Bukan Kencang Diawal Lari, Namun Konsisten Berani-lah Capaianku Tahun ini

Nasha UJ
Lulusan MSDM. Mantan Kreatif. Memproses Sustainable Motherhood // @salamnasha
Konten dari Pengguna
26 Desember 2023 17:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasha UJ tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Merefleksikan perjalanan setahun terakhir menjadi hal yang cukup menyenangkan untuk dilakukan, khususnya pada tahun ini. Sebab, tahun ini aku melihatnya dengan cara yang berbeda. Jika tahun-tahun sebelumnya, aku melihat pencapaian adalah apa yang berhasil aku dapatkan, tahun ini adalah tentang apa yang berhasil aku kerjakan. Tidak lagi berfokus pada hasil namun pada prosesnya.
ADVERTISEMENT
Biasanya diawal tahun kita memiliki semangat yang membara untuk mulai melakukan apa saja. Membuat resolusi tahunan, mulai giat berolahraga, menekuni hobi baru, belajar keterampilan lain, memupuk kebiasaan yang rasanya lebih baik. Rasanya semua mungkin untuk dikerjakan. Kita begitu kencang berlari ingin menggapai itu dan ini. Namun, seiring berjalannya waktu, semangat itu memudar, energi kita terkuras, dan bukannya menjadi kebiasaan yang lebih baik, kita justru kembali ke titik semula atau bahkan mundur dari sebelumnya. Ini yang biasa aku alami.
Kekeliruan yang dimulai bahkan sejak merencanakan. Dari kalimat yang digoreskan pada buku agenda tahunan, hal-hal yang ingin dicapai dalam kurun satu tahun kedepan. Indah memang, membayangkan kita bisa meraihnya, mendapatkan apa yang kita impikan, namun ternyata perjalanan kesana tidak mudah, ada saja halangannya. Akhirnya, kita menutup tahun dengan perasaan kecewa, akibat gagal mendapatkan apa yang diinginkan, tidak jadi mencentang daftar keinginan yang kita rencanakan.
ADVERTISEMENT
Tahun ini, keambisiusan tidak menguap begitu saja dalam diriku. Aku tetap memiliki rencana dan apa yang aku inginkan. Tidak lagi fokus pada apa yang bisa aku dapatkan, tapi benar-benar fokus untuk bisa bersungguh pada apa yang aku usahakan. Tidak lagi kencang berlari diawal saja, namun untuk terus konsisten berjalan meski perlahan meski ada istirahat meski kadang juga merangkak, aku tetap memberanikan diri untuk terus bergerak.
Ilustrasi Gambar dari Enric Cruz López - Pexels.com
Aku bukan orang yang tumbuh dengan percaya diri. Aku tidak bisa merasa cukup atas apa yang sudah diberi dan apa yang aku miliki. rasanya terus ada yang kurang, ini jadi alasan terbesar kenapa seringnya aku menutup diri. Agar mereka tidak tahu, agar orang-orang tidak perlu melihat cacatnya aku. Padahal, setelah aku berani melihat kedalam diri, aku baik-baik saja. Ada kurangnya, tapi tidak apa-apa. Toh, memang tidak ada manusia yang sempurna.
ADVERTISEMENT
Melihat kedalam diri sendiri ini ternyata cukup menguras banyak energi. Emosi-emosi yang sudah lama dipendam dalam mulai berani menampakkan diri. Topeng yang selama ini aku kenakan, satu persatu mulai aku tanggalkan. Aku takkan berpura-pura lagi. Menampakkan wajah apa adanya, tanpa peduli jika ada orang yang tidak suka. Tidak apa, setidaknya aku suka diriku sendiri.
Menerima dan meaafkan menjadi proses panjang yang aku lewati bahkan hingga kini. Apa yang pernah aku terima, apa yang pernah terjadi, aku terima. Kekhilafan, kekeliruan, keburukan, yang pernah orang dan diriku lakukan, aku maafkan. Masih ada bagian-bagian didalam sini yang sulit aku mengerti, masih terus aku pelajari. Jika ada yang tidak begitu aku damba, maka aku ubah. Aku perbaiki, bukan lagi untuk orang lain, namun untuk diriku sendiri.
ADVERTISEMENT
Percaya tidak, berat langkah kita itu hanya diawal-awal saja, lama-lama juga terbiasa. Sulit itu hanya ketika memulai, ketika sudah dikerjakan akan terasa lebih ringan. Lama kelamaan juga menjadi kebiasaan, bahkan akan ada rasa kehilangan saat tidak dilakukan.
