Hasil yang Indah

Nanda Alifah
Mahasiswi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
10 Mei 2020 13:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nanda Alifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banyak yang bilang kalau lulusan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri. Bisa kuliah hanya saja di perguruan tinggi swasta.
ADVERTISEMENT
Aku adalah seorang perempuan lulusan SMK Negeri di Jakarta jurusan Akuntansi. Awal memilih daftar di SMK karena aku mempunyai rencana ketika lulus ingin langsung kerja. Namun, ibuku ingin aku kuliah terlebih dahulu.
Tak ada persiapan apapun yang aku lakukan untuk kuliah. Tak mengikuti belajar tambahan selain di sekolah, tak punya buku menghadapi soal-soal ujian masuk perguruan tinggi. Pelajaran SMK pun berbeda jauh dengan SMA. Jadi, aku sangat buta tentang geografi dan kawannya atau fisika dan temannya. Ada sedikit pelajaran yang sama dibagian akuntansi, tapi soal akuntansi yang keluar dalam ujian pun tak banyak.
Buta mengenai sistem masuk perguruan tinggi dan kurangnya informasi dari guru BK (Bimbingan Konseling) juga menjadi salah satu hambatanku. Tapi kemudian aku diberi tahu oleh temanku, untuk masuk ke perguruan tinggi negeri ada beberapa jalur, yaitu SNMPTN, SBMPTN dan terakhir Ujian Mandiri. Jika politeknik ada SNMPN, SBMPN dan terakhir Ujian Mandiri.
ADVERTISEMENT
Walaupun banyak cara untuk masuk perguruan tinggi negeri aku tetap merasa pesimis. Aku tak sepintar itu, tak mampu memahami suatu pelajaran hanya dengan membaca. Ingin ikut bimbel, tapi aku tak ingin menambah beban pengeluaran kedua orang tuaku.
Ketika gagal SNMPTN duniaku terasa hancur berantakan. Aku gagal bahkan sebelum memilih. Dalam website-nya tertulis bila aku tak terdaftar sebagai peserta SNMPTN, artinya nilaiku tak cukup untuk masuk perguruan tinggi negeri manapun. Rasanya ingin teriak dan menangis, benar-benar merasa menjadi orang paling bodoh sedunia.
“Tak apa, masih bisa ikut ujian SBMPTN,” kata Ibu menyemangatiku. Mendengar kalimat itu, timbul sepercik semangat dalam diriku. Kebetulan saat itu temanku menjual buku soal-soal ujian SBMPTN, tanpa berpikir dua kali langsung saja aku membelinya. Setiap hari aku buka buku itu, mencoba memahami meski tidak mengerti.
ADVERTISEMENT
Lokasi ujian SBMPTN-ku lumayan jauh dari rumah, yaitu di SMA Negeri 99 Jakarta. Aku ditemani oleh ayahku dengan menggunakan motor kami berangkat pukul 07.00 pagi. Ujian baru selesai pukul 15.00, meski lama ayahku tetap setia menunggu hingga selesai ujian.
Gagal, begitulah inti dari kalimat yang tertera di layar laptopku. Entah kenapa aku merasa sangat sedih, padahal aku sudah tahu jika akan gagal. Badanku gemetaran, aku takut memberitahu berita ini ke kedua orang tuaku. Aku takut mereka kecewa.
“Masih ada ujian mandiri, kan? Tak apa, nanti coba lagi,” lagi-lagi kalimat itulah yang keluar dari mulut ibuku. Aku sangat bersyukur mempunyai Ibu yang supportif. Tak ada kalimat menyalahkan aku yang gagal, yang ada terus menyemangatiku agar tak patah semangat.
ADVERTISEMENT
Saat itu aku sedang berkunjung ke rumah pamanku. Dia menanyakan apakah aku sudah berhasil masuk perguruan tinggi negeri atau tidak. “Belum, Paman,” jawabku dengan nada kecil. Mendengar jawabanku, Paman pun memberikan saran untuk mencoba daftar di politeknik.
Pamanku memang lulusan Politeknik Negeri Jakarta, sehingga dia menyarankan aku untuk mencoba peruntungan di sana. Dia juga bilang, kalau lulusan di sana cepat mendapatkan pekerjaan. Karena sudah banyak instansi yang bekerja sama dengan politeknik.
Setelah mendengar hal itu, aku menjadi tertarik untuk mencobanya. Mulai lah aku mencari info tentang politeknik. Kampus ini ada di berbagai kota, nama kampusnya pun sesuai dengan kotanya. Aku tinggal di Jakarta, jadi ku putuskan untuk masuk Politeknik Negeri Jakarta.
