Ilustrasi tahun babi tanah

Hati-Hati Politik Gentong Babi

Nami Irawan Batubara
Political scientists. Mendalami kebijakan publik, ekonomi-politik, dan politik sumber daya alam.
21 Desember 2023 13:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lebih kurang dua bulan lagi Pemilu 2024 akan dilaksanakan. Pemilu kali ini dilakukan serentak, yang meliputi pemilu legislatif baik DPR-RI, DPD, DPR provinsi, dan DPR kabupaten/kota, sekaligus pemilu presiden. Berbagai cara atau strategi disusun dan diterapkan oleh para kandidat calon legislatif atau eksekutif untuk memenangkan suara pemilih. Ada kandidat yang fokus menjual program, kebijakan, atau visi-misi, adapula yang membangun branding kekinian misalnya dengan menggunakan istilah gemoy.
Namun, selain cara yang sudah disebut, Pemilu 2024 rentan dengan praktik politik-uang seperti halnya pemilu-pemilu sebelumnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa kandidat pemilu menggunakan cara instan, tidak sah, atau koruptif untuk mendapatkan suara seperti membagi-bagikan uang atau barang kepada pemilih, hingga menyuap para penyelenggara pemilu (Aspinal dan Mada, 2015). Praktik politik-uang berlangsung rata di seluruh daerah di Indonesia. Praktik itu, hingga sekarang semakin jamak dan seolah dinormalisasi.
Politik-Uang dan Normalisasi Korupsi
Petugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kota Banda Aceh mengkampanyekan anti politik uang. Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Politik-uang umumnya dikonseptualisasi menjadi dua: patronase dan klientelisme. Keduanya hampir serupa yaitu praktik pendistribusian sesuatu (uang, barang, proyek, dan lainnya) secara individual oleh politisi kepada pemilih, para pekerja, atau pegiat kampanye dengan tujuan mendapatkan dukungan politik dari mereka (Shefter, 1993). Pendistribusian uang, barang, atau proyek tersebut tidak hanya berasal dari dana pribadi, tetapi juga berasal dari dana publik. Misalnya, melalui proyek-proyek pork barrel (gentong babi) yang didanai oleh pemerintah.
Perbedaan antara patronase dan klientelisme terletak pada relasi yang dibangun: patronase membangun relasi terbatas dan tidak berlangsung terus-menerus, sebaliknya klientelisme membangun relasi timbal-balik, hierarkis, dan terus-menerus. Misalnya, seorang kandidat memberikan sesuatu kepada pemilih yang baru dia temui dan yang mungkin tidak akan pernah dia temui kembali. Relasi itu hanya disebut patronase karena tidak berlangsung terus-menerus, hierarkis, dan tidak timbal-balik sebab terkadang si penerima tidak membalas pemberian patron dengan memilihnya dalam pemilu.
Sedangkan karakter klientelisme salah satunya, diperlihatkan dalam relasi politisi dan timsesnya yang berlangsung terus-menerus, hierarkis (politisi sebagai patron dan timses sebagai klien), dan timbal-balik—politisi mendistribusikan materi, sedangkan timses (dan keluarga) menjadi loyalis politisi.
Politik-uang secara khusus oleh banyak ahli digolongkan sebagai perbuatan korupsi. Priyono, dalam “Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi” secara khusus memasukkan politik-uang dalam daftar aneka perbuatan yang disebut korupsi, satu kelompok dengan patronasi, suap, kolusi, nepotisme, dan lainnya. Ilmuwan studi korupsi lainnya, Rothstein dan Varraich (2017) mengartikan korupsi sebagai lawan imprasialitas yang mengacu pada sub-konsep parsialitas seperti klientelisme, patronase, patrimonial, partikularisme, dan state-capture. Sementara Hutchcroft (1997) juga sependapat, dengan menyamakan korupsi dengan pemburu-rente dan klientelisme.
Bila mengacu pada penjelasan di atas, maka kata “korupsi” sebenarnya punya makna luas—melebihi praktik pejabat publik yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. Secara etimologis, korupsi (bahasa Latin: corruptio) berarti hal merusak, hal membuat busuk, pembusukan, penyuapan, kerusakan, kebusukan, kemerosotan. Hal ini mengungkapkan ada kondisi keutuhan, kebaikan, dan kebenaran asali yang merosot oleh akibat perbuatan menyuap, menipu, curang, memalsukan, merusak bentuk, dan sejenisnya.
Apa yang menyangkut kemerosotan dapat berupa keutuhan fisik dan integritas moral (nilai). Kemerosotan fisik misalnya, tindakan memalsukan emas dengan mencampurkannya dengan tembaga. Sedangkan kemerosotan moral misalnya, seorang hakim yang memutuskan perkara bukan berdasarkan prinsip keadilan, namun suap yang diberikan. Oleh karena itu, praktik mengumpulkan suara dengan membeli (memberikan uang, barang, proyek, atau sejenisnya) adalah perbuatan korup karena merusak integritas moral—politisinya korup, masyarakatnya korup, dan hasil pemilunya juga korup.
