Konten dari Pengguna

Penyalahgunaan Beasiswa : Pemerintah Perlu Adakan Evaluasi

Najwa Khairun Nisa
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
9 Desember 2024 11:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najwa Khairun Nisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh ugurlu photographer dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/tampilan-jarak-dekat-dari-kacamata-di-buku-336407/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh ugurlu photographer dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/tampilan-jarak-dekat-dari-kacamata-di-buku-336407/
ADVERTISEMENT
Realitas sosial pada tataran perilaku merujuk pada cara individu berinteraksi dan membentuk makna dalam masyarakat, yang mencakup norma, nilai, dan aturan sosial yang memengaruhi tindakan sehari-hari. Dalam kajian sosiologi, realitas sosial ini tidak dianggap sebagai suatu entitas objektif, melainkan sebagai konstruksi sosial yang dibentuk melalui proses interaksi dan pemaknaan bersama. Teori Konstruktivisme sosial, seperti yang diajukan oleh Berger dan Luckmann (1966), menekankan bahwa individu menginternalisasi realitas sosial melalui pengalaman sosial yang terus menerus, yang selanjutnya membentuk perilaku mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, kritik terhadap pandangan ini mengarah pada pemahaman bahwa realitas sosial juga dipengaruhi oleh kekuatan struktural dan ideologi yang lebih besar, yang seringkali membatasi ruang gerak individu. Misalnya, struktur kelas sosial atau gender dapat mempengaruhi bagaimana individu membentuk perilaku mereka, yang tidak sepenuhnya bebas dari dominasi sistem sosial yang ada. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa realitas sosial pada tataran berlaku tidak hanya mencerminkan kesepakatan bersama, tetapi juga terhubung dengan dinamika kekuasaan yang lebih kompleks. Oleh karena itu, mempelajari realitas sosial pada perilaku memerlukan pendekatan kritis yang mempertimbangkan faktor-faktor eksternal yang turut membentuk tindakan individu.
Kasus penyalahgunaan beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) yang melibatkan seorang mahasiswi Universitas Diponegoro (Undip) menjadi sorotan publik dan menciptakan diskusi mendalam mengenai realitas sosial di tataran berlaku. Kasus ini bermula ketika seorang mahasiswa yang seharusnya menerima beasiswa berdasarkan kriteria ekonomi yang terbatas, justru terlihat menjalani gaya hidup mewah, seperti memamerkan barang-barang mahal di media sosial. Hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat, terutama di kalangan mereka yang benar-benar membutuhkan dukungan finansial untuk pendidikan. Melalui akun media sosial, publik mengungkapkan ketidakpuasan terhadap sistem penyaluran beasiswa yang dianggap tidak transparan dan mudah dimanipulasi.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, penyalahgunaan beasiswa KIP-K mencerminkan masalah yang lebih luas dalam pengelolaan bantuan pendidikan di Indonesia. Proses seleksi dan verifikasi penerima beasiswa seringkali tidak melibatkan kontrol sosial yang memadai, sehingga memungkinkan individu-individu dari latar belakang ekonomi yang mampu untuk mendapatkan bantuan yang seharusnya ditujukan bagi mereka yang kurang beruntung. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji, menekankan bahwa ketertutupan dalam proses seleksi menyebabkan banyak mahasiswa yang tidak layak menerima bantuan, sementara mereka yang seharusnya mendapatkan bantuan justru terabaikan.
Kasus ini juga menunjukkan pentingnya sinergi antara pemerintah dan institusi pendidikan dalam memastikan bahwa penyaluran beasiswa dilakukan secara adil dan tepat sasaran. Kepala Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) Kemendikbudristek menyatakan bahwa meskipun mahasiswa tersebut awalnya memenuhi syarat sebagai penerima KIP-K, seharusnya ada mekanisme bagi penerima untuk mengundurkan diri jika keadaan ekonomi mereka membaik. Hal ini menunjukkan adanya kekurangan dalam regulasi yang ada, serta perlunya evaluasi ulang terhadap kriteria dan proses penyaluran beasiswa agar lebih responsif terhadap kondisi riil calon penerima.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif perilaku sosial, penyalahgunaan beasiswa ini mencerminkan fenomena di mana nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial mulai memudar di kalangan sebagian mahasiswa. Sebagai generasi muda yang diharapkan menjadi agen perubahan, tindakan seperti ini dapat merusak reputasi institusi pendidikan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap program-program pemerintah selain itu hal ini juga menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab moral dalam penggunaan dana publik.
Secara keseluruhan, kasus penyalahgunaan KIP-K di Universitas Diponegoro tidak hanya sekedar masalah individu, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Ini adalah panggilan bagi semua pemangku kepentingan untuk mengevaluasi kembali kebijakan penyaluran beasiswa dan memastikan bahwa bantuan pendidikan benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan. Dengan melakukan perbaikan pada sistem ini, diharapkan kedepannya tidak akan ada lagi kasus serupa yang merugikan banyak pihak dan menghambat akses pendidikan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan dukungan.
ADVERTISEMENT