Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Kontroversi Humor Gus Miftah Antara Tawa dan Batasan
12 Desember 2024 14:29 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Najlaa Chairinna Hyndrawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Humor merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan kita yang memungkinkan kita untuk menertawakan diri sendiri, orang lain, atau situasi tertentu. Namun, humor juga memiliki potensi untuk menjadi sebuah ancaman. Apa yang dimaksudkan untuk menciptakan tawa dan perasaan santai bisa saja tertukar menjadi hal yang menyakitkan atau tidak pantas, tergantung pada konteks dan audiens yang mendengarnya. Kasus Gus Miftah baru-baru ini menjadi contoh menarik untuk dibahas. Di mana ia membuat lelucon tentang najis saat menerima kopi dari seorang pria. Hal ini mencerminkan kerumitan sebuah humor, karena sesuatu yang dimaksudkan untuk mengundang tawa dapat memiliki efek yang sangat bervariasi.
Dalam video yang viral tersebut, Gus Miftah bercanda dengan berkata, “Makasih yo Kang. Halah salaman bereng kilo. Aku goleke pasir. Yo nggo adus peng pitu, bar disalami cah ra jelas iku,” yang dapat diterjemahkan menjadi, 'Terima kasih ya Kang. Halah salaman segala. carikan pasir. Untuk mandi tujuh kali, setelah bersalaman dengan anak yang tidak jelas itu.' Pernyataan ini memicu diskusi hangat di media sosial, dengan berbagai macam reaksi. Sebagian orang menganggapnya sebagai gurauan ringan yang tidak perlu dipermasalahkan, sementara yang lain merasa lelucon tersebut melewati batas, terutama karena menyentuh isu sensitif dalam Islam tentang najis. Dari perspektif etika dalam komunikasi dan media, penting juga untuk mempertimbangkan dampak sosial dan budaya dari humor yang disampaikan, terutama ketika menyangkut isu sensitif seperti agama.
Pada dasarnya, humor adalah ekspresi dari kompleksitas manusia. Kita menggunakan humor untuk berbagai tujuan, seperti meredakan ketegangan, menciptakan keakraban, atau bahkan menunjukkan posisi sosial. Namun, apa yang lucu bagi satu orang mungkin tidak diterima sama oleh yang lain. Latar belakang budaya, agama, dan pengalaman hidup sangat mempengaruhi cara individu menafsirkan lelucon.
Dalam konteks ini, candaan Gus Miftah melibatkan konsep 'najis,' yang memiliki makna mendalam dalam ajaran Islam. Ketika seseorang disamakan dengan najis, individu tersebut mungkin merasa martabatnya direndahkan. Hal ini menunjukkan bahwa humor dapat diterima secara berbeda oleh berbagai orang. Apa yang mungkin dianggap lucu oleh satu orang bisa jadi merupakan penghinaan bagi orang lain.
Menurut Ridwan, konsep dasar humor yang dapat disatukan dalam dakwah adalah humor yang berlandaskan dua standar, yaitu etis dan estetis. Dalam Al-Qur’an dan Hadits juga tercantum mengenai humor, khususnya dalam Q.S. At-Taubah/9:82 dan Q.S. An-Naml/27:19, serta di mana Nabi Muhammad SAW juga memberikan contoh penyampaian pesan dakwah dengan cara yang santai dan menyenangkan. Namun humor Rasulullah SAW tidak pernah lepas kontrol dan berlebihan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif yang bertentangan dengan fungsi humor itu sendiri. Gus Miftah dikenal sebagai pendakwah yang santai dan sering memanfaatkan humor untuk menarik perhatian audiensnya. Pendekatan ini membantu menciptakan hubungan yang lebih hangat dan inklusif. Namun, seharusnya ada batasan yang harus diperhatikan, terutama ketika humor menyentuh hal sensitif.
Dalam interaksi sosial, sifat kompleks manusia sering kali menjadi tantangan untuk memahami humor. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kebutuhan untuk merasa diterima dan terhubung dengan orang lain, dan humor berfungsi sebagai alat yang efektif untuk memenuhi kebutuhan ini. Namun, sisi lain dari sifat manusia menunjukkan kecenderungan untuk mempertahankan nilai-nilai yang dianggap suci atau esensial dalam kehidupan. Ketika humor bertabrakan dengan nilai-nilai tersebut, reaksi negatif hampir tidak terhindarkan.