ADVERTISEMENT
Pertama aku mencoba UMPN (Ujian Masuk Politeknik Negeri) yang sudah berubah nama menjadi SBMPN (Seleksi Bersama Masuk Politeknik Negeri). Waktu mengikuti ujian ini aku tidak sendiri, aku bersama dengan empat orang temanku. Kami mendapat jadwal ujian pukul 14.00 WIB dan selesai pukul 17.00 WIB.
Soalnya lumayan susah, tetapi tak sesulit SBMPTN. Rasa percaya diriku meningkat, berharap aku akan lolos dalam ujian tersebut. Karena saat itu sedang puasa, setelah selesai ujian kami memutuskan untuk berbuka puasa bersama di Margo City.
Hari pengumuman pun tiba. Jantungku berdetak dengan sangat cepat, berharap hasilnya dapat memuaskan. Aku buka website Politeknik Negeri Jakarta bagian penerimaan mahasiswa baru. Sistem penerimaannya tak seperti SNMPTN atau SBMPTN yang memasukan nomor ujian dan tanggal lahir maka akan langsung keluar hasilnya. Dilampirkan sebuah PDF yang berisi nama-nama peserta yang lolos dan dibagi sesuai program studinya.
ADVERTISEMENT
Aku cari namaku sesuai dengan program studi yang aku pilih. Berkali-kali aku men-scroll, berkali-kali pula aku tak menemukan namaku. Kegagalan kembali mendatangiku. Sedih sekali rasanya. Seperti sudah terlalu putus asa, sampai merasa Tuhan sangat tidak adil. Setiap hari aku selalu berdoa tapi tak pernah membuahkan hasil.
Ibu menyadari keadaanku yang terpuruk. Dia memberikan aku semangat dengan kata-kata mutiaranya. Membuatku tersadar kalau masih ada satu kesempatan lagi.
Inilah kesempatan terakhirku, aku tak ingin gap year dan sebenarnya belum siap untuk berkecimpung di dunia kerja. Aku kembali mendaftar ujian masuk Politeknik Negeri Jakarta jalur mandirinya. Aku mulai belajar lagi, ku cari berbagai soal-soal ujian masuk politeknik di google dan mencoba mengerjakannya.
ADVERTISEMENT
Aku pun memutuskan untuk banting stir dari jurusanku saat SMK. Lagipula, aku tak terlalu menyukai angka dan lebih suka menuangkan perasaan melalui tulisan. Tak ada salahnya juga menjadi seorang jurnalis. Aku masukan Program Studi Jurnalistik ke dalam pilihanku.
Ujian telah berlalu. Jika aku tak lolos juga, mau tak mau aku harus bekerja. Meski ibuku bilang tak apa bila masuk swasta, tapi aku tak ingin. Bukan karena gengsi, tapi karena biayanya yang tak sedikit. Cukup sudah aku menghabiskan duit kedua orang tuaku demi mengikuti semua ujian-ujian itu.
Hari pengumuman kembali tiba. Sejak pagi ponsel tak lepas dari genggamanku. Website PNJ pun aku refresh berkali-kali. Aku sangat tak sabar dengan hasilnya. Ketika PDF berisi nama-nama peserta yang lolos muncul tanpa babibu aku langsung membukanya.
ADVERTISEMENT
Di sana, dalam PDF itu, di Program Studi Jurnalistik (D3) tertulis namaku. Tanganku gemetaran, jantungku berdetak dengan begitu cepat. Bahagia yang aku rasakan benar-benar tak bisa aku deskripsikan. Tanpa sadar aku sampai menitikan air mata bahagia.
Aku beritahu kedua orang tuaku, kalau aku telah berhasil. Aku juga berhasil membuktikan kalau lulusan SMK juga dapat masuk perguruan tinggi negeri. Tak lupa juga aku bersyukur kepada Tuhan karena telah mengabulkan doaku.
Selain masuk perguruan tinggi negeri, aku juga mendapatkan rejeki lainnya. Biaya kuliahku yang termasuk golongan paling tinggi di Program Studi Jurnalistik sepenuhnya ditanggung oleh pamanku hingga lulus. Sebagai hadiah karena aku berhasil lolos dan menjadi mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta. Aku juga berhasil mendapatkan beasiswa dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
Aku bangga akan diriku sendiri yang tak pernah berhenti berusaha dan terus berdoa. Aku juga merasa sangat bersyukur mempunyai kedua orang tua seperti ayah dan ibuku. Mereka selalu men-support aku dalam keadaan apapun. (Nanda Alifah/Politeknik Negeri Jakarta)