Aku ambil contoh bangun pagi dan olahraga lari. Aku sama sekali bukan orang yang terbiasa bangun pagi, sejak sekolah dulu bahkan. Aku bangun mendekati jam masuk sekolah. Tidur lagi setelah ibadah subuh adalah hal yang biasa aku lakukan. Tidak berubah ketika sudah bekerja, apalagi saat jam masuk kantorku berbeda dengan orang kebanyakan. Semakin menjadi saja kebiasaan bangun tidak pagi itu.
Belakangan, aku mulai mengubah rutinitas dan pola kebiasaan pagi. Dengan mata setengah terpejam, aku paksa badanku untuk tegak lebih dulu daripada suara muadzin. Tidak apa jika setelah itu aku termenung beberapa saat, menghabiskan lebih banyak waktu di toilet daripada seharusnya, dan berjalan lebih lambat dari biasanya. Setidaknya aku bangun. Pelan-pelan, aku terbiasa. Bahkan ketika merencanakan untuk bangun siangan, aku tidak bisa.
ADVERTISEMENT
Berangsur, aku tambah lagi kebiasaan yang harus aku lakukan. Lari pagi. Sebagai orang yang sama sekali tidak menyukai olahraga dan keringat, ini jadi hal yang juga sama beratnya untuk dilakukan. tapi aku fokus pada apa yang harus aku lakukan. Tidak perlu melihat berapa kilometer yang aku tempuh, berapa kecepatannya, aku hanya ingin kakiku bergerak, setiap pagi. Berangsur, aku mulai menyukai lari pagi. Aku menambahkan target kecepatan dan jarak tempuh. bahkan mengikuti perhelatan olahraga lari yang kini semakin sering diadakan.
Sampai sini aku percaya, pada apapun hal baik yang ingin kita capai, mulai saja dulu. Mulai sekarang, dengan apa yang bisa kita lakukan. Bergerak, selangkah demi selangkah. Berubah, sedikit demi sedikit. Maka hal yang mustahil akan berubah menjadi mungkin.
ADVERTISEMENT
Mungkin kita banyak menyadari tentang keberanian memulai, tapi tidak banyak kita sadar pentingnya keberanian untuk mengakhiri. Berani mengakhiri sama pentingnya dengan berani memulai. Ini menyangkut apa dan siapa saja.
Kita tahu kebiasaan baik yang ingin kita bangun, kita mengumpulkan keberanian untuk memulainya, dan membulatkan tekad untuk benar-benar melakukannya. Tapi satu hal yang perlu kita sadari adalah kita memiliki energi dan waktu yang terbatas. Maka tidak mungkin untuk hanya terus menambahkan tanpa mengurangi.
Berani mengakhiri berkaitan dengan mengeliminasi hal-hal apa saja yang tidak lagi relevan dengan kehidupan kita. Mungkin, dulu itu adalah hal yang penting, namun tidak sekarang. Mungkin, dulu kita punya sumber daya untuk menghadapinya, namun tidak lagi. Sehingga, kita perlu menyusun prioritas pada apa yang bisa kita hadapi dan mana yang tidak. Berani untuk mengakhiri mana yang tidak lagi berarti.
ADVERTISEMENT
Aku mengapresiasi diriku karena berani melakukannya. Salah satu pencapaianku adalah melepaskan apa-apa yang tidak bisa aku kendalikan, walaupun seringnya ini berhubungan dengan orang-orang. Aku hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan komentar dan pandangan orang lain. Bimbang untuk memilih karena tidak berani dengan resikonya. Ragu untuk melangkah karena terlalu banyak hal yang dipikirkan. Akhirnya, apa yang bisa membuatku beringsut memberanikan diri adalah kesadaran bahwa tidak ada hal, bahkan tidak ada satupun hal, yang benar-benar bisa aku kendalikan. Tidak komentar orang, tidak pandangan mereka, tidak juga emosi dan perasaan mereka. Tidak peduli sedekat apa hubunganku dengan orang tersebut. Apa yang mereka rasakan dan pikirkan bukanlah bagian dari apa yang bisa aku pertanggung jawabkan.
ADVERTISEMENT
Maka aku belajar melepaskan, merelakan, mengakui bahwa aku memang tidak punya daya, tanpa kendali, dan hanya bisa sedikit mengelola diri. Ini sama sekali bukan pelajaran yang mudah. Bahkan masih dalam proses hingga sekarang. Sama dengan hal lainnya, pencapaian ini tidak akan berhenti disini, akan terus berjalan, akan terus terlihat kurangnya, dan akan terus aku perbaiki.
Sehingga jika ditanya pencapaian satu tahun kebelakang, maka aku aku menyingkatnya sbagai proyek pribadi, sebagai apa yang aku kerjakan pada diriku sendiri. Untuk aku yang melakukan sesuatu untuk diriku, untuk aku yang mencapai keberanian untuk melihat, memulai, juga mengakhiri.
Selamat Memulai dan Meneruskan Langkah!