Konten dari Pengguna

Rasa Cinta dalam Perspektif Alqur'an: Suatu Proses Mendekatkan Diri Kepada Tuhan

Natasha Andriyani
A Criminology Student at Budi Luhur University.
20 Mei 2024 18:27 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Natasha Andriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tuhan dan Agama. Sumber: Shutterstock.
Umumnya, manusia dapat merasakan cinta dalam berbagai momentum, seperti ketika berbagi pengalaman bersama, saat mendapatkan dukungan emosional, maupun disaat melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata 'cinta' didefinisikan sebagai perasaan amat menyukai ataupun amat menyayangi. Merujuk tesaurus bahasa Indonesia, kata cinta dapat dimaknai sebagai sebuah perasaan yang dialami manusia terhadap manusia, manusia terhadap hewan, manusia terhadap benda mati, maupun manusia terhadap Tuhannya.
ADVERTISEMENT
Berbeda pandangan dengan kitab suci umat Muslim yaitu Al-Qur'an. Mengutip firman Allah SWT dalam surah Ar-Rum ayat 21, yaitu:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ۝٢١
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Berdasarkan firman tersebut, Tuhan menggunakan kata 'kasih' dan 'sayang' untuk menggambarkan perasaan manusia terhadap manusia lainnya, terlebih lagi sudah mengacu lebih dalam yaitu pasangan suami-istri (sah dan halal). Dari pengertian salah satu firman Al-Qur'an tersebut, apakah Tuhan salah dalam menerangkan perasaan duniawi dari makhluk ciptan-Nya sendiri? Ataukah terdapat maksud lain dari firman tersebut? Bagaimana perspektif penulis mengartikan hal tersebut?
ADVERTISEMENT
Mengawali dari pengertian cinta itu sendiri, secara bahasa dan etimologi kata cinta dapat dimaknai sebagai sebuah perasaan yang lebih intens dari sekadar tertarik maupun menyukai dan umumnya ditujukan terhadap objek yang nyata atau dapat dirasakan pancaindra (terutama yang bisa dilihat atau dipandang). Misalnya, laki-laki mencintai perempuan idamannya, seorang Ibu yang mencintai anaknya, para pecinta hewan, orang yang mencintai aroma hujan (pluviofilia), dan contoh ekstrem salah satunya adalah nekrofilia (mencintai mayat).
Berbeda dengan konteks firman Tuhan sebelumnya dalam surah Ar-Rum ayat 21, ketika makna cinta tidak dimaksudkan untuk manusia, tetapi lebih dari itu. Kata cinta bagi Tuhan dikaitkan antara manusia terhadap sesuatu yang bersifat tidak dapat dirasakan pancaindra, diimani dengan teguh hati, serta ditaati dengan sukarela. Seperti Tuhan yang bersifat gaib dan dengan segala bentuk ketentuannya yang mutlak serta tidak dapat diketahui pasti melalui pancaindra manusia, misalnya kematian dan hari akhir. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surah Al-Imran ayat 31, yaitu:
ADVERTISEMENT
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ۝٣١
Artinya: Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Imran: 31)
Berbicara tentang Nabi Muhammad (Rasulullah) yang merupakan pemimpin umat sekaligus utusan Tuhan, kecintaan beliau terhadap Allah SWT merupakan perintah dari-Nya dan menjadikan beliau dicintai kembali oleh Tuhan. Maka dari itu, umat manusia yang mencintai Nabi Muhammad adalah bentuk kecintaannya terhadap perintah Tuhan. Sebagaimana yang difirmankan kembali oleh Allah SWT dalam surah An-Nisa' ayat 80, yaitu:
مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللّٰهَۚ وَمَنْ تَوَلّٰى فَمَآ اَرْسَلْنٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًاۗ ۝٨٠
ADVERTISEMENT
Artinya: "Siapa yang menaati Rasul (Muhammad), maka sungguh telah menaati Allah. Siapa yang berpaling, maka Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad) sebagai pemelihara mereka." (QS. An-Nisa': 80)
Kemudian beralih terhadap pengertian kasih dan sayang, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kedua hal tersebut merupakan padanan kata yang memiliki pengertian yang sama, yaitu rasa menyukai dan mencintai. Dalam konteks firman Tuhan sebelumnya, manusia merupakan makhluk ciptaan-Nya yang secara khusus dikatakan sebagai pendominasi perasaan tersebut. Penciptaan-Nya akan sesuatu tentunya tidak dapat diartikan sembarang. Jika menurut KBBI padanan kata kasih sayang sama dengan mencintai, maka dengan logika dapat diterjemahkan sebagaimana adanya. Jangan salah, Tuhan adalah Sang Pencipta yang Maha Sempurna! Membawa sedikit pengetahuan agamawi penulis ke pembahasan ini, dalam Asmaul Husna atau yang biasa terdapat dalam lafaz basmalah, yaitu:
ADVERTISEMENT
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.“
Jauh sebelum umat Rasulullah bahkan penulis sadari, Allah SWT telah memberitakan keagungan-Nya. Jika manusia sebagai salah satu makhluk-Nya saja dapat saling merasakan dan memberikan kasih sayang selama hidupnya, maka Tuhan sebagai penciptanya sangat mampu melebihi dari apa yang dapat manusia rasakan dan berikan.