Di masyarakat multikultural seperti Indonesia, sensitivitas terhadap agama sangat tinggi. Nilai-nilai agama dianggap sebagai hal yang tidak dapat diganggu gugat, bahkan dalam konteks bercanda. Oleh karena itu, candaan tentang najis yang dianggap ringan oleh sebagian orang dapat memicu kontroversi besar ketika audiens memiliki pandangan yang berbeda. Peristiwa ini memberikan pelajaran penting mengenai perlunya memahami audiens sebelum menyampaikan humor. Sebagai tokoh publik, Gus Miftah memiliki tanggung jawab besar dalam pemilihan kata-kata yang digunakan. Popularitasnya sebagai pendakwah dengan pendekatan santai menunjukkan bahwa humor dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam menyampaikan pesan agama. Namun, humor yang melewati batas dapat merusak reputasi dan menimbulkan ketegangan sosial.
Dalam interaksi sosial, terdapat konsep penting yang disebut 'kode etik humor,' yaitu kesadaran akan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar ketika bercanda. Candaan yang melibatkan isu agama, budaya, atau identitas individu harus disampaikan dengan sangat hati-hati. Memahami sifat manusia yang kompleks adalah kunci untuk menciptakan humor yang inklusif dan tidak menyinggung. Seperti pengertian Fun fatwa sendiri, yang merupakan sebuah upaya untuk membuat dakwah lebih menarik, santai, dan humoris, tetapi tetap menjaga kebenaran yang disampaikan oleh pendakwah.
Dari sudut pandang sosial dan budaya, peristiwa ini mengingatkan kita akan pentingnya menghormati nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Di dunia yang semakin terhubung, di mana lelucon kecil dapat dengan cepat menyebar melalui media sosial, tanggung jawab terhadap pemilihan kata menjadi semakin signifikan. Sebuah candaan yang mungkin dimaksudkan untuk menghibur audiens lokal dapat dengan mudah diinterpretasikan secara berbeda oleh audiens yang lebih luas, terutama jika melibatkan isu-isu sensitif. Peristiwa ini menunjukkan bahwa humor adalah cerminan dari sifat manusia yang kompleks. Di satu sisi, kita memiliki kebutuhan untuk tertawa dan terhubung secara emosional dengan orang lain. Disisi lain, kita juga memiliki nilai-nilai yang dianggap suci, yang jika disentuh dengan cara yang tidak tepat dapat memicu konflik.
Peristiwa Gus Miftah sebagai tokoh publik ini, memberikan pelajaran mengenai pentingnya memahami audiens dan batasan humor dalam interaksi sosial. Humor yang berhasil bukan hanya tentang membuat orang tertawa, tetapi juga tentang menciptakan rasa hormat dan kesatuan di tengah perbedaan. Pada akhirnya, peristiwa ini mengingatkan kita bahwa sifat manusia mencerminkan kecenderungan untuk bercanda, tetapi juga kebutuhan mendalam untuk dihormati dan dipahami. Humor, meskipun sederhana dalam bentuknya, memiliki kekuatan besar untuk menyatukan atau memecah belah, tergantung pada bagaimana dan dalam konteks apa ia disampaikan. Mari kita gunakan humor sebagai alat untuk membangun, bukan untuk merusak, hubungan antar kita.
ADVERTISEMENT
Refrensi
Asih, L. (2024, Juli 27). Analysis of the Translation Technique of German Humor Text into Indonesian Language on the Subtitle of the Film "Army Of Thieves". Asian Journal of Applied Education (AJAE), 3(3), 292.
Hidayatullah. (2024, Oktober 3). MEMBUMIKAN DAKWAH FUN FATWA HABIB HUSEIN JA’FAR AL HADAR DI MEDIA SOSIAL. Repository IAIN Pare. https://repository.iainpare.ac.id/id/eprint/8638/
Rofiq, M. (2024, September). Strategi Komunikasi Dakwah melalui Public Speaking KH. Abdul Ghofur Lamongan Jawa Timur. JADID, 4(2). https://ejournal.unkafa.ac.id/index.php/JADID/article/view/1286
Siregar, I. R., Lubis, N., Amalia, Y., Sari, E., Martua, N. A., Juliana Agustin Siregar, Jamiah, Hidayah, N. I., Alawi, M., Siregar, A. H., & Gusra, P. D. (2024). Pentingnya Edukasi Thaharah dalam Membentuk Kesadaran Beribadah Perspektif Pendidikan Islam. AMBACANG JURNAL INOVASI PENGABDIAN MASYARKAT, 1(1), 80. https://journal-ambacang.willyprint-art.my.id/index.php/ojs/article/download/12/21
ADVERTISEMENT
Wandi. (2023, Januari 6). PENGGUNAAN HUMOR DALAM DAKWAH KOMUNIKASI ISLAM WANDI. AL-DIN: Jurnal Dakwah dan Sosial Keagamaan, 5, 3. https://journal.formosapublisher.org/index.php/ajae/article/view/10092