Konten dari Pengguna

Kebijakan AS Membatasi Mahasiswa Asing: Antisipasi atau Overprotective?

Natasha Andriyani
A Criminology Student at Budi Luhur University.
4 Juni 2025 15:25 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Kebijakan AS Membatasi Mahasiswa Asing: Antisipasi atau Overprotective?
Kebijakan AS Membatasi Mahasiswa Asing: Antisipasi atau Overprotective?
Natasha Andriyani
Tulisan dari Natasha Andriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pembatasan mahasiswa asing di kampus-kampus Amerika Serikat (AS) bukan sekadar isu imigrasi, melainkan pertaruhan strategis dalam persaingan teknologi dua raksasa. Tanpa perlu merujuk data spesifik, pola yang terlihat menunjukkan bahwa langkah ini lahir dari kegelisahan AS terhadap pola rekrutmen talenta dan alih pengetahuan sensitif yang sistematis. Namun, pertanyaannya adalah: sejauh mana langkah defensif ini justru berpotensi merusak ekosistem inovasi AS sendiri?
ADVERTISEMENT

Logika di Balik Kebijakan Pembatasan AS

Pemerintah AS memang tampaknya beroperasi berdasarkan asumsi bahwa setiap mahasiswa asing, misalnya mahasiswa asal Tiongkok, di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) adalah potential vector (perantara) untuk transfer teknologi. Ini bisa dipahami melihat maraknya program beasiswa pemerintah Tiongkok yang terkait dengan agenda military-civil fusion. Namun, pendekatan blanket restriction mengabaikan fakta bahwa mayoritas mahasiswa ini adalah akademisi independen yang justru berkontribusi besar pada riset dasar di AS.

Efek Balik yang Terabaikan

Ketika AS menutup pintu, negara lain membuka lengan lebar. Kanada, Australia, dan Inggris telah melihat peningkatan signifikan aplikasi mahasiswa Tiongkok di STEM. Sementara itu, Tiongkok sendiri mempercepat pengembangan universitas kelas dunia di mana sebuah langkah yang dalam 5-10 tahun bisa menggeser dominasi AS dalam menarik talenta global. Dampak jangka panjangnya? AS berisiko kehilangan posisinya sebagai episentrum inovasi.
ADVERTISEMENT
Masalah utama kebijakan ini adalah kegagalannya membedakan antara riset terbuka dan teknologi kritis. Alih-alih mematok pagar tinggi di seluruh perimeter, AS seharusnya fokus pada proteksi selektif untuk laboratorium dengan proyek dual-use (sipil-militer) technology, transparansi pendanaan sebagai syarat kolaborasi, dan insentif retensi untuk peneliti asing berkualifikasi tinggi.

Ilusi Keseimbangan yang Mustahil?

Kebijakan AS saat ini bukanlah jalan tengah, melainkan kapitulasi diam-diam pada ketakutan terburuknya sendiri. Dengan memilih membangun tembok ketimbang menyaring pintu, AS justru memicu dua skenario buruk sekaligus, yaitu:
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, apakah AS masih layak disebut "tanah kebebasan akademik" ketika setiap visa mahasiswa asing kini memerlukan paranoia? Atau justru dengan kebijakan tersebut, AS sudah berada di koridor yang tepat demi menjaga kedaulatan dan status superpower? Dalam upaya menghalau mata-mata, AS mungkin sedang mengubur masa depannya sendiri, sebagai algojo yang tidak menyadari bahwa mereka sedang mengasah pisau untuk rivalnya.