Konten dari Pengguna

Thrifting: Antara Hemat vs Bikin Khilaf

Nafa Maghfirahma A
Mahasiswa jurusan Marketing Communication BINUS University
9 Januari 2023 14:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nafa Maghfirahma A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Bagi para fashion enthusiasts, istilah thrifting mungkin sudah tidak asing di telinga. Yup, istilah thrifting artinya membeli pakaian bekas atau thrift itu sendiri. Tren ini mulai ramai di Indonesia ketika pandemi Covid-19, dimulai dengan menjual barang-barang bekas yang dijual di pasar ataupun koleksi pribadi yang telah dipilah dari segi kualitas serta kelayakannya.
ADVERTISEMENT
Kegiatan thrifting melambung di media sosial Instagram pada tahun 2021, sebab banyaknya permintaan yang beragam, mulai dari kaus oversized, dress, pakaian formal, sweater, hoodie, celana, rok, bahkan tas dan aksesoris yang dapat dibeli dengan harga murah. Selain itu, Thrifting juga memungkinkan masyarakat untuk dapat menemukan serta membeli pakaian-pakaian branded dengan harga miring.
Meskipun seringkali, jaminan keaslian produk dinilai abu-abu, akan tetapi tidak jarang ditemukan bahwa barang thrifting adalah pakaian-pakaian bekas dari produk fast fashion yang diproduksi secara masif, cepat, dan mengikuti tren terkini, namun tidak didukung dengan kualitas produksi yang menjamin sustainability produk tersebut.
Meskipun tren thrifting masih cukup gemilang hingga kini, tidak dapat dihindari bahwa mode fashion yang berubah setiap tahunnya menyebabkan perilaku impulsif dan konsumtif. Mulai dari rework, techwear, Y2K, acubi, cottagecore, hingga cewek kue, cewek bumi, dan cewek mamba menjadi istilah-istilah yang kita jumpai sehari-hari, khususnya di media sosial.
ADVERTISEMENT
Tren berpakaian tersebut awalnya lebih banyak dikenalkan di dalam desain merek high-end atau haute couture, di mana hanya dapat diproduksi dan dimiliki oleh orang-orang tertentu dengan tujuan artistik, estetika, dan eksklusivitas. Keterbatasan produksi ini menyebabkan peningkatan permintaan dan produksi pasar, mulai dari meniru, memodifikasi desain, hingga tidak jarang ditemukan barang-barang jiplakan yang kita kenal dengan istilah "KW".
Seiring berjalannya waktu, tren pakaian terus berputar. Masyarakat yang ingin terus mengikuti zaman tentu akan berlomba-lomba untuk memiliki produk yang up to date. Akan tetapi, apakah ada yang dapat menjamin bahwa pakaian-pakaian tersebut akan mereka gunakan hingga tahun-tahun berikutnya?
Biasanya, ketika sudah sekali dipakai, maka baju-baju yang dinilai kurang sesuai dari segi potongan, warna, ataupun kecocokan selera akan digeser dengan pakaian baru lainnya. Hal ini menyebabkan penumpukan pakaian bekas, meskipun nantinya akan didistribusikan kembali, entah untuk donasi atau dijual kembali melalui pedagang pakaian bekas. Siklus inilah yang seringkali dikaitkan dengan sustainable lifestyle, khususnya di bidang fashion.
ADVERTISEMENT
Cara untuk mengetahui konsumtif atau tidaknya kita, dapat dilihat dari berapa banyak baju di lemari. Coba bandingkan, apa saja pakaian yang sering digunakan, hanya dipakai ketika acara besar, hingga yang tidak dipakai sama sekali. Jika tanpa membandingkan saja sudah terlihat lebih banyak pakaian yang duduk manis di dalam lemari, maka dapat disimpulkan bahwa kita cukup konsumtif dalam membeli pakaian.

How do we keep our wallets safe in style, then?

Thrifting sebenarnya mendukung Circular Fashion atau biasa dikenal dengan istilah 4R dalam dunia mode, yaitu reuse, rewear, repurpose, dan recycle. Pakaian yang telah digunakan sebaiknya digunakan kembali atau dimodifikasi agar dapat terus digunakan.
Reuse dan rewear pakaian dapat dilakukan secara simpel, yaitu dengan menggunakan pakaian-pakaian yang sebelumnya jarang digunakan, kemudian styling look supaya sesuai dengan pribadi kamu. Pada aspek repurpose, memodifikasi pakaian menjadi barang lain yang dapat digunakan, contohnya adalah tas, celana, topi, jaket, dan lain-lainnya. Kegiatan ini lebih sering kita kenal dengan istilah rework.
ADVERTISEMENT
Jika kamu menemukan pakaian-pakaian tersebut sudah tidak layak pakai, maka tahap terakhir yang dapat kamu lakukan adalah recycle. Tahap ini mungkin terlihat sulit, sebab tidak semua pakaian dapat diproses begitu saja.
Kamu bisa mengirimkan limbah yang tidak layak pakai, yang mungkin telah sobek, menipis, ataupun terdapat noda yang tidak hilang dengan mengirimkan ke organisasi atau pengelola sampah di kota kamu. Jika kamu telah menerapkan prinsip Circular Fashion ini dengan baik, secara tidak langsung kamu telah menghemat sebab kamu menggunakan pakaian dan kain tersebut dengan maksimal.
Mencari, membeli, menggunakan, hingga mengeliminasi pakaian yang kita perlukan perlu didukung dengan niat. Jika kamu memanfaatkan barang, maka tidak perlu lagi membeli barang-barang baru untuk digunakan, kecuali barang-barang tersebut adalah sebuah essentials (kaus warna monokrom, kemeja, celana polos, atau pakaian formal yang versatile) yang dapat kamu mix and match dengan mudah.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, belilah sesuatu yang sesuai dengan bujet dan kebutuhan kamu agar kamu tetap dapat tampil stylish tanpa harus merogoh kocek yang begitu besar dan di luar kemampuan.