Kenapa Cakupan Kurikulum Perlu Dikurangi

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
28 November 2022 19:10 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi siswa. Foto: exam student/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siswa. Foto: exam student/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengapa dan bagaimana kita mengurangi cakupan kurikulum dibandingkan dengan kondisi saat ini, yaitu kebanyakan kurikulum punya materi isi yang banyak sekali, adalah salah satu pesan kunci yang saya harapkan ditarik pembaca dari tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Salah satu kabar gembira bagi ekosistem pendidikan Indonesia adalah penerapan Kurikulum Merdeka, yang salah satu karakteristiknya adalah pengurangan cakupan materi dibanding kurikulum nasional sebelumnya. Tentu saja, sekadar perubahan kebijakan, tidak otomatis menjamin perubahan di lapangan. Dalam berbagai konteks pendampingan, terlihat bahwa terlepas dari kemerdekaan yang dianjurkan kurikulum nasional, di sekolah ataupun daerah, tetap ada dorongan untuk melampaui yang minimal dan kembali pada “rigor” atau standar tinggi yang seringkali jadi penghambat reformasi.
Argumen utama tentang cakupan yang minimal, adalah cara personalisasi hanya akan mungkin terjadi apabila isi kurikulum memberi ruang dan waktu yang cukup untuk semua yang harus dipelajari bisa dilakukan lewat pendekatan yang menempatkan murid sebagai pengendali proses belajarnya sendiri. Argumen lainnya, terlepas dari cara apa pun yang digunakan, content overload dalam kurikulum, adalah fenomena kasat mata yang terjadi bukan hanya di pendidikan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penyebabnya adalah ekspektasi yang tidak realistis tentang kemampuan murid dan juga kemampuan guru atau dosen. Konten yang berlebihan, dan terus ditambahkan, bagaikan Hydra di mitologi Yunani, yaitu menjadi sesuatu yang tak bisa dikendalikan di era informasi karena memang intensi “mulia” untuk melengkapi pengetahuan murid dengan segala yang “just in case” akan diperlukannya, tidak mungkin dipenuhi. Semakin banyak yang diberi, murid bukan saja menjadi seperti gelas yang luber isinya saat guru menuang materi, tetapi bahkan sampai seperti orang yang minum dari selang pemadam kebakaran dan tetap membakar tenggorokan bahkan menenggelamkan sang guru penyelamat di waktu yang bersamaan.
Sebagian Anda mungkin tertawa kecut membaca analogi ini, saya miris sembari sekali lagi mencoba optimistis bahwa kurikulum yang memberdayakan konteks bisa menjadi alat penyaring utama untuk seleksi konten mana yang layak dipakai dan mana yang dikurangi.
ADVERTISEMENT
Desainer kurikulum yang baik, menyadari penuh bahwa relevansi terkini menjadi janji pendidikan yang harus ditepati. Memperbarui tapi bukan berani sekadar melengkapi, namun juga berarti tidak mensortir ulang apa yang sudah tidak “muat lagi”. Kita kembali tersenyum mengingat-ingat situasi rapat kurikulum saat semua berlomba-lomba mengusulkan materi, semakin banyak ahli di topik spesifik yang terkini, rasanya semakin banyak juga hal yang perlu diketahui oleh murid. Keahlian memang tidak menggambarkan kemampuan mengkurasi mana yang layak diajarkan. Guru dan dosen perlu punya kombinasi forward thinking dan backward planning dalam cakupan kurikulum. Tidak ada jalan pintasnya, semua materi misalkan ledakan baru di bidang ilmu tertentu atau mazhab klasik yang kudu mesti dihafal sampai mati, perlu dipilah dengan teliti.
ADVERTISEMENT
Dalam pengalaman saya, selama penyaringan, kita semua perlu berhati-hati bukan hanya pada materi yang terlalu mudah “disepakati” hanya karena sudah tradisi tetapi juga pada bias saat menyingkirkan topik tertentu karena dianggap penuh kontroversi atau sarat pertentangan nilai.
Seringkali, ada juga topik yang sebenarnya bagian yang esensial untuk generasi Z, tapi terlewat dalam cakupan karena konflik lintas generasi yang menyebabkan kita sebagai pendidik cenderung kurang peduli. Banyak sekali contoh berkait pendidikan seksualitas atau spiritualitas, yang kasusnya seperti ini. Selain topik yang “terkebelakangkan”, data juga menunjukkan, ada materi-materi lintas jenjang yang paling sering tak direncanakan, yaitu materi terkait demokrasi dan kebangsaan.
Cakupan kurikulum memang selalu soal prioritas. Berbeda dengan yang disampaikan pejabat pengembang kurikulum nasional, pengampu jurusan tertentu di fakultas keguruan, apalagi politisi, secara akademik sudah cukup banyak bukti lintas negara tentang kompetensi yang menjadi fondasi di jenjang tertentu, yang lolos berbagai kurasi dan dianggap lebih penting secara saintifik daripada materi-materi lain sesuai tahap perkembangan.
ADVERTISEMENT
Prioritas-prioritas cakupan inilah yang harus dipahami oleh semua guru lintas jenjang, lintas mata pelajaran dan menjadi acuan berkesinambungan. Hasil karya berkait ini, menjadi inti asesmen yang juga berulang, diobservasi dan dinilai lintas tahun ajaran. Salah satu contohnya di sekolah kami; menghasilkan paragraf esai. Bagaimana membuat pernyataan dan kesimpulan, menjelaskan latar belakang dan mendeskripsikan kompleksitas dengan pemilihan kata, kelancaran kalimat dan konvensi yang tepat adalah salah satu aspek kompetensi yang dibutuhkan lintas profesi, sebagai warga dunia yang berkontribusi.
Ada dua pertanyaan yang lazim berulang dalam musyawarah kami di Sekolah Cikal dan Sekolah Murid Merdeka tentang cakupan kurikulum, keduanya berkait waktu, contohnya sebagai berikut:
"Di antara semua yang menarik untuk menjadi cakupan kurikulum, mana yang akan berguna bagi murid 5-10-20 tahun yang akan datang saat saya sebagai guru bertemu mereka di masa depan?”
ADVERTISEMENT
"Kalau menurut saya ini penting diajarkan, apakah sekarang, di periode usia/jenjang pendidikan ini adalah waktu tertepat berkaitan tingkat kesiapan anak untuk anak belajar?”
Seperti diduga, banyak materi usulan yang berguguran walau bukan berarti tanpa melewati perbantahan 😁
Masih bingung? Selain kebermanfaatan di jangka panjang dan filosofi “just in time” tadi, saya sering menambahkan syarat memilih materi yang paling berkait dengan bidang ilmu lain. Pendekatan transdiciplinary ini, menghindari “pertumpahan darah” dan melatih guru untuk lebih sering berkolaborasi dalam pelaksanaan program, pemenuhan kredit, asesmen sumatif serta hal-hal teknis dalam implementasi lain dari cakupan kurikulum.
Dari musyawarah ini juga, kurikulum yang memberdayakan konteks ditetapkan sebagai latar belakang adanya perbedaan cara kontekstualisasi tujuan pembelajaran di cabang Sekolah Cikal dengan karakteristik murid di kalangan tertentu atau Hub Sekolah Murid Merdeka yang berlokasi di kabupaten tertentu mendapatkan justifikasi.
ADVERTISEMENT
Otonomi guru untuk mengkontekstualisasi kurikulum, bukan cek kosong yang digunakan sesuka hati. Perlu ada “tes relevansi” untuk setiap materi yang bukan hanya dilakukan satu (tahun ajaran) sekali, tetapi terus berefleksi tentang fleksibilitas konten yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi murid yang harus dipenuhi.
Salah satu diskusi yang memakan waktu panjang dan rasanya tak pernah usai dalam karier saya di pendidikan adalah tentang materi dan mata pelajaran wajib vs pilihan. Setelah puluhan tahun menggeluti isu ini, di sekolah yang saya inisiasi kami kembali pada premis dasar bahwa wajib dan pilihan akan berbeda antara satu anak dengan anak lainnya.
Bagian tersulit dari keputusan ini? Apabila sebagai sekolah yang mencoba menerapkan kemerdekaan belajar, pola asesmen kita belum sama merdekanya. Tak akan bisa ada perubahan dalam upaya konstektualisasi kurikulum, dari sudut cita, cara ataupun cakupan, tanpa perubahan di standar penilaian. Karena sesungguhnya di titik asesmen yang mengukur cita (kompetensi) dan dilakukan dengan cara sejalan (personalisasi), cakupan yang juga dipilih sesuai kondisi menjadi mungkin diimplementasikan.
