Konten dari Pengguna

Urip Iku Mung Mampir Ngombe : Kebahagiaan Dalam Kehidupan yang Sederhana

Natasha Devina Maharani
Mahasiswi Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta
11 Oktober 2022 18:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Natasha Devina Maharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi oleh Natasha Devina
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi oleh Natasha Devina
ADVERTISEMENT
Kebahagiaan merupakan sesuatu yang didambakan oleh semua orang dalam menjalani kehidupannya. Banyak orang yang berusaha dan bekerja keras demi menggapai kebahagiaan yang mereka inginkan. Padahal, kebahagiaan itu sendiri merupakan konsep yang abstrak dan subjektif, oleh karena itu tolak ukur 'bahagia' antara satu orang dengan orang yang lain pastinya akan berbeda pula.
ADVERTISEMENT
Pemaknaan tentang kebahagiaan juga akan berubah seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan yang dialami oleh individu itu sendiri. Misalnya, ketika masih kecil mungkin kebahagiaan itu adalah ketika kita dibelikan mainan yang kita inginkan oleh orang tua, kemudian ketika masa-masa sekolah kebahagiaan itu adalah ketika kita memperoleh nilai yang bagus saat ujian, sementara ketika dewasa, kebahagiaan itu adalah ketika kita menghabiskan waktu bersama pasangan kita.
Meskipun pemaknaan tentang kebahagiaan akan berbeda-beda, namun kebahagiaan adalah hal yang sangat penting bagi setiap individu, konsep kebahagiaan ini kemudian akan berkaitan erat dengan kesejahteraan subjektif dari setiap individu.
Kebahagiaan dalam Pandangan Psikologis
Kebahagiaan merupakan bagian dari aspek afektif dari psikologis individu, sebagai salah satu bentuk dari emosi positif. Kebahagiaan (happiness) erat kaitannya dengan konsep kesejahteraan psikologis individu. Headey dan Wooden (dalam Diponegoro, 2014) mendefinisikan kebahagiaan (happiness) sebagai subjective well-being yang mengandung dimensi kepuasan hidup dan perasaan yang positif, seperti vitalitas dan perasaan nyaman yang dirasakan oleh individu. Diponegoro (2015) mengungkapkan bahwa kebahagiaan merupakan keadaan sejahtera dan kepuasaan hidup yang dirasakan oleh individu.
ADVERTISEMENT
Kebahagiaan (happiness) sebagai bentuk dari emosi positif tidak sekadar produk kognitif berdasarkan cara berpikir rasional, melainkan juga sebuah konsekuensi dari proses interaksi antara struktur dan fungsi otak (Matsunaga, dkk., 2016). Oleh karena itu, kebahagiaan tidak selalu dapat dimaknai sebagai manifestasi rasionalitas atau intelektualitas dan batiniah, melainkan konsekuensi dari interaksi antara aspek psikis dan aspek fisik (Casmini & Sandiah, 2019). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan merupakan emosi positif dimana individu merasakan keadaan sejahtera dan kepuasan hidup sebagai hasil dari interaksi antara aspek psikis dan aspek fisiknya.
Kebahagiaan dalam Kehidupan Masyarakat Jawa
Salah satu ajaran dari Jawa yang melahirkan konsep kebahagiaan adalah ajaran kawruh jiwa dari Ki Ageng Suryomentaram. Inti dari ajaran kawruh jiwa adalah belajar dan berusaha menemukan rasa damai, rasa bahagia, serta rasa persaudaraan, dan menularkan rasa damai dan bahagia tersebut ke pihak lain (Prihartanti, 2008). Ajaran Ki Ageng Suryomentaram tentang kebahagiaan bersumber dari ilmu bahagia, dimana ilmu bahagia sendiri membahas tentang bagaimana seseorang mencapai kondisi kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang tidak terikat kepada hukum pergantian senang dan susah, karena sudah berhasil menjadi pengawas dari keinginannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pemaknaan kebahagiaan di tengah masyarakat Jawa yang menganut ajaran Ki Ageng Suryomentaram tersebut memiliki beberapa perbedaan dengan konsep kebahagiaan dari budaya Barat. Konsep kebahagiaan dalam budaya Jawa menggambarkan bahwa semua manusia itu adalah sama dan jalan untuk mendapatkan kebahagiaan adalah dengan cara menyenangkan atau membahagiakan orang lain, hal ini berbeda dengan konsep kebahagiaan di Barat yang lebih fokus pada kebahagiaan sebagai sebuah pencapaian pribadi. Selain itu, Kebahagiaan dalam budaya Jawa memaknai bahwa manusia yang bahagia adalah manusia yang mampu menerima pergantian senang-sedih, sementara konsep kebahagiaan di Barat yang lebih mementingkan dominasi kesenangan atas kesedihan dibandingkan penerimaan akan kemunculan keduanya (Akhtar, 2018).
Urip Iku Mung Mampir Ngombe
Budaya Jawa diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui berbagai hal, salah satunya adalah dalam bentuk ungkapan (unen-unen) yang mengandung nilai-nilai budaya Jawa yang sangat berguna dan dapat direalisasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Masyarakat Jawa mengenal ungkapan urip iku mung mampir ngombe, yang artinya adalah kehidupan manusia itu hanya sekedar berhenti sejenak untuk minum.
