikan bukunya.
Kalau selama ini dalam pikiran kita merantau adalah pergi ke kota demi penghidupan yang lebih baik, namun Hepi -tokoh utama dalam novel Anak Rantau- yang anak kota malah sebaliknya terpaksa merantau ke kampung halamannya, ditinggalkan sang Ayah untuk dididik bersama Kakek-Neneknya di Tanjung Durian, Sumatera Barat. Donwori Behapi (begitu nama lengkapnya seperti didoakan orang tuanya) pun setengah hati sambil menyimpan dendam akan membalas perlakuan ayahnya yang meninggalkan dirinya yang terbiasa dengan pergaulan Jakarta ke daerah antah berantah di kampungnya itu.
ADVERTISEMENT
Untuk saya pribadi, menarik sebab ketika berbicara mengenai buku ini, bukan lagi “Man Jadda Wa Jada” atau “Man Shabara Zhafira” yang menjadi kalimat pamungkas untuk menggambarkan keseluruhan isi buku, melainkan “Maafkan, Lepaskan, Lupakan”. Sebab setiap anak yang merantau, sedikit banyak membawa luka di dalam dirinya masing-masing. Sebab luka itu tidak akan sembuh jika tidak dimaafkan. Setelah dimaafkan pun, jika tak segera dilepas dan dilupa, luka tersebut masih bisa terbuka kembali. Sebuah buku yang menarik untuk dibaca siapapun yang memiliki luka dan ingin sembuh.
Kesan-Pesan Untuk The Expert
Saya pribadi mendapatkan info mengenai acara ini melalui instagram, bukan dari akun resmi kumparan.com, melainkan dari salah satu akun toko buku, sebut saja @gubuk_sastra. Publikasi acara ini rasanya cukup baik, sebab saya melihat peserta yang hadir pun memenuhi semua kursi yang tersedia di ruangan kantor kumparan. Rasanya menyenangkan untuk berada dalam satu ruangan bersama orang-orang dengan kegemaran yang sama : kegemaran menulis.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, sewaktu membaca posternya, saya agak kurang paham mengenai isi acaranya sendiri. Apakah khusus ditujukan untuk talkshow di dunia olahraga jari menciptakan kata, ataukah untuk mengenal kehidupan Fuadi lebih dekat layaknya acara motivasi, atau bahkan untuk mempromosikan buku terbarunya. Dan ternyata ketiga perkiraan saya tersebut masuk ke dalam pembahasan The Expert. Tak masalah sebetulnya tak menyebutkan tema talkshow, hanya saja akan lebih menarik jika ada satu kalimat atau tagline yang menggambarkan topik acara The Expert. Sehingga peserta sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat diskusi lebih hangat. Tapi lagi-lagi, secara keseluruhan menurut saya pun diskusi kemarin sudah cukup memuaskan.
Harapan saya, semoga kumparan mengadakan acara talkshow dengan tema menarik lainnya di bulan depan (seperti yang sudah dijanjikan di akhir acara). Walaupun jauh dan macet dan harus berkendara berjam-jam setelahnya untuk pulang, saya merasa mendapatkan banyak semangat dan energi baru setelah berbincang dengan The Expert A. Fuadi.
ADVERTISEMENT