Konten dari Pengguna

Bukan Populasi, Ini Hal Utama yang Bisa Menjadi Solusi Masalah Iklim di Bumi

Nasha UJ
Lulusan MSDM. Mantan Kreatif. Freelance Writer. Penggiat Sustainable Motherhood // @salamnasha
17 Juli 2024 7:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasha UJ tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap kelahiran yang dicatatkan secara administratif juga dicatat dalam sistem sedunia, sehingga bisa diketahui berapa jumlah penduduk bumi saat ini. Lonjakan angka tersebut terus mencapai angka yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebab, perlu ribuan tahun bagi manusia hingga berjumlah satu miliar, namun kurang dari satu abad untuk jumlahnya menjadi berkali lipat. Pada pertengahan abad ke-19 jumlah manusia sekitar 2.5 miliar, lalu menjadi dua kali lipat diakhir abad tersebut, tepatnya pada 11 Juli 1987 yang kemudian ditetapkan UN sebagai World Population Day. Hal ini mengisyaratkan bahwa semakin banyak penduduk bumi maka semakin kompleks pula masalah yang akan dijumpai. Dengan lebih dari 8.1 miliar jiwa yang ada saat ini, masalah yang paling sering menjadi perhatian adalah kondisi lingkungan planet ini yang semakin memprihatinkan.
Ilustrasi Gambar oleh Robin Erino, PEXELS
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gambar oleh Robin Erino, PEXELS
Tidak hanya jumlah, manusia juga terus berkembang secara kemampuan. Memungkinkan kita untuk menciptakan solusi dari berbagai permasalahan, kesehatan salah satunya. Lonjakan angka manusia itu tidak hanya didapat dari aktivitas reproduksi namun juga sebagai buah dari perkembangan pengetahuan dan kemajuan teknologi yang memperbesar kemungkinan hidup dan memperpanjang usia hidup seseorang. Eskalasi dibidang kesehatan juga memungkinkan manusia untuk mengetahui penyakit dengan lebih dini, memilih pengobatan dari alternatif yang lebih beragam, sehingga kemungkinan sembuh menjadi lebih tinggi. Hasil akhirnya, penduduk yang lebih banyak, lebih sehat, dan lebih siap berkontribusi sebagai tenaga kerja.
ADVERTISEMENT

Kondisi Bumi yang Perlu Diperhatikan

Jumlah manusia seharusnya tidak hanya dilihat sebagai jumlah tenaga kerja atau jumlah lain yang harus ditunjang akibat tidak produktif usianya. Sisi negatif dari keberadaan manusia yang terus bertambah, seakan terabaikan hingga tak ada mitigasinya. Sebab, pertambahan jumlah manusia juga berarti bertambahnya kebutuhan yang harus dipenuhi, sedangkan saat ini sudah tampak ada ketimpangan dari jumlah sumber daya yang tersedia dengan jumlah kebutuhan setiap manusia. Sumber daya yang membutuhkan jutaan tahun dalam pembentukannya, hanya perlu ratusan tahun bagi manusia untuk menghabiskannya. Padahal hingga kini kita masih juga ketergantungan energi. Apalagi dengan pengelolaan yang serampangan dan tidak berkelanjutan, hasil bumi terus digerus tanpa upaya setimpal untuk memperbaruinya kembali. Kita menjadi beban yang semakin berat untuk ditanggung.
ADVERTISEMENT
Jika kita coba merinci kebutuhan yang harus dipenuhi dengan bertambahnya jumlah manusia di bumi, maka akan ada tambahan kebutuhan sandang, pangan, papan yang harus dipenuhi. Tambahan manusia yang membutuhkan tambahan hasil pertanian untuk mengenyangkan perutnya, tambahan hasil produksi industri untuk menutupi tubuhnya sesuai dengan gaya hidup kini, tambahan lahan lagi untuk area yang ia tinggali. Sumber daya berkurang, sedangkan emisi terus bertambah. Buangan dari aktivitas manusia menghasilkan emisi karbon yang terus menambah panas bumi, sampah yang tidak diolah terus menumpuk mencemari udara, air, juga tanah.
Ilustrasi Gambar oleh Pixabay, PEXELS
Dengan kekuasaan yang dimiliki manusia kini, semua itu bukanlah hal sulit untuk didapatkan. Tidak peduli jika harus mengorbankan kehidupan lainnya. Seperti membabat pohon lagi meski itu tempat bernaung orang utan atau mengurangi area tinggal harimau hingga kesulitan lagi mencari makan. Padahal, melansir databoks, ancaman terbesar dari keanekaragaman hayati adalah pengalihan fungsi lahan dan air. Dalam hal ini berarti penebangan yang dilakukan secara terus menerus, pertanian dengan proses yang tidak berkelanjutan, serta penambangan atau penggalian.
ADVERTISEMENT
Akibatnya kondisi bumi menjadi semakin parah dengan hilangnya sebagian dari spesies yang sejak dulu sudah menjalankan fungsinya untuk keseimbangan bumi. Seiring dengan bertambahnya jumlah manusia berikut dengan kebutuhan dan sampahnya, jumlah flora dan fauna justru mengalami penurunan. Tidak sedikit spesies yang akhirnya hilang sama sekali. Akibatnya, keseimbangan alam pun ikut terganggu. Banyak hewan yang terpaksa kehilangan tempat tinggal, kekurangan makanan, mengubah perilaku tertentu. Ketidak sanggupan mereka menyesuaikan diri membuat bumi kehilangan hadirnya spesies-spesies tersebut.
Kondisi itu semakin menjadi dengan semakin banyaknya manusia yang menghuni bumi. Atas segala kondisi tidak menguntungkan yang terjadi dari banyaknya manusia di bumi tersebut, cukup masuk akal jika banyak ahli sampai pada kesimpulan bahwa penurunan angka populasi manusia dapat dijadikan jawaban atas kondisi iklim kini. Hal ini bahkan sudah dibuktikan oleh berbagai penelitian ilmiah. Salah satunya dari perkiraan jumlah emisi karbon yang ditimbulkan per jiwa manusia.
ADVERTISEMENT

