Stres di Masa Pandemi COVID-19
Konten dari Pengguna
17 November 2021 13:20
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nadya Fauziah Hasan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Apakah Anda seorang mahasiswa? Atau karyawan dan pekerja yang lain? Atau mungkin ibu rumah tangga? Siapa pun Anda, pernahkah Anda menyadari bahwa kondisi pandemi yang kini sedang terjadi tidak hanya berdampak pada kondisi ekonomi dan kesehatan saja, melainkan juga berdampak pada kondisi psikologis setiap orang? Kecemasan yang lebih mudah terpicu, kemarahan yang lebih mudah tersulut, maupun berbagai gangguan fisik yang dirasakan akibat dari ketidakstabilan kondisi psikologis menjadi serangkaian contoh dari kondisi psikologis yang terpengaruh akibat pandemi COVID-19. Hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya itulah yang menjadi gejala-gejala dari munculnya stres. Lalu, sebenarnya apa definisi dari stres itu sendiri?
Menurut Kementerian Kesehatan RI, stres diartikan sebagai bentuk reaksi secara emosional ataupun fisik yang dilakukan seseorang akibat dari kondisi lingkungan yang berubah sehingga mengharuskannya untuk melakukan penyesuaian diri. Tentu, semua orang belum ada yang pernah mengalami pandemi COVID-19 sebelumnya. Penyakit ini menjadi sesuatu yang sangat baru dan menjadi sesuatu yang datang secara sangat tiba-tiba. Secara sadar maupun tidak, kita telah melakukan penyesuaian diri atau adaptasi terhadap wabah pandemi yang sedang terjadi.
Stres yang dialami selama masa pandemi COVID-19 memiliki beberapa jenis. Berdasarkan pemicunya, stres akibat pandemi COVID-19 dibagi menjadi stres kerja, stres akademik, dan stres keluarga.
Stres Kerja
Sebelum berlanjut ke pembahasan, coba kita pikirkan jawaban dari pertanyaan berikut menurut versi kita masing-masing. Pada masa awal pemberlakuan WFH, apakah Anda merasa senang? Lalu, bagaimana dengan sekarang? Apakah Anda masih merasakan hal yang sama?
Pemberlakuan social distancing memaksa berbagai kantor, pabrik, dan tempat usaha untuk mau tidak mau memberlakukan WFH. Pemberlakuan WFH tidak sedikit membuat produktivitas dan pemasukan sebagian kantor, pabrik, dan tempat usaha menjadi menurun. Akibatnya, terjadilah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pemangkasan upah.
Jika Anda seorang karyawan atau pekerja, apa yang Anda rasakan ketika terjadi PHK dan pemangkasan upah di tempat kerja Anda? Tentu bukan perasaan yang mengenakkan, kan? Perasaan-perasaan yang tidak mengenakkan itulah yang membuat tingkat kecemasan, kemarahan, dan gangguan fisik yang diakibatkan menjadi lebih meningkat. Pada akhirnya, kondisi stres akibat pekerjaan pun menjadi terpicu.
Stres Akademik
Berdasarkan pengalaman pribadi, saya merasa sangat senang ketika pertama kali tahu bahwa sekolah, kampus, dan tempat pembelajaran lain akan meliburkan siswa atau mahasiswanya selama dua minggu. Bayang-bayang bisa berleha-leha dan bersenang-senang setiap hari di rumah selalu saya pikirkan. Namun, nyatanya tidak demikian. Bagi Anda para pelajar atau mahasiswa, bagaimana pendapat Anda mengenai pembelajaran online yang masih sebagian besar dilakukan saat ini? Apakah Anda tim belajar secara offline atau justru tim belajar secara online?
Social distancing tidak hanya berakibat pada pemberlakuan WFH di berbagai tempat kerja. Namun, juga tempat-tempat akademik atau pembelajaran. Para siswa dan mahasiswa dipaksa oleh keadaan untuk bisa beradaptasi dengan pembelajaran secara online. Mulai dari menyiapkan teknologi-teknologi penunjang pembelajaran, memahami lebih dalam mengenai cara menggunakan teknologi tersebut, serta diharapkan untuk bisa mengerti materi yang disajikan oleh guru dan dosen selama proses pembelajaran secara online.