Normalisasi Praktik Koruptif di Indonesia
Meskipun politik-uang merupakan tindakan korupsi, di Indonesia keduanya jarang dikaitkan dan seolah terpisah. Pemahaman umum masyarakat tentang korupsi yang terbatas pada masalah kerugian keuangan dan perekonomian negara, mungkin menjadi penyebabnya. Pemaknaan yang terbatas itu, bermuara pada UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2021 yang mengatur tentang korupsi di Indonesia. Implikasinya, alih-alih disamakan dengan perbuatan negatif (praktik koruptif), politik-uang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai bentuk ‘sedekah’ dan ‘kedermawanan’ politisi (perbuatan positif).
Lebih jauh, praktik politik-uang tidak terbatas dalam bentuk pemberian “sesuatu” secara langsung saat kampanye kepada masyarakat secara individual. Terkadang politik-uang berlangsung secara implisit dan tidak hanya saat pemilu, misalnya dengan membiayai berbagai aktivitas (perlombaan, pengajian, pesta), pelayanan (kesehatan gratis), fasilitas komunitas (peralatan olahraga, alat musik, tenda), proyek-proyek gentong babi (proyek pemerintah yang ditujukan kepada konstituen) dan lainnya. Memang, masyarakat tidak terikat kewajiban untuk memilih pemberi saat pemilu, tetapi politisi biasanya menyusupi pemberiannya dengan mengaktivasi norma-norma sosial tentang ucapan terima kasih, timbal-balik, dan kewajiban moral sehingga mendorong penerima untuk membalas pemberian.
Fenomena politik-uang dalam pemilu di Indonesia seolah sudah menjadi hal biasa. Dalam setiap kampanye-kampanye yang dilakukan politisi, hampir pasti disertai dengan pembagian-pembagian “sesuatu” seperti uang, sembako, alat ibadah, dan lainnya. Kebanyakan masyarakat yang datang pun memang mengharapkan “sesuatu”. Bahkan, banyak studi mengungkapkan bahwa pemilu oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai sarana untuk mengamankan imbalan materi; masyarakat tidak akan memilih kandidat tertentu jika tidak diberikan uang atau barang. Anomalinya, di satu sisi masyarakat mengecam keras praktik koruptif yang umumnya dilakukan oleh pejabat publik, di sisi lain masyarakat menormalisasi praktik koruptif (politik-uang) yang mereka atau politisi lakukan.
Penormalisasian politik-uang di tengah masyarakat sebenarnya bukan tanpa sebab. Jika diselidiki, fenomena ini berakar pada kekecewaan masyarakat terhadap wakil-wakil mereka di pemerintahan sebelum-sebelumnya. Yang umumnya tidak memenuhi janji-janji mereka pada saat kampanye. Karena itu, masyarakat akhirnya tidak lagi percaya pada janji-janji dan lebih pragmatis dengan berharap pada keuntungan langsung.
Ilustrasi politik gentong babi. Foto: Shutter Stock
Dalam konteks pemilu, politik-uang sebenarnya sudah dilarang. Politik-uang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyebut bahwa penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu. Sanksi bagi pelaku bisa berupa pembatalan nama calon peserta pemilu, denda, dan pidana. Namun, jauh panggang dari api, pelaku dan penerima politik-uang semakin masif tanpa ada penindakan berarti.
Politik-uang jika terus berlangsung akan menyebabkan sebuah pemilu menjadi cacat, tidak representatif, dan tidak legitimate. Akibatnya, pemilu tersebut menghasilkan wakil masyarakat/pejabat publik yang tidak kompeten, koruptif, dan hanya mengutamakan kepentingan pribadi. Hal ini berujung pada kualitas kerja pemerintahan dan produk kebijakan yang buruk sehingga tidak terpenuhinya kepentingan warga negara, yang kemudian berdampak pada ketidakpercayaan terhadap lembaga pemerintahan.
Oleh karena itu, diperlukan pengarusutamaan gerakan anti-korupsi, terutama anti-politik-uang oleh berbagai elemen pemerintah atau masyarakat. Pemerintah atau DPR perlu berperan aktif dalam mencegah atau mengatasi praktik politik-uang, terutama dalam pengerjaan proyek-proyek yang berasal dari dana publik. Penyelenggara pemilu juga perlu membuat SOP yang jelas dan clear, terkait sejauh mana tindakan tertentu digolongkan sebagai politik-uang, sehingga dapat lebih tegas dalam menindak pelaku-pelaku koruptif tersebut sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Pemilu.
Selain itu, partai politik juga harus bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengontrol kadernya sehingga memenuhi janji-janji politik yang diberikan. Terakhir, masyarakat perlu beralih, dari “memilih berdasarkan materi” menjadi “memilih berdasarkan visi-misi, program, rekam jejak, dan lainnya”. Dengan itu, masyarakat dapat memiliki wakil yang tepat di pemerintahan, yang dapat mengakomodir aspirasi masyarakat luas dan menghasilkan “kebijakan publik kelas satu”.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten