Menjadi Relawan, yang Maha Besar Cintanya pada Kemanusiaan

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
5 Desember 2022 20:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemberangkatan sejumlah relawan kemanusiaan untuk korban gempa Cianjur oleh Polda Metro Jaya, Senin (28/11/2022). Foto: Ananta Erlangga/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pemberangkatan sejumlah relawan kemanusiaan untuk korban gempa Cianjur oleh Polda Metro Jaya, Senin (28/11/2022). Foto: Ananta Erlangga/kumparan
ADVERTISEMENT
Menjadi relawan adalah pilihan perjalanan hidup yang paling emosional. Bukan karena kita punya harapan tinggi akan perbaikan (yang tak selalu menjadi kenyataan dengan cepat), tetapi terlebih karena kita punya harapan sangat tinggi pada kemampuan diri untuk mengupayakan perubahan fundamental. Di banyak titik perjalanan ini, seringkali kita bukan hanya khawatir akan dunia, tapi juga khawatir mengecewakan diri dan teman-teman lain yang juga percaya.
ADVERTISEMENT
Relawan selalu identik dengan kata keseimbangan. Kita terus belajar apa definisi dari hidup di pertengahan. Kita perlu kemarahan, karena gelisah selalu membakar semangat, tetapi jangan sampai berlebihan. Relawan tak patut menjadi ekstrimis yang kemudian frustasi dan kehilangan nyala api. Kita butuh empati tak bertepi bagi mereka yang seharusnya mendapatkan afirmasi, tetapi jangan sampai kelewatan. Relawan tak boleh menjadi pahlawan kesiangan yang melayani karena dorongan mengasihani.
Menjadi relawan biasanya didorong oleh keinginan berafiliasi, juga menguatkan ikatan sosial dan nilai. Sebagian kita meneladani apa yang dilakukan keluarga di beberapa generasi pendahulu, sebagian yang lain justru membuka jalan bagi sebuah tradisi berkontribusi yang baru. Dari manapun titik toloknya, tujuan akhir kerelawanan bukan soal kesuksesan materi, tetapi selalu soal penerimaan diri dan pemenuhan sense of belongingness yang sejati. Perjalanan menjadi bagian dari komunitas, bukan paksaan menyesuaikan diri, menjadi konformis yang berusaha fit in dan mengubah diri. Berkembang dalam kerelawanan dari waktu-kewaktu, menguatkan siapa kita yang sebenarnya yaitu sesama manusia yang setia pada cita-cita selalu.
ADVERTISEMENT
Menjadi relawan identik dengan kerekatan ide dan keaktifan berkegiatan, merasa kita diterima tanpa syarat. Yang paling membuat kecanduan: tatapan tanpa kata dalam pertemuan, dengan pesan: I want to be here and knowing clearly that they want me to be here, period.
Relawan mempraktikkan kompetensi unik yang tak dilatih oleh orang kebanyakan, terus memahami makna sesungguhnya dari kontrol/kendali. Relawan hadir secara jangka panjang di berbagai kondisi, dengan motivasi tinggi beraksi karena berdaya, sembari meyakini bahwa semua orang, bahkan di tengah bencana, punya potensi untuk menolong diri sendiri. Ini berbeda dengan politisi atau “wisatawan” yang datang ke situasi yang sama, menjalin koneksi di permukaan atau jangka pendek saja, dengan motivasi citra. Asumsi mereka biasanya, seseorang yang (akan) berkuasa, memiliki kendali atas orang lainnya, atau bahkan bisa memanipulasi lewat bantuan yang diberikannya.
ADVERTISEMENT
Menjadi relawan didasari solidaritas dan keinginan memberikan dukungan, namun juga kesadaran dan penghormatan pada perbedaan. Mempertanyakan status quo atau kemampuan mendonasikan sumber daya, tak cukup sebagai bekal kerelawanan berkelanjutan. Yang paling mengagumkan adalah mereka yang rajin menularkan aspirasi dan punya kedisiplinan untuk memeriksa realita yaitu meraih mimpi, mengelola data serta fakta selama bekerja di organisasi nir laba.
Relawan dengan sukarela membela yang lemah. Penurunan jumlah relawan di lingkungan, bukan saja menunjukan kemunduran moralitas individu, tetapi juga menunjukkan kekalahan budaya. Jangan sampai kita menjadi Indonesia yang warganya mengklaim hidup dengan Pancasila yaitu dengan beragam agama, kelas sosial, ras atau gendernya, tetapi secara kolektif tak mampu menghayati etika sebagai panduan berperilaku.
ADVERTISEMENT
Ketakutan pada perubahan, ketergantungan pada kenyamanan, adalah hambatan terbesar dari perjuangan kerelawanan yang perlu menjadi agenda bersama untuk kita advokasikan. Demi cinta yang maha besar pada kemanusiaan. Yang juga menjadi hambatan, bila kita punya prasangka bahwa ada golongan tertentu yang tidak mau berubah. Label penggerak tak boleh dimonopoli oleh segelintir kelompok saja.
Menjadi relawan adalah privilese awal yang bisa ditularkan kepada sekitar, dalam berbagai keadaan. Berbeda dengan privilese lain yang diwariskan dan kadang kala subur di antara ketidakadilan, menjadi relawan adalah kemewahan yang fondasinya justru kesetaraan kesempatan.
Relawan yang paling ingin saya hargai di perayaan Hari Relawan Sedunia hari ini, adalah pemuda-pemudi generasi Z, yang mengambil tanggung jawab berkontribusi dengan sepenuh hati. Murid dan mahasiswa yang mendemonstrasikan tanda utama pencapaian kemerdekaan berkolaborasi dan berkarya dengan menjadi bagian dari masa depan bangsa yang selalu bisa diandalkan oleh sesama.
ADVERTISEMENT
Menjadi relawan adalah upaya terus menerus mendeklarasikan kebaikan, dengan kesadaran penuh bahwa hal ini sulit sekali diwujudkan. Perayaan terbesar di Hari Relawan sesungguhnya adalah penghargaan pada keberanian bersuara dan berbuat, walau resikonya adalah kegagalan, karena bahkan bayangan tentang keberhasilannya begitu layak untuk tak henti diperjuangkan. Kenyataan yang dihadirkan dengan #kerjabarengan akan membuktikan bahwa kita menggerakkan semua yang dianggap sebagai ke-(tidak)-mungkinan.
Selamat Hari Relawan Sedunia!