Paradoks Tingkat Kepuasan Publik dan Kebahagiaan Rakyat Era Joko Widodo

Nazar EL Mahfudzi
Direktur Pusat Studi Demokrasi dan Pancasila
Konten dari Pengguna
24 Februari 2022 14:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nazar EL Mahfudzi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar: Ilustrasi
zoom-in-whitePerbesar
Gambar: Ilustrasi
ADVERTISEMENT
Hail survey survei Litbang Kompas menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin melonjak menjadi 73,9% digelar pada 17-30 Januari 2022, senada dengan indek kebahagiaan Indonesia, berdasarkan data BPS tahun 2021 sebesar 74.49%. Hal ini tidak mencerminkan kondisi objektif masyarakat Indonesia yang belum memenuhi tingkat kemakmuran “welfare” ataupun kesejahteraan “well-being” bagi seluruh penduduk secara nyata, serta tidak dapat merefleksikan pemerataan pendapatan bagi semua penduduk suatu negara (Diener & Seligman, 2004; Easterlin & Sawangfa, 2010; Stiglitz et al., 2009).
ADVERTISEMENT
Pada era Joko Widodo masih terjadi tingkat ketimpangan kesejahteraan penduduk, Indeks Gini yang mengukur kesenjangan ekonomi Indonesia pada tahun 2017 berkisar pada angka 0,40 (Sumber: Investment Indonesia, dikutip dari Kompas, 2017), bahkan tingkat kemiskinan pada 2021 masih berada di level dua digit, atau tepatnya 10,5%. Tingkat kepuasan pelayanan program perlindungan sosial pada PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) terbukti tidak menurunkan angka kemiskinan, namun cenderung hanya menjaga belanja penduduk miskin tersebut tidak jatuh ke kondisi yang lebih buruk. Apalagi dalam praktiknya di lapangan, bantuan sosial (bansos) yang diterima seringkali salah sasaran, tidak merata, bahkan tidak sesuai dengan nominal yang dianggarkan. (Sumber : Indef, dikutip dari Investor, 2021)
Ketimpangan (rasio Gini) tahun 2022 masih melonjak berkisar sebesar 0,376-0,39, tidak ada perubahan yang signifikan dalam kondisi objektif Covid-19 dapat menyasar 0,41, ketimpangan di bidang pertanahan masih sangat dalam jurangnya. Joko Widodo menyebut hanya 1% penduduk Indonesia menguasai 59% lahan yang ada di Indonesia. (Sumber: Detik Finance 2021)
ADVERTISEMENT
Artinya, Pemerintahan Joko Widodo gagal dalam mengendalikan kesenjangan ekonomi yang serius, berdasarkan fakta dan data Bank Dunia (2015), sejak Pemerintahan Joko Widodo 80 persen kekayaan ekonomi nasional dikuasai oleh 20 persen kelompok orang kaya. Penelitian yang dilakukan oleh Amartya Sen, seorang Ekonom peraih Nobel Bidang Ekonomi pernah berujar :
Tingkat kepuasan sangat erat dengan kebahagiaan seseorang diukur dari sejauh mana ia memiliki kebebasan atas apa yang diinginkan “freedom from want”.
Pendekatan survey Litbang Kompas dapat dilakukan menggunakan pendektan metode Kapabilitas “Capability Approach” dalam mengukur kepuasan dan kebahagiaan seseorang. Pada prinsipnya, survey tingkat kepuasan dan kebahagiaan masyarakat “Capability Approach” melihat pada sejauh mana kemampuan Pemerintah dalam mencapai apa yang masyarakat inginkan bukan apa yang Pemerintah telah berikan.
ADVERTISEMENT
Beberapa indikator, di antaranya yaitu pendidikan, kesehatan, rasa aman, dan spiritualitas. Semakin baik kesehatan dan tingkat pendidikan seseorang, dan leluasa dalam mempraktekkan laku spiritualnya (agama maupun keyakinan) dan merasa aman “secure”, maka akan semakin baik tingkat kebahagiaan seseorang.
Menanggapi survey Litbang Kompas adalah keinginan masyarakat terhadap Pemerintah yang mempengaruhi proses penentuan kebijakan, langkah utama yang harus dilakukan adalah menyusun indikator paradok kebahagiaan masyarakat terlebih dahulu, lalu dibuat skema kebijakan publik yang sudah ada dalam kaitanya dengan upaya penyempurnaan kriteria evaluasi terhadap tingkat kepuasan berbagai kebijakan pembangunan nasional yang telah dilaksanakan (Dolan dan White, 2007; Pavot dan Diener, 2004; Veenhoven, 2004, 2010).
Saat ini, beberapa negara telah berinisiatif untuk menjadikan indikator kebahagiaan sebagai indikator pembangunan nasional dan memberikan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan indikator kesejahteraan material ataupun indikator kemakmuran ekonomi yang telah ada (Martin, 2012; OECD, 2011, 2013; Seligman, 2002, 2005).
ADVERTISEMENT
Kondisi kehidupan rakyat yang menyenangkan “pleasant life” dan kondisi kehidupan yang baik “being-well atau good life”, tetapi juga pada kondisi kehidupan yang bermakna “meaningful life” menjadi indikator kebahagiaan, juga merupakan ukuran yang menggambarkan tingkat kepuasan mendapatkan kesejahteraan yang telah dicapai oleh setiap individu (Kapteyn et al., 2004).
Mengapa rakyat puas dengan Pemerintahan Joko Widodo sementara tidak mendapatkan kesejahteraan ?
Untuk menjawab hal tersebut perlu kiranya menyusun beberapa contoh indikator paradok kebahagiaan masyarakat antara lain;
Indikator Paradok Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan
Pada 2021, penduduk yang tidak sekolah tinggal 2,6 juta (1,27 persen). Satu dekade sebelumnya, jumlah penduduk yang tidak sekolah masih 10 juta orang atau 5,88 persen dari total penduduk usia 15 tahun ke atas.( Sumber : Loka data, 2021)
ADVERTISEMENT
Namun berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pekerja di Indonesia masih didominasi lulusan Sekolah Dasar (SD) ke bawah. Meski sudah mengalami penurunan tapi masih tertinggi dibandingkan lulusan lainnya.Dari data BPS, jumlah penduduk bekerja yang berpendidikan SD ke bawah pada Agustus 2020 tercatat 49,96 juta orang atau 38,89% dari jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia 128,45 juta orang. Posisi kedua ada lulusan SMA yang tercatat sebanyak 24,34 juta orang atau 18,95% dari total angkatan kerja. Kemudian disusul oleh lulusan SMP yang tercatat 23,47 juta orang atau 18,27%.
Artinya tingkat pendidikan berpengaruh signifikan terhadap tingkat kebahagiaan dan pendapatan individu, namun terdapat paradok tingkat pendidikan dan pekerjaan :
Minimnya jumlah lulusan perguruan tinggi sebesar 17.06 juta sulit mendapatkan pekerjaan, sementara lapangan pekerjaan terbanyak yang telah bekerja di dominasi berpendidikan lulusan SD sebesar 49,96 juta.
ADVERTISEMENT
Maka indikator survey kepuasan Kartu Prakerja dapat dilakukan sebagai produk pemerintahan Joko Widodo untuk mengurangi pengangguran dengan tingkat Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki ruang lingkup survey lulusan sarjana, apakah Kartu Prakerja dapat memberikan solusi bagi lulusan siap kerja Perguruan Tinggi untuk mendapatkan pekerjaan ??