Konten Saus Padang:

Lie Natanael
Part time pelajar, full time opinionist
Konten dari Pengguna
9 November 2020 18:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lie Natanael tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Media Sosial Open Space atau Private Space?

Ilustrasi: Media sosial https://unsplash.com/photos/EQSPI11rf68
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Media sosial https://unsplash.com/photos/EQSPI11rf68
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat diberi makanan gratis (apalagi minta) kita tidak pernah marah se-tidak enak apapun makanannya, lain halnya dengan konten dan post media sosial. Menjadi membingungkan untuk penulis, apakah media sosial adalah sesuatu yang bersifat personal atau justru milik publik? Apakah media sosial penulis adalah milik anda atau milik followers anda? Mengapa tombol unfollow dan block rasanya terlalu sakral untuk ditekan? Rasanya aneh karena banyak orang yang merasa kesal atas konten/posting-an/karya orang lain yang di publikasikan di platform milik mereka sendiri. Benarkah kita bebas memilih apa yang kita konsumsi di media sosial?
ADVERTISEMENT
Tadi penulis menyetarakan media sosial dengan makanan gratis, menurut penulis memang rasanya konten yang ada di media sosial adalah informasi gratis. Sama seperti makanan, ada informasi yang “enak” dan ada yang “tidak enak”. Penulis tidak akan menggunakan benar atau salah untuk mengelompokkan informasi, penulis mengelompokkan informasi berdasarkan cocok atau tidak cocoknya informasi tersebut dengan bias yang kita miliki. Karena di lautan informasi yang terlalu luas, “ember” benar dan salah rasanya terlalu kecil. Bisa dikatakan bahwa bila informasi tersebut sesuai dengan bias kita, maka informasi tersebut “enak” begitu juga sebaliknya. Kembali ke perumpamaan soal makanan, sama seperti makanan informasi juga bisa kita pilih mana yang kita mau dan tidak mau kita konsumsi. Lalu berdasarkan premis ini, kenapa media sosial (yang memuat informasi) tidak bisa diperlakukan seperti makanan? Pernahkah anda melihat seorang ibu warteg dipenjara karena rasa tumis kikilnya tidak enak? Lalu kenapa banyak orang dipenjara karena kontennya dirasa tidak sesuai dengan moral (baca: bias) sebagian orang?
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Tempo.co pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung Santi Indra Astuti mengatakan: “Orang Indonesia masih tidak bisa membedakan ruang privat dan ruang publik," kata Santi. Salah satu contoh belum bisa membedakan ruang privat dengan publik adalah memasang status "curhat" di media sosial, misalnya menumpahkan kekesalan saat sedang ikut rapat yang lama dan membosankan. Walaupun akun media sosial atas nama sendiri, platform tersebut merupakan ruang publik. "Itu bukan sesuatu yang bisa dibicarakan di ruang publik," kata Santi. Pernyataan ini membuat penulis bertanya, lalu apa itu ruang publik? Batasan apa yang membatasi antara ruang publik dan privat? Penulis tidak dapat menemukan definisi ruang publik yang relevan dengan pembahasan ini, namun sebagian besar dari definisi-definsi tersebut banyak menyebutkan bahwa ruang publik adalah tempat dimana masyarakat bisa saling berinteraksi dan melakukan beragam kegiatan (sebagian besar mengacu kepada struktur bangunan). Penulis belum menemukan ada yang menjelaskan secara konkrit bahwa media sosial bisa dikategorikan sebagai ruang publik.
ADVERTISEMENT
Penulis pribadi lebih setuju media sosial disebut sebagai ruang privat, karena bagi penulis apapun yang kita unggah disana adalah milik kita dan tidak sembarangan orang bisa mengganti atau asal menghapus apa yang kita unggah. Permasalahannya, banyak orang yang sekarang malah mengatur apa yang boleh dan tidak boleh kita pajang. Jika media sosial adalah sebuah pameran, tentu penyelenggara pameran berhak memajang apapun yang ia ingini selama tidak melanggar hukum. Pengunjung boleh-boleh saja tidak suka dengan apa yang dipajang, namun tentu tidak berhak menurunkan atau mengganti barang-barang yang dipajang. Pilihan bagi pengunjung adalah untuk tetap berada di pameran tersebut atau pergi. Yang terjadi di media sosial sekarang adalah banyak artis, kreator konten, atau bahkan orang biasa yang diatur-atur oleh “para pengunjung pameran”. Rasanya media sosial bukan lagi menjadi milik pribadi, namun milik bersama. Penulis rasa pemikiran ini tentu salah.
