Konten dari Pengguna

Halusinasi Auditori: Bisikan yang Berujung Tragedi di Lebak Bulus

Nasywa Radhiyya Rizal
Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta
18 Desember 2024 17:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasywa Radhiyya Rizal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayangkan saat suasana begitu sepi ada suara samar yang memanggil dan memerintahakan kamu untuk melakukan sesuatu. Suara itu terdengar begitu nyata seolah berasal dari seseorang yang sedang berada di ruangan yang sama. Ketika kamu menyadari dan mencari sumber suara, tidak ada satupun wujud yang nyata. Mungkin bagi kita yang membaca akan membayangkan fenomena tersebut layaknya kisah horor seperti di film-film. Namun, bagi Sebagian orang hal itu bukan sekedar bayangan mistis atau mimpi buruk semata. Melainkan sebuah realitas yang lebih menakutkan. Fenomena ini dikenal dengan istilah Halusinasi Auditori.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah tragedi tragis yang sempat viral beberap waktu lalu yang di duga penyebabnya karena pelaku mengalami halusinasi auditori. Dalam artikel ini kita akan menjelajahi bagaimana halusinasi auditori dapat memengaruhi pikiran dan perilaku seseorang. Apakah ada kaitannya dengan gangguan mental, pola asuh orang tua, dan gangguan tidur?. Tentu pembahasan ini penting untuk dipahami agar mencegah kejadian serupa di masa depan.
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan peristiwa tragis di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Seorang remaja berusia 14 tahun, berinisial MAS, diduga melakukan tindakan keji dengan menghabisi nyawa ayah dan neneknya sendiri. Di balik tragedi yang mengguncang ini, muncul fakta mencengangkan bahwa pelaku mengaku mendengar bisikan-bisikan gaib yang memengaruhinya untuk bertindak demikian. Fenomena ini dikenal sebagai halusinasi auditori, sebuah kondisi yang kerap kali dikaitkan dengan gangguan kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Halusinasi auditori adalah gangguan stimulus di mana seseorang mendengar suara jelas maupun tidak jelas yang sebenarnya tidak memiliki sumber nyata. Suara-suara ini sering kali hadir dalam bentuk perintah, bisikan, atau dialog yang bersifat menyuruh atau mengancam. Menurut Azizah dalam Jurnal LINK, Perintah dari halusinasi tersebut sering kali memerintah untuk melakukan sesuatu yang terkadang hal tersebut dapat membahayakan orang lain maupun diri sendiri.
Kondisi ini umumnya dialami oleh individu dengan gangguan mental tertentu, seperti skizofrenia, gangguan bipolar, atau stres psikologis yang mendalam. Namun, gangguan tidur juga menjadi salah satu faktor terjadinya halusinasi auditori. Penelitian menunjukkan bahwa halusinasi auditori kerap dikaitkan dengan gangguan tidur seperti insomnia atau tidur yang tidak berkualitas.
Salah satu studi fenomenologis yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Menur, Jawa Timur, menemukan bahwa kesulitan tidur, terutama di malam hari, merupakan salah satu faktor presipitasi halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia. Kurangnya tidur dapat mengganggu keseimbangan otak dan memicu distorsi persepsi, termasuk munculnya suara-suara yang tidak nyata. Kondisi ini juga dapat diperburuk lagi dengan adanya tekanan sosial dan permasalahan mental lainnya di kehidupan.
Sumber gambar : https://pixabay.com
Psikolog anak dan remaja Novita Tandry mengungkapkan bahwa perilaku seorang anak tidak pernah muncul begitu saja tanpa sebab. Ia menegaskan pentingnya memahami kondisi mental seseorang sebelum menyimpulkan motif atau memberikan stigma tertentu. “Kita perlu mengeksplorasi lebih jauh apa yang dialami anak ini. Bisa jadi ia merasa tertekan, kesepian, atau memiliki gangguan mental yang belum disadari oleh lingkungannya,” ujar Novita Tandry dalam sebuah wawancara.
ADVERTISEMENT
Novita juga menyoroti bahwa anak-anak dan remaja sering kali tidak memiliki mekanisme yang matang untuk mengelola stres atau tekanan emosional. Halusinasi auditori bisa muncul sebagai salah satu bentuk respons terhadap situasi yang menekan atau trauma mendalam. Dalam konteks kasus MAS, analisis lebih lanjut diperlukan untuk memahami apakah ia mengalami gangguan tidur atau kondisi psikologis tertentu yang tidak pernah terdiagnosis sebelumnya.
Kasus ini menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya memberikan perhatian lebih kepada kesehatan mental, terutama pada anak-anak dan remaja. Mereka sering kali menjadi kelompok yang rentan, tetapi suaranya sering diabaikan. Novita Tandry menambahkan dalam sebuah podcast:
“Keluarga harus lebih peka terhadap perubahan perilaku anak. Jika anak menunjukkan tanda-tanda seperti sering berbicara sendiri, menarik diri, atau mengalami perubahan pola tidur, penting untuk segera mencari bantuan profesional.”
ADVERTISEMENT
Tragedi di Lebak Bulus seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat untuk membuka mata tentang pentingnya kesehatan mental. Halusinasi auditori bukan sekadar “gangguan gaib” seperti yang sering disalahartikan, melainkan kondisi medis yang memerlukan penanganan profesional. Dengan pemahaman yang lebih baik, tragedi serupa bisa dicegah di masa depan.
Kasus ini menyisakan duka mendalam dan pertanyaan besar. Namun, di balik tragedi ini, ada pelajaran penting tentang pentingnya mendengarkan anak-anak, mengenali tanda-tanda gangguan kesehatan mental, dan memberikan mereka ruang aman untuk berbicara. Dukungan keluarga dan pendekatan profesional dapat menjadi kunci untuk mencegah “bisikan” yang berujung pada tragedi berikutnya.
Referensi
Hani, M., Wibowo, C., & Yudiati, E. A. (2023). Efektivitas Terapi Aktivitas Kelompok Distraksi Halusinasi pada Klien dengan Halusinasi Auditori di Rumah Pemulihan Efata Provinsi Jawa Tengah. Jurnal LINK, 19(2), 102–106.
ADVERTISEMENT
Reliani, R., Rustafariningsih, R., Riyanto, H. A., Da, W. M. N., & Tukesangi, T. (2020). Studi Fenomenologi Faktor Presipitasi Halusinasi Pendengaran pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Menur Provinsi Jawa Timur. Universitas Muhammadiyah Surabaya.