Guru yang Memilih Cara Mengajar, Menumbuhkan Murid yang Mahir Cara Belajar

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
12 Desember 2022 19:12 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi guru di sekolah inklusi Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi guru di sekolah inklusi Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aksi kunci terkait dengan cara mengajar yang selalu saya gunakan adalah memilih. Dalam proses desain kurikulum, bahkan sampai ke pembelajaran harian, cara bukan hanya sekadar sesuatu yang dijanjikan pendidik untuk difasilitasi, tetapi harus ditunaikan dalam bentuk strategi-strategi intervensi di berbagai situasi. Hal ini penting sekali kita sepakati, karena yang sejatinya sedang kita tumbuhkan, adalah kemampuan murid untuk mengendalikan proses belajarnya sendiri - sepanjang hayatnya nanti.
ADVERTISEMENT
Sebelum membahas keberagaman peran yang perlu kita jalankan setelah memilih cara tertentu, saya ingin menegaskan bahwa dalam proses pendidikan, tak ada garis pemisah yang tegas antara cara dan cita-cita pendidikan kita. Sekali lagi, alasan utama kita memilih cara belajar-mengajar tertentu dan kemudian konsisten mengimplementasikannya, bukan saja karena kita punya keyakinan bahwa cita-cita akan lebih efektif tercapai lewat cara itu, tetapi karena kita juga yakin bahwa cara ini adalah sesuatu yang kita ingin diteladani dan diinternalisasi oleh murid-murid di saat ini maupun di masa nanti.
Cara personalisasi, yang menempatkan murid sebagai subjek di proses belajarnya sendiri, pendekatan Memanusiakan hubungan/characterized, memahami konsep/comprehensive concept, membangun keberlanjutan/constructive continuity, memilih tantangan/challenging choices, memberdayakan konteks/community context (5M atau 5Cs adalah istilah yang kami pakai di Cikal dan Sekolah Murid Merdeka) yang menjadi ciri - dipilih karena tujuan utama pendidikan adalah menumbuhkan individu dengan keberdayaan untuk kemudian mentransfer pola interaksi 5M selama masa belajarnya, yang dicontohkan oleh guru-gurunya ke berbagai situasi karier atau pun perannya di masa depan dalam masyarakat. Human centered society, hanya akan terwujud lewat jembatan ruang kelas (dan ruang keluarga) yang berpihak kepada anak, sebagai pengendali dalam proses tumbuh kembangnya.
ADVERTISEMENT
Tanda nyata bahwa personalisasi sudah diterapkan di kelas kita, bukanlah murid-murid yang rajin mengerjakan tugasnya, atau bahkan bersemangat dan senang mengerjakan tugasnya. Saya “mengetes” cepat saat masuk ke berbagai kelas di ratusan kota dengan bertanya; apa yang sedang dikerjakan dan yang menjadi tujuan dari pekerjaan di kelas, dan mengapa mereka mengerjakannya. Setelah itu, ada pertanyaan lanjutan tentang mengapa saat ini adalah saat yang tepat untuk mempelajarinya, apa indikator keberhasilan proses belajarnya (dalam bentuk rubrik atau kriteria capaian pembelajaran yang dibuat partisipatif oleh semua), mengapa bersama dengan teman-teman ini dan apa kesulitan yang dialami serta troubleshooting yang sudah mereka dan guru lakukan selama ini. Dokumen ini sering disimplifikasi sebagai dokumen standard isi atau sering disebut scope and sequence document, tetapi seharusnya mencakup lebih dari cakupan dan urutan pembelajaran dalam setiap mata pelajaran. Sejatinya, dokumentasi kurikulum operasional sekolah yang bukan hanya menjadi panduan cita tetapi juga kesepakatan cara harus mampu menjabarkan ini apa yang saya tanyakan kepada murid-murid dalam kunjungan saya. Akan tetapi, sebagai dokumen yang hidup di tengah warga sekolah, semua yang sedang belajar bersama, sekali lagi, terutama murid, perlu mampu mengartikulasikannya di titik saat itu dalam pembelajarannya kepada siapapun yang berdialog dengannya.
ADVERTISEMENT
Salah satu bagian penting yang juga perlu disadari penuh oleh pendidik di lembaga, terlepas dari pentingnya situasi (dan intensi positif) dari kita sebagai pendiri atau pengelola satuan pendidikan dalam memilih menjalankan cara - the how and where dari kurikulum kita, selalu ada pengaruh karakteristik murid yang menentukan kesuksesan kita.
Bahkan pendidik yang sudah berpengalaman pun sering lupa, bahkan materi bukan hanya tentang apa yang dipaparkan guru sebagai pemantik diskusi tetapi pengalaman hidup murid yang dibawa sebagai pengetahuan awal dengan segala kenaifan atau bahkan trauma ke dalam kelas. Riset tentang diskrepansi motivasi antara satu murid dengan murid lainnya, dari kelas bayi-bayi sampai ke ruang kuliah di perguruan tinggi, jelas menunjukkan bahwa apa yang lebih diminati akan lebih mudah dan cepat menjadi aksi, serta tentunya menjadi kompetensi yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
Transparansi dalam proses belajar-mengajar, upaya membuat visible perjalanan dari tidak tahu/tidak paham/tidak terampil/tidak punya kecendrungan/tidak bisa melakukan - menjadi tahu/paham/terampil/bersikap positif/beraksi konsisten, adalah hal terpenting di profesi ini.
