Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Terlalu Positif Itu Nggak Selalu Baik! Yuk, Kenali Toxic Positivity
17 Januari 2025 16:50 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Najla Salsabila Muthi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat seseorang menghadapi kesulitan atau kesedihan, kita sering kali memberikan kalimat-kalimat motivasi seperti “Semangatttt ya! gaa apa-apa, nanti juga berlalu” Meskipun maksudnya baik, ucapan seperti ini justru bisa menjadi bentuk toxic positivity, dorongan untuk selalu berpikir positif sambil mengabaikan emosi negatif yang sebenarnya valid. Di artikel kali ini, kita akan membahas apa itu toxic positivity, bahaya nya, dan cara menghindari nya.
Apa Itu Toxic Positivity?
ADVERTISEMENT
Toxic positivity tuh kayak trend good vibes only yang dipaksain. Intinya, kita disuruh mikir positif terus-terusan sambil pura-pura nggak ada masalah. Padahal, emosi negatif itu penting banget buat diakui. Menurut penelitian di Journal of Personality and Social Psychology, menerima perasaan sedih atau marah itu justru bikin mental kita lebih sehat karena jadi lebih ngerti sama diri sendiri.
Contoh toxic positivity yang sering muncul:
“Kamu nggak boleh sedih, harus kuat!”
“Lihat sisi baiknya aja, jangan fokus ke masalahnya.”
“Ada orang lain yang lebih susah, kamu harusnya bersyukur.”
Well, maksudnya sih baik, tapi dampaknya? nothing hehe
Kenapa Toxic Positivity Bisa Berbahaya?
1. Mengabaikan Validitas Emosi
Semua emosi, baik itu happy vibes atau bad vibes, punya fungsi masing-masing. Kalo kita terus disuruh ignore emosi negatif, kita bakal kehilangan kesempatan buat memproses masalah dengan cara yang sehat. Sebuah artikel di Journal of Experimental Psychology bilang, suppressing emosi negatif malah bikin stres kita makin nambah lohhh
ADVERTISEMENT
2. Meningkatkan Rasa Bersalah
Wondering lagi sedih, terus kita dikasih tau buat “fokus ke hal baik aja” bukan cuma nggak membantu, kamu malah jadi mikir, “Gue salah banget ya sedih?” Padahal kan, being sad is totally human, right?
3. Merusak Hubungan Sosial
Toxic positivity bikin orang merasa nggak didenger. Jadi, next time mereka mikir dua kali buat curhat sama kita. Hasilnya? Relasi bisa jadi renggang cuma gara-gara kita nggak tau caranya support.
Cara Menghindari Toxic Positivity
1.Jangan abaikan emosi lawan bicara
Kalau ada temen yang curhat, instead of bilang, “Jangan sedih,” kita bisa coba, “I feel you, pasti berat banget ya. kalo udh mau ceritaa, bilang yaa?” Simple, tapi impactful.
ADVERTISEMENT
2. Izinkan Diri untuk Merasa "Kita Nggak Selalu Harus Happy"
Feeling sad, kecewa, atau bahkan marah itu normal banget. Sebuah studi di Psychological Science bilang, orang yang mau menerima emosi negatif malah punya mental health yang lebih stabil.
3. Fokus pada Empati, Bukan Motivasi
Kadang, orang tuh nggak butuh solusi, cuma butuh ada yang dengerin. Coba deh tanya, “Apa yang bisa gue bantu?” instead of nyodorin tips yang nggak relevan.
4. Jangan Tekan Emosi Sendiri
Jangan jadi robot yang cuma bisa senyum. Kita boleh kok, curhat, nangis, atau bahkan journaling buat ngungkapin perasaan.
Penutup
Toxic positivity itu sering muncul tanpa sadar, tapi dampaknya bisa bikin mental health orang makin down. Yuk, mulai dari sekarang kita lebih mindful dalam support orang lain. Kadang, kita nggak harus bilang apa-apa, cukup jadi pendengar yang baik. Karna pada akhirnya, semua emosi itu valid dan nggak ada yang salah kalau kita lagi merasa nggak baik-baik aja.
ADVERTISEMENT
So, next time kalo ada yang curhat, jangan buru-buru kasih motivasi klasik ya. Tapi, tetap perlu di ingat, emosi adalah kendali kita, bukan alasan untuk membuat orang lain ikut merasakannya. Kita diberi pilihan; mengendalikan emosi, atau membiarkan emosi mengendalikan hidup kita.
Remember, it’s okay to not be okay!