Tak sedikit siswa dan mahasiswa yang kelimpungan akibat dari ketersediaan teknologi penunjang pembelajaran yang kurang memadai atau bahkan tidak ada, serta sulitnya memahami materi secara online. Adapun sebagian mahasiswa yang harus mengganti topik atau bahkan menunda penyelesaian tugas akhir akibat dari tugas-tugas praktik lapangan yang sulit atau bahkan tidak dapat dilaksanakan secara langsung. Hal ini ditambah dengan kondisi ekonomi yang menjadi lebih sulit sehingga mengakibatkan sebagian mahasiswa terpaksa harus mengambil cuti. Layaknya pada stres kerja, keadaan-keadaan yang menekan kondisi psikologis para siswa dan mahasiswa itulah yang menyebabkan terjadinya stres akademik.
Stres Keluarga
Sebenarnya, stres keluarga merupakan akumulasi dari stres yang dialami setiap anggota keluarga. Sebagai contoh, stres kerja yang dialami oleh ayah akibat terjadinya PHK dan stres akademik yang dialami oleh anak akibat tertundanya tugas akhir yang seharusnya bisa segera diselesaikan. Selain itu, stres juga dirasakan oleh ibu rumah tangga selama masa pandemi. Pembatasan aktivitas di luar rumah membuat seluruh anggota keluarga berkumpul sepanjang hari di dalam rumah. Beban kerja bagi ibu rumah tangga pun menjadi bertambah berat dari sebelumnya. Belum lagi sebagian ibu rumah tangga yang harus menggandakan perannya menjadi seorang ibu maupun guru. Berbagai kondisi stres yang terjadi pada setiap anggota keluarga itulah yang memicu stres keluarga. Hal ini bisa diperparah dengan kondisi keluarga yang kurang harmonis.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa kondisi stres yang terjadi memiliki pengaruh terhadap kondisi-kondisi yang lain, seperti kondisi emosi, mental, dan fisik. Oleh sebab itu, kita perlu mengetahui kemampuan apa yang diperlukan dalam mengatasi atau memanajemen stres. Palang Merah Indonesia (PMI) dalam buku panduannya yang berjudul Panduan Manajemen Stres menyebutkan lima prinsip yang dibutuhkan dalam manajemen stres, yaitu:
- Kenali diri sendiri. Mengenali diri sendiri dapat kita lakukan dengan mengetahui apa yang paling kita sukai, apa yang paling kita tidak sukai, apa yang kita anggap sebagai kekuatan, apa yang kita anggap sebagai kelemahan, dan apa yang kita anggap paling penting dalam hidup.
- Peduli terhadap diri sendiri. Peduli terhadap diri sendiri adalah bentuk dari menghargai, menjaga keselamatan dan kesehatan, serta memenuhi kebutuhan agar tubuh dapat melakukan fungsinya dengan optimal. Peduli terhadap diri sendiri dapat kita lakukan dengan melakukan pola hidup yang baik dan sehat, bersosialisasi baik dengan orang lain, serta melakukan hobi.
- Perhatikan keseimbangan. Pemeliharaan diri tidak bergantung pada satu aspek saja, melainkan ada beberapa aspek yang juga perlu dilakukan pemeliharaan terhadapnya agar tercapai keseimbangan dalam diri. Aspek-aspek pemeliharaan diri tersebut, antara lain aspek mental emosional, intelektual, fisik, spiritual, dan rekreasional.
- Bersikap proaktif dalam mencegah gangguan stres. Bersikap proaktif dalam mencegah gangguan stres dapat kita lakukan dengan melakukan pemeliharaan diri secara rutin dan berkelanjutan.
- Sinergi. Pemeliharaan dan penguatan diri tentu memerlukan sinergi atau kerja sama dari langkah-langkah yang telah disebutkan sebelumnya. Sinergi ini perlu kita lakukan secara terpadu dan bersama-sama agar tercipta lingkungan yang dapat saling mendukung dan mengingatkan.
Referensi
Direktorat P2PTM Kementerian Kesehatan RI. (2018) Apakah Stres itu?, Kementerian Kesehatan RI. Available at: http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/stress/apakah-stres-itu (Accessed: 5 November 2021).
Maryam, S. (2017) ‘Stres Keluarga: Model Dan Pengukurannya’, Psikoislamedia : Jurnal Psikologi, 1(2), pp. 335–343. doi: 10.22373/psikoislamedia.v1i2.920.
PMI. (2015) Panduan—MANAJEMEN STRES. Edited by Herry Prasetyo. Jakarta: Markas Pusat Palang Merah Indonesia. Available at: https://pustakapmi.id/2019/06/27/buku/kesehatan/buku-panduan-manajemen-stres/.
Rahmawati, T. (2021) ‘Peningkatan Pengetahuan Dan Manajemen Stress Di Masa Pandemi Covid- 19 Bagi Masyarakat’, Jurnal Masyarakat Mandiri, 5(1), pp. 125–134.
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...