Lalu bagaimana cinta yang hanya dikhususkan terhadap hubungan makhluk dengan Tuhan maupun sebaliknya?
Dengan kehidupan yang ada di dunia ini termasuk segala bentuk keindahan dan keburukan yang ada di dalamnya, baik itu yang bersifat duniawi dan agamawi, kesemuanya merupakan bentuk kecintaan Tuhan terhadap setiap makhluk-Nya. Sperti Tuhan yang mencintai Nabi Muhammad yang taat pada-Nya, maka mustahil bagi Tuhan tidak mencintai manusia lain selain Rasulullah. Dengan begitu, manusia sebagai salah satu makhluk-Nya yang diciptakan dengan kesempurnaan akal budi, maka sudah sepatutnya kecintaan yang dapat dirasakan manusia ialah semata-mata hanya untuk Tuhannya. Bukan hanya sekadar meyakini dan membenarkan Tuhan dalam hatinya, tetapi juga dengan mengucapkan dan mengamalkan perintah-Nya dengan lapang hati.
ADVERTISEMENT
Menambahkan pemikiran penulis yang subjektif, rasa cinta yang ditujukan Tuhan terhadap hubungan-Nya dengan manusia merupakan segala bentuk pemikiran, perkataan, dan perbuatan dari manusia melebihi dari perintah agama yang bersifat wajib. Yang dimaksud berlebih tentunya selagi hal tersebut masih dalam koridor syariat yang bersumber dari kitab suci Al-Qur'an. Tetapi di lain sisi, tentunya penulis menyadari bahwa akal budi manusia yang begitu sempurna diciptakan Tuhan dapat digunakan untuk mengartikan isi dari Al-Qur'an dengan berbeda-beda menurut akal dan pengalaman tiap individu. Maka untuk menghindari pertanggungjawaban yang krusial nantinya, dari sini penulis memperingatkan kepada siapapun untuk tidak mempelajari dan mengartikan sembarang isi dari Al-Qur'an tanpa didampingi oleh ahli agama yang memiliki latar belakang pendidikan agama sesuai syariat dan kredibilitas yang cakap dibidangnya.
ADVERTISEMENT
Kembali ke rasa cinta, bagaimana jika rasa cinta yang dimaksud ditujukan terhadap manusia dengan manusia lainnya? Bayangkan jika rasa cinta adalah sesuatu yang berlebihan, seperti terlalu mengekang pasangannya, membatasi relasi pasangannya dengan keluarga dan temannya, maupun melarang pasangannya untuk tidak melakukan perbuatan yang disenanginya? Pastilah rasa cinta yang sebagaimana adanya itu menggangu bahkan merusak kehidupan seseorang, baik yang mencintai maupun yang dicintai. Mengambil istilah asing, hubungan yang dimaksud dapat dikategorikan sebagai toxic relationship (hubungan yang tidak sehat). Dengan begitu firman Tuhan akan rasa cinta merupakan pengingat sekaligus peringatan kepada manusia, bahwa rasa cinta diciptakan Tuhan untuk dirasakan dan ditujukan kepada setiap makhluk-Nya (khususnya manusia) dan sebaliknya, bukan malah diartikan sebagai perasaan manusia untuk sejenisnya. Karena jika demikian, rasa cinta yang tingkatnya melebihi kasih dan sayang justru bisa merusak apa-apa yang sudah ditetapkan-Nya dan tidak dapat manusia tanggung dampak dari kerusakannya, baik itu yang merusak dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Di penghujung tulisan ini, penulis beranggapan bahwa setiap kita mampu berpikir jernih dan memiliki kesempatan memilah sesuatu dengan bijak. Di era globalisasi yang semakin jauh dari nilai-nilai kerohanian, sebagai manusia yang berakal budi alangkah baiknya untuk kita tidak sembarang terjerumus ke dalam tren-tren dewasa yang kelak akan merugikan. Secara jangka pendek, suatu hal dapat dirasa mendatangkan hal positif, tetapi sangat memungkinkan memiliki banyak dampak negatif dalam jangka panjang. Penulis tentunya tidak perlu menjelaskan lebih detail terkait hal-hal tersebut. Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini memiliki kemungkinan dampak negatif atau mudharat yang lebih banyak dibanding kebermanfaatannya. Maka dari itu secara tertulis penulis menekankan bahwa tulisan ini merupakan opini dan proses berpikir yang dibuat dengan keterbatasan pengetahuan agama. Penulis sangat terbuka bagi siapapun untuk mengoreksi tulisan sekaligus pemikiran ini sebagai bentuk kepedulian dengan saling mengingatkan sesama manusia. Penulis juga berharap, jika tulisan ini memiliki makna yang tidak sejalan dengan pandangan ahli agama dan diluar konteks syariat, dipersilakan bagi para pembaca mengambil yang baiknya saja dan mengabaikan yang buruknya. Karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman, serta keimanan dari penulis sebagai salah satu makhluk ciptan-Nya, segala sesuatu hanya Allah yang Maha Mengetahui kebenaran yang sesungguhnnya.
ADVERTISEMENT