Salah satu miskonsepsi utama para pendidik, yang menyulitkannya dalam mencapai cita-cita kompetensi sekaligus cara personalisasi adalah tentang murid dan motivasi. Guru masih banyak yang beranggapan bahwa apapun kurikulumnya, murid memang susah atau tidak suka dan bahkan tidak belajar (dengan meregulasi dirinya sendiri). Hal ini menggambarkan orientasi yang tak tepat tentang anak dan apa yang alamiah dalam proses belajar manusia. Personalisasi, sejak dari sononya punya asumsi motivasi diri yang sangat berbeda. Memanusiakan hubungan, karena percaya anak punya fitrah memuaskan keingintahuan, bawaan untuk mengeksplorasi minat dan keunikan, dari dalam dirinya. Memahami Konsep, dilandasi oleh temuan bahwa otak punya misi sejak awal untuk mencari informasi, menangkap esensi sekaligus melatih jaringan-jaringan syaraf untuk mengelola berbagi stimulasi sensori yang dialami setiap hari. Membangun Keberlanjutan juga pendekatan yang didukung data bahwa murid punya ekspektasi pada proses belajar dan keberhasilan diri mereka sendiri, semakin nyata rutenya menuju kesana, semakin banyak tanda dan fitur yang membantu keaktifan murid untuk menghubungkan dan menavigasi satu bagian pembelajaran dengan lainnya, maka akan semakin tinggi ekspektasi mereka terhadap perannya sebagai desainer kesuksesan (ataupun kontributor kegagalannya).
ADVERTISEMENT
Memilih tantangan pun demikian, paradigma yang mendasarinya adalah keyakinan bahwa anak ingin bisa dan menikmati ke-“bisa"-an, self efficacy yang tinggi, kepercayaan diri, tidak muncul saat berhadapan dengan tugas yang mudah atau menghindari masalah. Bidang ilmu neuroscience menunjukkan bahwa proses belajar sepanjang hayat dimungkinkan karena otak manusia menghargai usaha dan proses sama besarnya (atau bahkan dalam situasi tertentu lebih besar) dibandingkan hasil.
Ini tentu bukan anjuran untuk menyiksa dan membebani anak secara berlebihan dalam pendidikan, ajaran yang sering disebarkan dengan tujuan “better get used to it” oleh yang menjustifikasi disiplin punitif di persekolahan. Tantangan yang dipilih, menjadi mekanisme kenikmatan yang dicandu karena kesukarelaan dan keberdayaan murid dalam perjalanan belajar personalnya. Memberdayakan konteks juga merupakan pendekatan yang bekerja selaras untuk terus menyalakan energi murid dalam proses belajarnya. Relevansi dan koneksi antara apa yang terjadi di kelas dengan kehidupan sehari-hari, “the (super) power of leaning” - aku bisa ini dan bisa itu sebagai hasil dari proses belajarku, jelas menjadi motivasi tak berkesudahan yang menguatkan kegemaran belajar murid kita. Dalam upaya memahami dan tidak melulu menyalahkan guru-guru yang masih punya orientasi berbeda, saya ingin mengajak kita menyadari bahwa asumsi ini terbentuk karena pengalaman buruk pada saat berhadapan dengan murid-murid yang memang tak terbiasa dengan cara belajar-mengajar 5M sebagaimana yang digambarkan sebelumnya. Dalam skenario yang umum terjadi ini, baik murid maupun guru punya traumanya masing-masing, sehingga yang muncul bukanlah reaksi alamiah terhadap proses belajar dan mengajar di sekolah, tapi sikap tidak saling percaya, saling menilai dan menghakimi, sulit berempati.
ADVERTISEMENT
Saya sadar betul, betapa banyaknya kita yang selama ini menjadi “korban” ekosistem yang tidak memberdayakan. Bicara Cara 5M seolah bicara tentang nirvana yang tak mungkin terjadi di ruang kelas kita, karena yang selama ini dialami adalah hubungan yang dipaksakan dan berasaskan kekerasan, konsep yang dipinggirkan dan hanya penjejalan pengetahuan yang tak penting untuk masa depan, kegagapan dan kebutaan akan peta pembelajaran, beban yang berlebihan dan pembelajaran yang dirasa tak berguna untuk kehidupan nyata sampai kapanpun juga. Tanpa perlu diminta membayangkan, pasti banyak kita yang kemudian mengingat betapa sulitnya perjalanan belasan tahun sebagai murid dan guru di sekolah. Tanpa perlu diminta menggerakkan, saya juga yakin kita semua ingin memutus lingkar penderitaan belajar dan melakukan perubahan demi kemerdekaan semua dan setiap anak (sekali lagi, juga orang dewasa yang terperangkap bersamanya).
ADVERTISEMENT
Guru yang menerapkan cara 5M, sadar betul bahwa personalisasi bukan hanya tentang proses mengajar, tetapi lebih banyak tentang proses belajar. Memahami luas dan besarnya pengaruh kita sebagai pendidik, sekaligus sempit dan kecilnya peran kita dibanding muridnya sendiri, membuat saya sejak awal memasuki profesi ini dengan penuh ambisi tapi juga penuh kerendahan hati.