Konten dari Pengguna

Menikah Muda

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
18 Desember 2021 17:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menikah mengurangi resiko demensia. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Menikah mengurangi resiko demensia. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Terlalu muda untuk menikah, berapa patokan usianya? Berapa lama minimal kenal? Salah satu pertanyaan yang sering saya dapat dari teman-teman di usia 20-an yang biasanya berubah dari keingintahuan tentang teori psikologi menjadi keheranan saat saya memulai jawaban dengan mengungkapkan bahwa saya menikah di saat usia belum genap 19.
ADVERTISEMENT
Ada gugatan, ada dukungan, yang pasti tidak ada satupun dari kita yang hadir ke percakapan tentang pernikahan bagaikan kertas kosong tanpa coretan. Kita terlahir dari orang tua, yang jadi teladan harian tentang keberpasangan, hidup di tengah kerabat dan sahabat yang menjadi pelajaran baik ataupun trauma buruk tentang hubungan. Satu pesan yang selalu saya ingat dan terus ingatkan: Menikah dan menjadi pasangan dalam hubungan adalah hal yang berbeda. Yang pertama berkait dengan momen tertentu, yang kedua adalah perjalanan yang tak henti sepanjang hayat.
Memutuskan dan menjalani, untuk semua suami dan istri-pilihan mencintai orang yang sama setiap hari adalah kunci. Di pernikahan yang terjadi lebih dini, keyakinan ini yang datang lebih cepat dibanding sebagian besar teman sebaya di usia yang sama. Setiap kali ditanya, apa yang meyakinkan saya bahwa orang yang tepat sudah hadir di usia muda-tak ada satu pun peristiwa yang jadi penentu, tapi di sisi lain tak ada juga tanda bahaya yang membuat saya merasa ragu bahwa menikah adalah langkah yang akan kami ambil bersama. Pandangan akan masa depan, menjadi landasan utama keyakinan.
ADVERTISEMENT
Penelitian menunjukkan bahwa kesuksesan atau kegagalan pernikahan banyak ditunjukkan oleh tujuan. (Calon) Pasangan perlu paham bahwa pernikahan, bukan pelarian dari suatu keadaan, atau cara menyelesaikan permasalahan. Tujuannya tak bisa menghindari ketidakstabilan dan mengharapkan kemapanan instan dalam berpasangan. Tak juga tepat untuk menghindari berbagai batasan dan pengekangan untuk kemudian justru mencari ruang kebebasan dengan status pernikahan. Yang lebih umum, tapi juga sama rapuhnya, mencoba mendefinisikan kesuksesan dengan mengubah status sebagai suami atau istri seseorang, dan kemudian punya harapan berlebihan pada pasangan.
Di usia berapa pun, jebakan “salah tujuan” dan akhirnya “tersesat” dalam kerapuhan hubungan, sangat mungkin terjadi pada pasangan. Akan tetapi, secara spesifik, penelitian juga menunjukkan ada kerentanan tertentu pada seseorang yang memulai pernikahan di usia akhir belasan atau awal 20-an. Buat saya, saat melihat datanya, jelas sekali bahwa menikah muda datang dengan tantangan, tetapi di sisi lain, selalu ada dampak berbeda yang menjadi capaian justru saat “ujian” dimanfaatkan sebagai cara “naik kelas” meningkatkan kualitas personal maupun hubungan.
ADVERTISEMENT
Menikah di usia muda memang terasa seperti “tumbuh lebih cepat”, ada risiko jadi karbitan-memaksakan diri yang secara tahap perkembangan masih ada di dewasa muda atau bahkan ujung remaja akhir, untuk menghadapi tanggung jawab besar dan jangka (sangat) panjang. Yang saya sadari di awal-awal, ternyata memilih menikah muda, bukan hanya soal komitmen mengikat diri pada seseorang, tetapi juga komitmen untuk melepaskan ikatan pada masa sendiri dan eksplorasi yang selesai lebih cepat.
