Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Mengapa Meritokrasi Kalah?
27 Februari 2025 10:33 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Naufal Syafiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam sistem demokrasi modern, meritokrasi sering dianggap sebagai solusi ideal untuk menciptakan pemerintahan dan birokrasi yang kompeten. Meritokrasi menjanjikan kesetaraan peluang, di mana individu dipilih berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan latar belakang sosial, politik, atau ekonomi. Namun, realitas di banyak negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa sistem ini sering kali kalah oleh faktor lain seperti nepotisme, politik uang, dan budaya patronase.
ADVERTISEMENT
Di berbagai sektor, kita masih menyaksikan bagaimana posisi strategis lebih sering diisi oleh individu berdasarkan kedekatan politik atau relasi pribadi ketimbang kompetensi yang mumpuni. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar, Mengapa meritokrasi sulit diterapkan dan justru sering kalah?
Lawan utama meritokrasi adalah nepotisme, begitulah arti yang terkandung didalamnya berlawanan dengan nilai-nilai meritokrasi. Dalam buku yang berjudul “Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia” karya Adnan Buyung Nasution dikatakan bahwa nepotisme pada hakikatnya adalah mendahulukan dan membukakan peluang bagi kerabat atau teman-teman dekat untuk mendapatkan fasilitas dan kedudukan pada posisi yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku, sehingga menutup peluang bagi orang lain.
Nepotisme merupakan jenis khusus dari konflik kepentingan yang timbul ketika seorang pegawai birokrasi atau pejabat publik dipengaruhi oleh kepentingan pribadi ketika menjalani tugas. Adapun, secara yuridis, definisi nepotisme ditemukan di dalam Pasal 1 angka 5 UU 28/1999. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Nepotisme sering terjadi dalam pemerintahan dan birokrasi, seperti pada era Orde Baru ketika anggota MPR diangkat berdasarkan hubungan kekerabatan dengan pejabatatau anggota MPR terpilih. Praktik ini juga terlihat dalam penunjukan kerabat oleh penyelenggara negara untuk menduduki jabatan tanpa melalui prosedur resmi yang mencerminkan penyalahgunaan wewenang dan mengabaikan prinsip meritokrasi.
ADVERTISEMENT
Hal itu tidak mungkin terjadi secara singkat bagaikan sambaran kilat dikala hujan, akan tetapi pasti terdapat sebab yang berakibat terjadinya kekalahan meritokrasi.
Pertama, budaya patronase dan nepotisme. Itu banyak terjadi di organisasi ataupun kepemerintahan yang lebih mengutamakan loyalitas dan hubungan kekeluargaan daripada kompetensi. Seperti contoh yang terjadi pada Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden. Pada tahun 2024, Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, dicalonkan sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Pencalonan ini menuai kritik karena dianggap sebagai bentuk politik dinasti yang merusak demokrasi di Indonesia.
Kedua, lemahnya regulasi dan penegakan hukum. Hal ini tergambar dari adanya peraturan terkait rekrutmen berbasis merit belum dijalankan secara optimal. Contoh nyatanya seperti putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK). Pada tahun 2023, MK mengeluarkan putusan yang menurunkan batas usia calon presiden dan wakil presiden, memungkinkan Gibran Rakabuming Raka yang saat itu berusia di bawah 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Putusan ini dianggap sarat nepotisme dan dinilai sebagai manipulasi hukum untuk kepentingan politik keluarga presiden, menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan regulasi yang rentan terhadap intervensi politik.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kekuatan politik dan ekonomi. Sebagai salah satu contoh yaitu seperti rencana pembentukan dana kekayaan negara di bawah kendali Presiden. Pada desember 2024, Indonesia berencana meluncurkan dana kekayaan negara yang akan dikelola langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Dana ini bertujuan mengelola aset hampir $570 miliar dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, rencana ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi intervensi politik yang dapat merusak efektivitas dan independensi pengelolaan dana tersebut, serta mengaburkan batas antara kepentingan politik dan ekonomi.
Dari semua itu munculah adanya kekalahan meritokrasi oleh nepotisme, oligarki, dan kepentingan tertentu yang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, di antaranya seperti ketidaksetaraan dan ketidakadilan, itu menggambarkan bahwa Meritokrasi yang tidak berjalan efektif menyebabkan ketimpangan baru karena hanya individu dengan kapabilitas tertentu yang mendapatkan kesempatan, sementara yang lain terabaikan karena kondisi sosial yang tidak setara. Michael Sandel berpendapat bahwa meritokrasi dapat memicu kesombongan di antara para pemenang dan menyebarkan penghinaan serta kebencian di antara mereka yang kalah.
ADVERTISEMENT
Kemuadian, dari akibat kekalahan meritokrasi tidak menutup mata terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Dimana sistem yang tidak meritokratis membuka peluang terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kekuasaan yang besar tanpa kontrol yang seimbang dapat menyebabkan penyalahgunaan wewenang dan monopoli.
Selanjutnya adalah akan terjadinya kemuduran reformasi birokrasi. Dimana penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dinilai sebagai langkah mundur dari reformasi birokrasi dan mengancam pengawasan sistem meritokrasi serta netralitas ASN. Sentralisasi fungsi KASN di Kementerian PAN-RB berpotensi menimbulkan intervensi politik dan menghilangkan check and balances.
Untuk menghidupkan kembali meritokrasi dan mengatasi dampaknya yang negatif, terdapat beberapa langkah strategis dapat diambil, diantaranya seperti pengembangan dan penguatan implementasi manajemen talenta ASN. Yaitu mempersiapkan kader penerus dengan talenta terbaik akan mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik, dari sisi inilah terlihat bahwasanya orang yang terpilih itu berdasarkan kapabilitas dan integritas yang ada pada diri bukan berdasar pada kekayaan ataupun semacamnya. Kemudian juga dengan adanya penguatan regulasi dan pengawasan, karena penguatan regulasi, pengawasan berbasis teknologi, serta sosialisasi prinsip meritokrasi merupakan langkah penting untuk mengatasi hambatan yang ada.
ADVERTISEMENT
Meritokrasi kalah bukan berarti karena tidak baik, tetapi karena sistem yang masih memihak kepentingan tertentu. Diperlukan komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil dan berbasis kompetensi. Seperti ajakan untuk mendukung sistem meritokrasi demi kemajuan dan keadilan sosial, terlebih negara Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi, dimana seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakil rakyat. Begitupun sebuah negara demokrasi adalah negara yang menganut gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak.