Konten dari Pengguna

Judi Online, Restorative Justice, dan Doktrin Hukum Pidana

Nazhif Ali Murtadho
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
9 Juli 2024 18:47 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nazhif Ali Murtadho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi judi online. Foto: Syawal Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi judi online. Foto: Syawal Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengawali tulisan pendapat hukum ini, mengutip pernyataan van Bemmelen dan van Hattum terkait ketegasan bahwa setiap norma hukum membutuhkan interpretasi.
ADVERTISEMENT
Maraknya kasus judi online di Indonesia membuat pemerintah geram, terkhusus Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO). KOMINFO menjelaskan sejak 2018 hingga 10 Mei 2022 pihaknya telah memutus akses 499.645 konten perjudian di berbagai platform digital.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa banyak individu yang ketagihan dan kesulitan mengontrol kebiasaan berjudi online mereka. Mengandalkan hanya ponsel cerdas dan sejumlah uang puluhan ribu rupiah, mereka mencoba keberuntungan. Namun, dalam jangka panjang, mereka bisa menjadi kecanduan dan berisiko melakukan tindak kejahatan, kata seorang analis sosial.
Baru-baru ini Menkominfo Budi Arie memberikan pernyataan bahwa Pemerintah memandang para pemain judi online sebagai korban, sehingga langkah yang diambil adalah pemulihan, bukan penangkapan atau bahkan penahanan. Pernyataan Menkominfo tersebut membuat beberapa kalangan masyarakat geram, menurut kebanyakan Masyarakat bahwa pemain judi online sudah sepatutnya untuk dihukum, diproses secara hukum.
ADVERTISEMENT
Namun menurut penulis bahwa pernyataan Menkominfo ada benarnya jika secara teori dan doktrin dalam hukum pidana, penulis tertarik menanggapi pernyataan Menkominfo terkait kata “Korban dan Pemulihan” dengan dikaitkan teori dan doktrin dalam hukum pidana. Berikut analisis penulis dalam pernyataan Menkominfo tersebut.

RESTORATIVE JUSTICE

Tujuan pidana juga untuk memulihkan keadilan yang dikenal dengan istilah restorative justice atau keadilan restoratif. Restorative justice dipahami sebagai bentuk pendekatan penyelesaian perkara menurut hukum pidana dengan melibatkan pelaku kejahatan, korban, keluarga korban atau pelaku dan pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Istilah keadilan restoratif berasal dari Albert Eglash pada tahun 1977, yang mencoba untuk membedakan tiga bentuk peradilan pidana, masing-masing adalah retributive justice, distributive justice dan restorative justice. Menurut Eglash, fokus retributive justice adalah menghukum pelaku atas kejahatan yang telah dilakukan olehnya Sedangkan distributive justice memiliki tujuan rehabilitasi pelaku. Sementara restorative justice pada dasarnya adalah prinsip restitusi dengan cara melihatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelaku.
ADVERTISEMENT
Marshall sebagaimana yang dikutip oleh Antony Duff mendefinisikan keadilan restoratif sebagai suatu proses para pihak yang terlibat dalam sebuah kejahatan secara bersama-sama menyelesaikan dengan cara mengatasi tindakan tersebut dan implikasinya di masa yang akan datang. Tujuan dari keadilan restoratif menurut van Ness adalah untuk memulihkan kembali keamanan masyarakat korban dan pelaku yang telah menyelesaikan konflik mereka.
Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya memberikan definisi dari restorative justice memiliki dua pengertian yang dapat dilihat dari konsep nilai dan konsep proses. Restorative justice dari konsep nilai mengandung makna yang lebih menitikberatkan pada pemulihan korban dan bukan penghukuman. Sedangkan restorative justice dari konsep proses mengandung makna penyelesaian perkara pidana yang melibatkan aparat penegak hukum, pelaku, dan korban.
ADVERTISEMENT
Konsep pemikiran keadilan restoratif adalah ketika sudah terjadinya kejahatan, kita diharuskan mengutamakan kepentingan korban karena merekalah yang secara langsung terkena dampak kejahatan tersebut. Beranjak dari penjelasan dan konsep restorative justice tersebut, maka secara teori sudah tepat pernyataan Menkominfo Budi Arie yang mengatakan bahwa Korban dari pemain judi online tidak ditangkap, melainkan dipulihkan (pemulihan).
Karena mengingat korban (pemain) judi online juga merupakan kecanduan. Hal ini sudah sesuai dengan paradigma hukum pidana modern yang menitikberatkan pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Sedangkan fokus pada pemulihan korban dari tindak kejahatan lebih kepada keadilan restoratif.
Namun jika merujuk pada norma Undang-Undang yang ada, maka sudah barang tentu untuk pelaku judi online dapat dipidana sebagaimana Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (2) UU ITE mengancam pihak yang secara sengaja mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya judi online, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah. Sedangkan Perjudian diatur dalam Pasal 426 ayat (1) UU 1/2023 KUHP Baru mengatur sanksi pidana penjara paling lama sembilan tahun atau pidana paling banyak kategori VI (Rp2 miliar) bagi setiap orang yang tanpa izin.
ADVERTISEMENT