Apakah banyak yang terlewatkan? Secara realistis, untuk semua yang menikmati masa kuliah dengan semua rencana dan agenda, maka jawabannya “tentu saja”. Relasi dengan teman seumuran, tidak pernah sama-karena secara sosial dan emosional, bahkan juga fisik dan kognitif, pengalaman menikah membuat Anda seolah berada di jalur yang berbeda. Tetapi apakah yang didapatkan dengan menikah lebih berharga daripada apa yang terlewatkan di masa muda? Maka jawabannya bisa sangat bervariasi antara satu pasangan dengan pasangan lainnya, bahkan antara suami dan istri yang berada dalam hubungan yang sama.
ADVERTISEMENT
Pernikahan selalu soal menemukan diri bersama-sama, di saat salah satu atau kedua individu di dalamnya masuk ke dalam hubungan dengan pengalaman minim akan identitas personalnya-maka selalu ada risiko salah satu pihak yang lebih matang akan memengaruhi proses pembentukan pihak lainnya. Lagi-lagi, apakah persenyawaannya akan terpengaruh secara positif dan menghasilkan individu-individu yang menjadi lebih baik sebagi dirinya masing-masing dan makin kuat saat bersama—atau sebaliknya—akan tergantung pada dinamika relasi.
Modal pentingnya, penghormatan pada keunikan pasangan. Menikah tentu tidak berarti menyeragamkan minat atau pendampingan melekat 24 jam. Pasangan yang saling memperkaya, terus belajar—dengan penuh kekaguman—bahwa suami atau istrinya menyukai dan mendalami hobi atau profesi yang tak selalu serupa. Sintesa dari dua manusia dengan segala perkembangannya bukan saja pasti terjadi, tetapi justru resep penting yang membuat pernikahan tak pernah membosankan.
ADVERTISEMENT
Modal lain yang terbukti membantu untuk pasangan di usia tua maupun muda adalah kemampuan berkomunikasi. Mudah untuk sepakat tentang ini, berbicara dan mendengar adalah kunci interaksi apalagi yang sedalam dan seintensif hubungan suami-istri. Namun, salah kaprahnya dalam praktik masih banyak sekali, bahkan bagi yang sudah puluhan tahun hidup sebagai perempuan maupun laki-laki. Bernegosiasi, menunjukkan empati dan mengapresiasi, butuh dilatih.
Menikah di usia muda, bisa jadi keuntungan buat sebagian kita. Di saat satu pandangan merasa bahwa di masa muda justru banyak yang masih keras kepala atau kurang sabar dalam komunikasinya—saya justru melihat banyak bukti, menikah di usia ini memberikan kesempatan berlatih dini. Sementara pasangan yang lebih tua, dengan segala capaian dan kemenangan sebelumnya jadi lebih sulit mengalah, pasangan yang menikah di usia muda belum punya kebiasaan “salah” yang mempersulit kemampuan komprominya. Apalagi, kompromi bukan hanya dipengaruhi oleh siapa sang suami dan siapa sang istri, tetapi juga oleh konteks keluarga, juga lingkungan kerja.
ADVERTISEMENT
Proses menemukan jodoh ada yang cepat dan ada yang lambat, pesta pernikahan ada yang sederhana ada yang mewah, saya bertemu dengan banyak laki-laki dan perempuan yang merasa “beruntung” atau dapat “gampangnya”. Tetapi saat refleksi tentang apa yang terjadi setelah ijab-kabulnya, di perayaan ulang tahun emas pernikahan atau setelah melalui perceraian, tak satupun yang dengan lantang bisa mengatakan bahwa prosesnya mudah. Krisis dalam pernikahan adalah niscaya, pasti dialami semua kita. Semoga keselarasan nilai selalu menjadi pemersatu. Apa yang dipercaya berdua, sebagian bagian utama dari peran kita yang akan kita pegang teguh sepanjang masa, menjadi penangkal keterberaian keluarga, di usia berapa pun kita memulainya.
Ada yang punya cerita tentang pernikahan di usia muda? Mengalami sendiri ataupun mengamati orang-orang di sekitar sehari-hari—apa refleksi yang berharga untuk dibagi?
ADVERTISEMENT