ADVERTISEMENT
Konsep urip iku mung mampir ngombe (hidup manusia di dunia ini hanyalah sebentar sahaja) dalam falsafah Jawa menggambarkan hidup manusia diibaratkan hanya singgah untuk minum saja, kata ‘singgah’ disini berarti sangat sebentar atau sangat singkat (El Firdausy et al., 2015). Bagi masyarakat Jawa, ungkapan ini memberi makna bahwa kehidupan di dunia ini hanya menjalankan perintah dari Yang Maha Kuasa sehingga setiap orang harus selalu mengingat dari mana manusia berasal dan bagaimana tujuan manusia (Afifi dalam Apriasari, 2021).
Pemaknaan Urip Iku Mung Mampir Ngombe dalam Konsep Kebahagiaan
Unen-unen 'urip iku mung mampir ngombe' menandakan adanya tujuan-tujuan spesifik yang kemudian menggambarkan konsep kebahagiaan. Kebahagiaan dalam hal ini mensyaratkan jaminan bahwa selama kebutuhan hidup (fisiologis; makan dan minum, dan relasi sosial) masih dapat terpenuhi secara cukup (subsistent) maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena ada faktor spiritualitas yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia (Casmini & Sandiah, 2019).
ADVERTISEMENT
Urip iku mung mampir ngombe tidak saja memperlihatkan bahwa dunia ini sebagai realitas adalah tempat persinggahan, tetapi juga menyatakan bahwa apapun yang terjadi "kulo nderek mawon”, baik itu dalam pengalaman bahagia atau pengalaman sedih, “saya ikut saja” (Casmini & Sandiah, 2019).
Urip iku mung mampir ngombe menjadi tameng ugahari (pelindung kesederhanaan) bagi masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan. Masyarakat Jawa meyakini bahwa hidup itu sederhana, dimana kehidupan telah diatur dan ditentukan, manusia cukup menjalani dan menerima peristiwa, baik ataupun buruk.
Konsep kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis individu kemudian dapat dimaknai dalam empat bentuk perilaku, yaitu :
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Ungkapan "urip iku mung mampir ngombe” sebagai warisan nilai-nilai budaya Jawa mengajak manusia untuk memahami bahwa hidup itu hanya sekedar singgah untuk minum. Masyarakat Jawa memaknai kebahagiaan dalam hidup sederhana yang meyakini bahwa kehidupan setiap orang telah diatur dan ditentukan, manusia cukup menjalani dan menerima peristiwa, baik ataupun buruk. Terdapat empat bentuk perilaku yang dapat diterapkan oleh individu dalam memaknai konsep kebahagiaan, antara lain mendekati hal-hal baik dan menjauhi hal-hal buruk, menjadi bahagia dengan melakukan perbuatan baik, menjadi bahagia karena bahagia orang lain, serta menerapkan sikap “sepi ing pamrih, rame ing gawe."
Daftar Pustaka
Akhtar, H. (2018). Perspektif Kultural untuk Pengembangan Pengukuran Kebahagiaan Orang Jawa. Buletin Psikologi, 26(1), 54–63. https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.30895
ADVERTISEMENT
Apriasari, H. (2021). Konsep Harmoni Antara Manusia, Alam, Dan Tuhan Sebagai Sebuah Kearifan Lokal Dalam Menghadapi Bencana Bagi Masyarakat Jawa the Concept of Harmony Between Human, Nature, and God As Local Wisdom in Facing Disaster for the Javanese Society. Jurnal Manajemen Bencana (JMB), 7(2), 133–140. https://doi.org/10.33172/jmb.v7i2.770
Babad.id. 26 Juli 2022. Pepatah Jawa 'Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe', Ini Arti dan Penjelasannya. Diakses pada 10 Oktober 2022, dari https://www.babad.id/budaya/pr-3643982641/pepatah-jawa-sepi-ing-pamrih-rame-ing-gawe-ini-arti-dan-penjelasannya
Casmini, C., & Sandiah, F. A. (2019). “Urip Iku Mung Mampir Ngombe”; Konsep Kebahagiaan Masyarakat Miskin Pesisir Yogyakarta di Era Industrialisasi. Jurnal Psikologi, 46(3), 226. https://doi.org/10.22146/jpsi.22732
Diponegoro, A.M. 2014. Psikologi dan Konseling Qur’ani.Yogyakarta: Multi Presindo
Diponegoro, A. M., & Mulyono. (2015). Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Kebahagiaan pada Lanjut Usia Suku Jawa di Klaten. PSIKOPEDAGOGIA, 4(1), 13–19.
ADVERTISEMENT
El Firdausy, S. W., Yunos, Y., & Idris, Z. (2015). Konsep cipta dalam Arjuna Wiwaha. Jurnal Melayu, 14(1), 1–16.
Matsunaga, M., Kawamichi, H., Koike, T., Yoshihara, K., Yoshida, Y., Takahashi, H. K., & Sadato, N. (2016). Structural and functional associations of the rostral anterior cingulate cortex with subjective happiness. NeuroImage, 134, 132-141.
Prihartanti, N. (2008). Mencapai kebahagiaan bersama dalam masyarakat majemuk. Jurnal Psikologi Indonesia, 1, 73-79