Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Bahaya Tambang Masuk Kampus
3 Februari 2025 15:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Nafiatul Ummah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepekan terakhir, publik dikejutkan oleh rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, yang membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk terlibat dalam bisnis pertambangan.
ADVERTISEMENT
Keputusan ini menandai kelanjutan dari kontroversi sebelumnya, yaitu pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada masyarakat organisasi (ormas) menjelang akhir pemerintahan Joko Widodo. Yang mana dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), telah menerima kesepakatan ini. Namun, apakah kampus seharusnya mengikuti jejak yang sama?
Keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang menimbulkan kekhawatiran besar, bukan hanya karena dampak ekologis dan sosial dari eksploitasi tambang, tetapi juga karena ancaman terhadap independensi akademik, kontrol terhadap kampus, dan juga eksploitasi gerakan mahasiswa.
Kampus yang seharusnya menjadi ruang intelektual dan perlawanan terhadap eksploitasi justru berpotensi menjadi bagian dari sistem yang merusak lingkungan serta membungkam kritik sosial.
Kampus Diam Saat Terjadi Eksploitasi
Jika perguruan tinggi mulai bergantung pada bisnis tambang, mereka cenderung mengabaikan dampak negatif eksploitasi sumber daya alam. Dalam banyak kasus, industri pertambangan menyebabkan deforestasi, pencemaran udara, serta penggusuran masyarakat lokal. Namun, kampus yang mendapatkan keuntungan dari bisnis ini kemungkinan besar akan diam terhadap pelanggaran tersebut.
ADVERTISEMENT
Karl Marx dalam Das Kapital (1894) menjelaskan bagaimana sistem kapitalisme cenderung mengeksploitasi tenaga kerja dan sumber daya alam demi akumulasi modal. Hal ini menunjukkan bahwa kapitalisme tidak hanya mengeksploitasi tenaga kerja, tetapi juga mengubah institusi yang seharusnya independen menjadi bagian dari sistem yang menindas.
Jika kampus menjadi bagian dari jaringan bisnis ekstraktif, maka mereka akan terseret dalam logika kapitalisme yang lebih mementingkan keuntungan daripada mengundang lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Kampus yang seharusnya menjadi ruang berpikir kritis justru bisa berubah menjadi institusi yang mendukung eksploitasi demi mempertahankan dominasi ekonomi elit.
Pemerintah Dapat Mengontrol Mahasiswa Melalui Rektor
Ketika kampus terlibat dalam bisnis tambang, mereka akan memiliki ketergantungan pada izin, regulasi, dan kebijakan pemerintah. Hal ini membuka celah bagi pemerintah untuk mengontrol kampus, termasuk melalui rektor yang memiliki wewenang besar dalam menentukan kebijakan internal universitas.
ADVERTISEMENT
Michel Foucault dalam teorinya tentang kekuasaan dalam Discipline and Punish (1975), menjelaskan bahwa kontrol tidak selalu dilakukan secara represif, tetapi juga melalui mekanisme pengawasan yang halus dan sistematis.
Jika rektor bertindak sebagai perpanjangan tangan pemerintah dengan kepentingan bisnis di dalamnya, maka kampus akan kehilangan independensinya sebagai ruang intelektual. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk mengintervensi kebijakan akademik dan membatasi kritik terhadap negara.
Kasus di berbagai negara menunjukkan bagaimana pemerintah menggunakan rektor sebagai alat kontrol terhadap siswa. Di Turki, misalnya, pemerintah sering menunjuk rektor yang pro-pemerintah untuk menghentikan gerakan mahasiswa yang kritis. Jika kampus di Indonesia memiliki ketergantungan ekonomi pada tambang, maka pemerintah dapat lebih mudah mengontrol suara kritis di dalamnya.
Mendepolitisasi Gerakan Mahasiswa
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat bahwa mahasiswa memiliki peran besar dalam perlawanan terhadap ketidakadilan dan otoritarianisme. Gerakan mahasiswa di Indonesia telah berperan dalam berbagai perubahan sosial, termasuk Reformasi 1998. Namun, jika kampus terfokus pada bisnis dan kepatuhan rektor pada pemerintah, maka ruang gerakan mahasiswa akan semakin sempit.
Mendepolitisasi gerakan siswa sama seperti mencabut gigi seekor harimau: ia tetap ada, tetapi tidak lagi memiliki daya gigit. Jika mahasiswa kehilangan ruang untuk berpolitik dan mengkritik kebijakan publik, maka mereka hanya akan menjadi bagian dari sistem yang pasif dan tunduk pada kekuasaan.
Antonio Gramsci, dalam konsep hegemoninya, menjelaskan bagaimana kelas penguasa mempertahankan dominasinya tidak hanya melalui kekuatan militer atau hukum, tetapi juga melalui institusi budaya, termasuk pendidikan.
ADVERTISEMENT
Jika kampus berorientasi pada bisnis, maka pendidikan tidak lagi menjadi ruang pendanaan, melainkan alat untuk mempertahankan status quo. Dan jika mahasiswa terlalu terikat dengan urusan akademik yang dikomersialisasi, maka kesadaran politik mereka akan tumpul, dan gerakan sosial pun melemah (Gramsci, 1926).
Contohnya di Cina, mahasiswa memiliki ruang politik yang sangat terbatas karena kampus dikontrol ketat oleh negara. Kritik terhadap pemerintah seringkali dibungkam, dan pelajar yang aktif dalam gerakan sosial bisa mendapatkan sanksi akademik. Jika kampus di Indonesia masuk ke dalam jaringan bisnis dan kontrol pemerintah, bukan tidak mungkin skenario serupa terjadi di sini.
Dari pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa keterlibatan perguruan tinggi dalam tambang bisnis bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah etika, independensi akademik, dan kebebasan berpikir.
ADVERTISEMENT
Jika kampus menjadi bagian dari eksploitasi sumber daya alam, maka mereka kehilangan legitimasi sebagai ruang intelektual. Jika rektor tunduk pada kepentingan pemerintah, maka kampus tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi kebebasan akademik. Jika mahasiswa kehilangan ruang karena berpolitik, maka masa depan gerakan sosial akan suram.
Dari perspektif filsafat, kebijakan ini bertentangan dengan prinsip Immanuel Kant dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785), yang menekankan bahwa manusia dan institusi pendidikan tidak boleh hanya dijadikan alat untuk kepentingan ekonomi. Pendidikan harus terfokus pada pencarian kebenaran dan kesejahteraan kolektif, bukan semata-mata pada keuntungan finansial.
Maka, pertanyaan besar yang harus dijawab adalah: Apakah kampus masih ingin menjadi penjaga ilmu dan kebebasan berpikir, ataukah mereka siap menyerahkan diri menjadi alat eksploitasi dan kontrol kekuasaan.
ADVERTISEMENT