ADVERTISEMENT
Kembali ke perumpamaan soal makanan, timeline menurut penulis adalah piringnya dan media sosial adalah prasmanan. Penulis sebagai konsumen memilih apa yang mau dan tidak penulis masukkan ke dalam piring. Dan sekalipun sudah dalam piring, penulis akan menyisihkan bagian-bagian yang penulis tidak ingin makan. Pada pelaksanaannya, piring pengguna media sosial sekarang-sekarang ini banyak dipenuhi justru oleh makanan yang tidak dipilihnya melainkan yang diambilkan oleh orang lain. Kata-kata “folbek ya” menjadi sangat lumrah untuk didengar, ini seolah diambilkan makanan yang kita tidak tau dan belum tentu kita suka, namun ada beban moral tersendiri jika kita tidak menerimanya. Saking banyaknya, akhirnya piring kita penuh oleh makanan yang kita tidak suka. Kemudian dampaknya apa? Satu kekenyangan, dua kesal karena harus memakan makanan yang kita tidak suka. Padahal kita punya alat untuk menyeleksi apa yang mau kita konsumsi, tombol unfollow dan block, tapi masyarakat lebih suka membuat dirinya sendiri kesal daripada mengeleminasi orang-orang yang tidak mereka sukai. Anehnya lagi, banyak masyarakat Indonesia yang jika kesal dengan sesuatu yang mereka tidak suka, mereka akan membandingkannya dengan apa yang mereka suka, padahal belum tentu keduanya bisa dibandingkan. “Kayak si artis ini dong, suka bagi-bagi. Kayak si orang ini dong, tidak menyinggung. Kayak si ini dong, dukung parpol ini.” Melakukan hal seperti ini seolah ngomel “Ini es krimnya kurang asin, gak kayak nasi goreng.” Gak nyambung pada akhirnya. Kenapa kita tidak bisa semudah meninggalkan apa yang kita tidak suka dan mencari apa yang kita suka? Pertanyaan krusial berikutnya adalah, mengapa antrian kambing guling di prasmanan selalu panjang?
ADVERTISEMENT
Penulis dari tadi menitik beratkan pada konsumen sosmed seharusnya menyortir apa yang mereka mau konsumsi. Sebenarnya argumen ini masih kurang valid karena penulis belum menyebutkan salah satu komponen penting dalam dunia media sosial, algoritma. Pada akhirnya setiap orang disuguhi bukan konten yang sesuai dengan selera masing-masing. Pilihan informasi di media sosial sangat dipengaruhi oleh algoritma yang digunakan oleh masing-masing platform. Kebanyakan algoritma yang digunakan bertujuan untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi platform tersebut. Menurut Kevin Roose dalam artikelnya yang berjudul “The Making of a YouTube Radical” yang diterbitkan tanggal 8 Juni 2019 di New York Times, menjelaskan tentang bagaimana algoritma di media sosial “YouTube” telah melahirkan radikalisme. YouTube menghasilkan uang dari layanan iklan dan cara agar iklan-iklan tersebut mau melakukan iklan di YouTube adalah dengan memperbanyak watchtime atau waktu menonton pengunjung situs tersebut. Karena itu penonton dibuat selama mungkin menatap layar mereka dengan memberikan rekomendasi video-video yang relevan. Akibatnya bila seseorang sudah dengan sengaja atau tidak sengaja memutar video yang bermuatan negatif, rekomendasi yang diberikan akan selalu bermuatan seperti video yang diputar sebelumnya. Hal ini disebut dengan istilah “rabbit hole”, dimana penonton terjebak dengan konten serupa yang membuatnya semakin terjerumus. Lama-kelamaan, ini bukan lagi hanya soal pilihan tontonan tetapi juga masalah kecanduan.
ADVERTISEMENT
Poin penulis adalah, pentingnya kesadaran bersosial media. Media sosial adalah tempat untuk berekspresi dan tidak seharusnya kita mengatur apa yang mau orang lain pajang disana, karena itu adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Pilihan kita bukanlah untuk menghujat atau marah terhadap apapun yang ada di media sosial, tetapi untuk tetap tinggal atau pergi mencari konten yang lebih sesuai dengan kita. Sama seperti memilih menu di “layar touchscreen” warteg, kita bisa memilih informasi apa yang mau kita konsumsi. Dan dalam memilih tentu kita juga harus tetap waspada dengan algoritma media sosial yang berusaha untuk terus membuat kita menatap layar. Pada akhirnya, media sosial adalah irisan antara ruang privat dan ruang publik karena batasannya sudah tidak lagi jelas. It’s so private yet so many people can access it.
ADVERTISEMENT
Daftar pustaka
Achjari, D. (2019). Algoritma Gelap di Media Sosial. Kolom. Diakses dari https://kolom.tempo.co/read/1217879/algoritma-gelap-di-media-sosial
Roose, K. (2019). The Making of a Youtube Radical. Technology. Diakses dari https://www.nytimes.com/interactive/2019/06/08/technology/youtube-radical.html
Tempo.co (2017). 5 Prinsip Dasar Etika Berinternet. Tekno. Diakses dari https://tekno.tempo.co/read/841993/5-prinsip-dasar-etika-berinternet