Solusinya Bukan Hanya pada Populasi

Saat membicarakan perkiraan jumlah emisi karbon yang dihasilkan oleh setiap jiwa kita, kita juga perlu melihat dari mana saja emisi tersebut berasal. Datanya, negara penghasil karbon terbesar di dunia adalah China yang disusul kemudian oleh Amerika. Namun, tidak adil jika menunjuk satu negara tertentu tanpa memperhatikan jumlah wilayahnya. Sehingga, akan lebih adil jika melihat emisi karbon dari jumlah per kapita yang dihasilkan dari satu area tertentu.
Ternyata, karbon yang dihasilkan China per kapitanya masih kalah dibanding Amerika, Jepang, bahkan Lithuania yang mengalami penurunan tajam pada jumlah populasinya. Menurut laman ourworldindata, negara-negara maju yang memiliki angka kelahiran jauh lebih rendah dibanding negara-negara berkembang, ternyata menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih tinggi. Amerika menghasilkan 14. 86 ton karbon per kapitanya sedangkan Sudan, negara dengan pertumbuhan populasi yang tinggi dengan TFR 4,15 hanya menghaslkan 1.27 ton karbon per kapitanya. Artinya, meski dengan peningkatan populasi yang lebih rendah, negara maju menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Jika melihat dari emisi karbonnya, bisa kita simpulkan bahwa ini bukan soal jumlah penduduknya tapi perilaku penduduknya itu sendiri. Apa yang masing-masing mereka lakukan sehingga bisa menghasilkan karbon sedemikian banyaknya. Berbagai mesin penunjang kemudahan hidup bisa ditunjuk sebagai penghasil emisi terbesar dalam kehidupan manusia, berkat ketidak mampuan kita dalam menciptakan sumber daya energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Konsumerisme dan industrialisasi yang disebut-sebut sudah menyejahterakan manusia nyatanya telah banyak merampas keharmonisan di bumi. Negara-negara maju perlu mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam mengatasi permasalahan lingkungan sehubungan dengan aktivitas pengrusakan yang telah mereka lakukan.
Ilustrasi Gambar oleh Karolina Kaboompics, PEXELS
Jadi tidak bisa hanya menyalahkan jumlah manusia tanpa melihat apa yang mereka lakukan. Jika saja kita bisa hidup dalam harmoni dengan alam, jumlah harusnya bukan lagi masalah besar. Tanpa keserakahan, tanpa usaha yang ingin menang sendiri. Apa yang menjadi sorotan adalah pola kehidupan manusia yang tidak berpikir panjang untuk keberlangsungan planet tempat ia tinggal. Banyak perkembangan teknologi yang memudahkan hidup manusia namun disisi lain tidak selaras dengan kelestarian lingkungan, misalkan pembangunan pabrik besar-besaran yang mengorbankan lahan hijau dan menambah banyak emisi karbon, penggunaan kendaraan bermotor yang juga banyak menghasilkan polusi, perubahan pola makan dari pengolahan tradisional ke pengolahan modern yang lebih ringkas dan tahan lama tapi sayangnya melibatkan zat yang berbahaya, hingga pada gaya hidup hedonisme mengikuti tren yang semakin menjadi-jadi.
ADVERTISEMENT
Permasalah populasi hingga kaitannya dengan keberlangsungan bumi ini memang perlu dibicarakan dalam skala yang besar. Sebagai tanggung jawab para pembuat kebijakan, pemangku kepentingan yang bisa menerapkan ketentuan yang melibatkan lebih banyak orang, agar bisa bersama-sama menghentikan gaya hidup yang tidak ramah lingkungan, memperlambat laju industri dan konsumsi, serta melakukan segala aksi untuk aktivitas yang berkelanjutan. Bagaimana udara, air, serta kesehatan dan kesejahteraan penduduk diutamakan. Bagaimana agar kita bisa hidup berdampingan dengan tumbuhan dan hewan, penghuni planet ini juga. Tidak akan menjadi jawaban jika populasi berkurang namun masih dengan gaya hidup yang tidak peduli alam. Harusnya, menjaga angka kelahiran berjalan beriringan dengan menjaga kualitas hidup, yang artinya mengubah pola kehidupan menjadi lebih berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Jika para pemangku kekuasaan masih belum bisa meletakkan prioritas dengan benar, bukan tidak mungkin ancaman-ancaman soal kependudukan menampakkan wujudnya. Jika masih belum ada gerakan dari atas sana, mungkin kita bisa sedikit-sedikit mencoba, dengan terus mengingat bahwa kita bersama-sama bertanggung jawab pada satu-satunya planet yang kita punya.