Doktrin Hukum Pidana

Lebih lanjut dalam konteks doktrin hukum pidana, pernyataan Menkominfo Budi Arie juga ada benarnya terkait bahwa pemain judi online adalah Korban dari kejahatan. Perlu kiranya memahami beberapa konteks teori dan doktrin dalam hukum pidana terkait pendapat hukum tentang judi online.
Pertama, dalam konteks teori, objektivitas hukum pidana positif dapat dilihat dari substansi hukum pidana positif yang mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang. Terkait perbuatan yang dilarang, ada dua macam pembagian: pertama, Rechtsdelicten. Secara harafiah berarti delik-delik hukum. Perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagai pelanggaran hukum sejak semula dianggap sebagai suatu ketidakadilan oleh karena itu perbuatan tersebut dilarang. Perbuatan-perbuatan sebagai rechtsdelicten biasanya lahir dari norma agama dan norma kesusilaan.
Bahkan, sebelum kemunculan hukum pidana, agama merupakan basis primer kontrol sosial di luar organisasi kekerabatan. Sebagai contoh, larangan membunuh, larangan mencuri, larangan menipu dan lain sebagainya. Perbuatan-perbuatan tersebut dilarang dalam kitab suci semua agama. Hukum pidana kemudian mempositifkan larangan tersebut dalam undang-undang disertai dengan ancaman pidana yang tegas dan keberlakuannya dapat dipaksakan oleh negara.
ADVERTISEMENT
Kedua, Wetsdelicten. secara harafiah berarti delik undang-undang. Perbuatan perbuatan tersebut dilarang oleh pembentuk undang undang dengan melihat perkembangan masyarakat. Sebagai misal dalam undang-undang lalu lintas. Setiap orang yang mengendarai mobil di jalan raya harus menggunakan sabuk pengaman, Jika tidak menggunakan sabuk pengaman maka diancam dengan pidana denda. Wetsdelicten tidak berasal dari norma agama.
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Perjudian itu sama dengan Penipuan. Oleh karena itu, Perjudian masuk dalam Rechtsdelicten yang dari asalnya merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran hukum, yang berasal dari norma agama dan kesusilaan. Serta juga hukum pidana sudah mengakomodasi kejahatan atau pelanggaran hukum tersebut ke dalam UU ITE dan KUHP Baru sebagaimana Pasal yang sudah dijabarkan di atas.
ADVERTISEMENT
Kedua, dalam doktrin hukum pidana ada beberapa jenis tindak pidana disebutnya sebagai kejahatan tanpa korban atau crime without victim (victimless crimes). Schur menyebutkan bahwa untuk beberapa pelanggaran hukum, terdapat konsep yang dikenal dalam kriminologi sebagai kejahatan tanpa korban. Dalam kasus ini, korban dan pelaku adalah orang yang sama, yaitu pelaku tindak pidana itu sendiri merupakan korbannya.
Contoh dari kejahatan tanpa korban meliputi pecandu narkoba, pelacuran, bunuh diri, aborsi, dan perjudian, di mana sulit untuk membedakan siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi pelaku. Romli Atmasasmita menggunakan istilah lain untuk fenomena ini, yaitu dwi tunggal, di mana korban dan pelaku adalah satu kesatuan. Pada pengertian ini sesungguhnya tetap ada korban akan tetapi korbannya melekat pada orang pelakunya.
ADVERTISEMENT
Kaitannya dengan pemain judi online bahwa sudah jelas untuk korban (pemain) judi online juga termasuk pelaku dalam kejahatan, namun dalam doktrin tersebut pemain judi online masuk dalam kategori kejahatan tanpa korban (victimless crimes). Maka sudah tepat pernyataan Menkominfo Budi Arie tersebut bahwa pemain judi online adalah turut menjadi korban tindak pidana perjudian. Namun dengan pernyataan Menkominfo tersebut, penulis sama sekali tidak menganjurkan bahkan memperbolehkan tindakan perjudian tersebut. Mengingat sudah jelas bahwa tindakan Perjudian tersebut merupakan tindak pidana.
Oleh karena itu, kesimpulan penulis bahwa Artikel ini membahas fenomena judi online di Indonesia dan bagaimana penanganannya dari perspektif hukum pidana dan keadilan restoratif. Menkominfo Budi Arie menyatakan bahwa pemain judi online dianggap sebagai korban yang memerlukan pemulihan, bukan penangkapan. Pendekatan ini didukung oleh teori keadilan restoratif, yang menitikberatkan pada pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku daripada penghukuman. Konsep ini sesuai dengan paradigma hukum pidana modern yang mengedepankan keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif.
ADVERTISEMENT
Namun, jika merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, pelaku judi online tetap dapat dipidana sesuai dengan UU ITE dan KUHP baru. Dalam konteks doktrin hukum pidana, pemain judi online juga termasuk dalam kategori kejahatan tanpa korban (victimless crime), di mana pelaku sekaligus merupakan korban tindak pidana. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih humanis dalam menangani pelaku judi online dapat dipertimbangkan, tanpa mengabaikan bahwa perjudian tetap merupakan tindak pidana yang harus diatur dan diawasi secara ketat.