ADVERTISEMENT
Terlebih setelah pandemi, krisis demi krisis yang dilalui murid dan ekosistem persekolahan kita, peran pemimpin perubahan (formal maupun informal) menjadi makin krusial. Yang saya kagumi dari banyak pimpinan sekolah dan madrasah yang menginsipirasi adalah kemampuannya membingkai percakapan dengan lensa yang lengkap. Teringat jelas bagaimana seorang Kepala Madrasah di Cimahi bercerita tentang selisih paham antara guru muda dan lebih tua, berebut jam mengajar, yang katanya tidak terbagi rata. Konflik ini menjadi kesempatan memengaruhi paradigma baginya, diskursus yang kemudian dikembangkannya adalah apa definisi dari jam belajar dan apakah benar anak hanya belajar sejumlah sesi jam di kelasnya.
Proporsi waktu terstruktur dan mandiri, di rumah dalam bentuk PR atau dalam bentuk pekerjaan kelompok yang bahkan terkait ekstra kurikuler dan organisasi kesiswaan yang seringkali dianggap di luar desain pembelajaran, kemudian menjadi bahan studi bersama guru-guru dan tenaga kependidikannya.
ADVERTISEMENT
Luar biasa ya! Isu senioritas yang biasanya menjadi api dalam sekam, bukan saja berhasil dibuat tidak relevan, tetapi secara konstruktif dikembalikan ke paradigma solusi yang mengedepankan keberpihakan kepada anak.
Di Temu Pendidik Nusantara IX, begitu banyak rencana terhadap satu kurikulum dengan jutaan konteks ini agar dapat menggerakkan seluruh eksosistem pendidikan menuju perubahan yang kita inginkan. Selain keuntungan karena pimpinan sekolah sekarang mempunyai fokus lebih pada kurikulum, ada beberapa risiko yang perlu dimitigasi apabila fokus ini kemudian kembali salah orientasi menjadi lomba mendapat nilai tinggi di asesmen nasional atau hal-hal lain yang dipandang mempengaruhi reputasi sekolah dan bahkan jabatan pimpinannya.
Yang juga menarik dari gelagat positif maupun negatif ini adalah persepsi guru terhadap pimpinannya dalam konteks implementasi kurikulum cenderung selalu rendah. Guru jarang memandang kurikulum sebagai tanggung jawab inti kepala sekolah, ragu-ragu akan kapasitasnya bahkan tidak mengharapkan bantuannya dalam pengembangan cita-cita, cara dan cakupan kurikulum di satuan pendidikannya.
ADVERTISEMENT
Sebelum berburuk sangka, saya ingin buru-buru menyatakan bahwa stereotipe ini kemungkinan muncul karena data lain menunjukkan bahwa umumnya kepala sekolah hanya menghabiskan 15-20% waktunya untuk mengkoordinasikan kurikulum dan pembelajaran, bahkan hanya 3-10% waktu untuk berada dalam kelas bersama murid dan guru. Sulit untuk berharap banyak pada upaya mengejewantahkan kurikulum yang memberdayakan konteks dalam bila tak ada perubahan signifikan di pola ini.
Isu operasional sehari-hari dalam tugas kita sebagai pendidik banyak sekali, kurikulum yang memberdayakan konteks selalu dikebelakangkan karena tidak dipandang sebagai urgensi. Berbeda dengan isu depan mata yang bahkan mengancam jiwa seperti pemeliharaan sarana di sekolah atau keterbatasan anggaran madrasah, atau bahkan naik kelas atau tidaknya murid kita. Kurikulum yang memberdayakan konteks seolah substansi yang amat sangat jauh pengaruhnya terhadap keberlangsungan kegiatan satuan pendidikan kita. Fakta ini valid tapi bukan tanpa konsekuensi.
ADVERTISEMENT
Sesuatu yang penting dan diyakini perlu dilakukan tanpa henti walau dengan keterbatasan sumber daya yang miliki, bukan berarti mustahil dilakoni. Jelas buat saya, mewujudkan kurikulum yang memberdayakan konteks butuh proses belajar dan berbagi tiada henti antarpemangku kepentingan yang siap berinovasi.
Apakah kurikulum yang memberdayakan konteks mungkin diwujudkan? Apakah cita, cara dan cakupan dapat menunjang upaya yang akan kita lalukan? Ya dan ya! Apakah ada jalan pintas? Belum saya temukan :) Prosesnya selalu panjang dan butuh ketekunan. Akan tetapi, hasilnya juga selalu kekal dan mencengangkan!