Flexing Menurut Psikologi: Akibat Butuhnya Validasi Diri dari Orang Lain

Nasha UJ
Lulusan MSDM. Mantan Kreatif. Memproses Sustainable Motherhood // @salamnasha
Konten dari Pengguna
2 Maret 2023 9:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasha UJ tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pamer kekayaan atau flexing. Foto:  Westend61/Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pamer kekayaan atau flexing. Foto: Westend61/Getty Images
ADVERTISEMENT
Dalam lingkaran sosial, kita masing-masing menginginkan citra tertentu untuk dikenang. Keinginan akan citra ini bisa mendorong pada perbuatan atau perkataan yang sengaja memperlihatkan, kadang juga melebih-lebihkan apa yang didapatkan, untuk menciptakan image tertentu.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi, ada banyak sekali glorifikasi pada hal-hal yang ditampilkan itu, Beginilah kebiasaan pamer, show off, atau terkini, flexing bermula.
Sebelum era media sosial, kita mengenal orang yang suka pamer dari gelagatnya secara langsung. Biasanya sebutan tukang pamer atu sombong dilekatkan pada individu tersebut. Bisa dari gelagatnya, dari omongannya, atau dari benda-benda mewah yang ia gunakan.
Sesederhana melentikkan jari saat berbicara hingga orang lain bisa melihat cincin mewah yang digunakan. Gerakan yang disambut dengan bergaam respons tidak mengenakkan.
Globalisasi membuat kata pamer jadi sedikit naik kelas menjadi show off. Orang yang suka pamer apa yang ia punya (atau sesungguhnya tidak punya) itu kita sebut sedang show off.
Ilustrasi pamer kekayaan. Foto: Mallika Home Studio/Shutterstock
Benar, translasi dari bahasa Inggris-nya adalah pamer atau memamerkan. Sering kali konteks show off ini adalah memamerkan harta benda yang dimiliki, atau bentuk kemewahan yang tidak semua orang miliki.
ADVERTISEMENT
Belakangan, dengan pesatnya media sosial, istilah pamer atau show off jadi ketinggalan, diganti dengan flexing, bahasa slang Amerika. Menurut dictionary.com kata "flex" mulai digunakan pada tahun 1990-an untuk menunjukkan kekuatan.
Lalu, pada 1992, Penyanyi Ice Cube menggunakannya dalam lirik lagu "It Was a Good Day" hingga pada 2014 Rae Sremmurd mempopulerkan flex dalam lagunya berjudul "No Flex Zone." Metafora flex ini kemudian ramai ditujukan pada orang yang berusaha menunjukkan bahwa ia lebih baik dari orang lain.
Cambridge Dictionary mendefinisikannya sebagai bentuk seseorang merasa sangat bangga atau senang atas apa yang ia lakukan atau miliki, biasanya dengan cara yang mengganggu orang lain.
Sudah jelas, bahwa ketiga kata ini memiliki makna yang sama, hanya mengalami pengembangan bahasa dari waktu ke waktu.
ADVERTISEMENT

Dari Kacamata Psikologi

Ilustrasi pamer kekayaan atau flexing. Foto: jesterpop/Shutterstock
Mengenakan barang mahal, sengaja memperlihatkan kemewahan tertentu, mungkin bisa menjadi keistimewaan yang menarik. Orang akan melihat dengan decak kagum, namun psikolog Stephen Garcia dalam PsikologiToday, mengungkapkan lagak tersebut tidak membantu menambah teman.
Dalam penelitian yang ia lakukan, mereka dengan tampilan mewah memang lebih menarik perhatian, namun 66% partisipan cenderung akan berteman pada mereka dengan penampilan yang lebih biasa.
Saat kita akan hadir dalam suatu pertemuan, mungkin kita memilih mengenakan aksesoris terbaik, sengaja memperlihatkan bahwa apa yang kita kenakan lebih baik daripada orang lain. Sayangnya, itu justru mengecilkan peluang kita untuk berteman.
Yuniar, dkk (2022) menyimpulkan fenomena flexing yang terjadi di kalangan pelajar disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ketakutan pada penolakan sosial juga tingginya kebutuhan atas eksistensi diri.
Ilustrasi dompet kosong karena boros saat berbelanja. Foto: Shutter Stock
Padahal, diketahui efek samping dari perilaku ini pada diri seseorang seperti menjadi lebih konsumtif, melakukan berbagai cara untuk memenuhi tampilan yang bisa dipamerkan, hingga menurunkan rasa empati pada orang lain. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa perkembangan sosial media turut mempengaruhi perilaku flexing ini.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, perilaku flexing ini juga kerap dikaitkan dengan narsistik, konsep perilaku yang berlebihan menyukai diri sendiri. Narsisme sendiri dibagi atas dua yaitu Vulnerable Narcissism dan Grandiose Narcissism.
Sciencealert mengungkapkan bahwa perilaku flexing dekat dengan narisisme rentan, di mana mereka berlaku narsis karena adanya kebutuhan diri yang tidak terpenuhi berupa rasa tidak aman (insecure), rendahnya harga diri, gangguan kecemasan, juga tingginya rasa bersalah.
Alurnya, seseorang merasa tidak aman lalu menutupinya dengan flexing, membuat orang lain semakin sulit menyukainya, akhirnya dia merasa semakin tidak aman dan mengulangi flexing itu lagi. Lingkaran yang tidak ada habisnya.
Ilustrasi narsis/narsisme. Foto: Prazis Images/Shutterstock
Dailymail UK juga menjelaskan hal serupa. Perilaku flexing lebih didasari atas rendahnya harga diri, rasa tidak aman, dan sensitivitas yang tinggi terhadap komentar orang lain. Ini jauh berbeda dengan grandiose narcissism yang memiliki penghargaan diri terlampau tinggi.
ADVERTISEMENT
Flexing sendiri terbentuk dari empat faktor seperti pembentukan kesan, kebutuhan validasi sosial, elevasi pengakuan diri, dan dominasi sosial.
Fenomena flexing ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, di mana seseorang memiliki kepribadian dan kebutuhan personal dalam lingkaran sosial yang ingin ia penuhi.
Namun, perkembangan pesatnya terjadi karena pertumbuhan media sosial di mana hanya butuh beberapa detik bagi seseorang untuk memperlihatkan kehidupannya.
Kehidupan mewah itu juga memiliki banyak penonton yang bisa jadi berlari dari kenyataan hidupnya sendiri atau sebagai bahan obrolan dengan orang lain. Sehingga, menjadi bijak bertindak, bersikap, berkata, dan bersosial media menjadi hal mendesak dalam kehidupan kita sekarang ini.