Mendulang Janji untuk Putra Perbatasan

Nefertiti Hindratmo
A diplomat, learning the curves through Sesdilu 61
Konten dari Pengguna
21 Agustus 2018 5:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nefertiti Hindratmo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari itu, Sabtu, 18 Agustus 2018, saya menarik nafas lega ketika mendarat di Jakarta. Sebentar lagi saya akan tiba di rumah, rasa rindu mulai menyelisip. Empat hari sudah saya meninggalkan keluarga demi mengenal perbatasan. Tidak banyak suvenir yang saya bawa pulang, hanya sebongkah hati yang penuh inspirasi yang saya tuai di batas negeri.
ADVERTISEMENT
Saya mulai terpikir rute yang harus dilalui, semoga tidak terdampak pengaturan lalu lintas karena Pembukaan Asian Games malam nanti. Ah.. upacara pembukaan itu mengingatkan saya akan Joni. Putra Belu yang duduk bersebelahan dengan para VIP. Siapa yang mengira Upacara 17 Agustus di Mota’ain akan begitu viral karena Joni.
Para siswa menanti upacara dimulai di Mota'ain, NTT. Foto: Koleksi pribadi
Upacara itu diadakan di tepi pantai. Terik matahari mulai terasa, namun angin sejuk berhembus. Angin yang dipengaruhi musim dingin nun jauh di Australia. Pasukan Pengibar Bendera berderap memasuki lapangan. Wajah-wajah mereka sedikit tegang. Mereka menyusun formasi, dan bendera diambil dari Inspektur Upacara. Tiga remaja laki-laki itu tegap memasangkan bendera ke tiangnya. “Wah tak kalah dengan anak-anak Jakarta”, gumam saya.
ADVERTISEMENT
Namun apa yang terjadi? Ya, tali bendera mendadak putus, kait penggantung tersangkut di ujung tiang. Para Paskibra itu tetap tegak berdiri dibawah mentari. Raut muka panik, takut dan tegang terlihat di wajah para pengibar bendera. Saya rasa, kita semua tahu yang terjadi selanjutnya. Seorang anak laki-laki, mengajukan diri untuk memanjat tiang. Semua orang terkesiap. Saya sendiri tertegun, tak sanggup mendokumentasikan apa yang dia lakukan. Saya lirik pak Wakil Bupati juga tampak terkejut. Di ujung sana rekan-rekannya menyemangati. Tak dinyana kait itu berhasil diambilnya. Lalu dia meluncur turun. Semua orang memberi selamat dan ia dipanggil naik ke mimbar. Senyumnya malu-malu. Mungkin ia tak menyangka. Joni, panggilannya, tak kan pernah mengira bahwa dia akan begitu populer. Video aksi heroiknya di-share berkali-kali.
ADVERTISEMENT
Di tenda peserta saya berjumpa dengannya. “Joni sering panjat pohon untuk cari makan ternaknya, anak-anak sini biasa begitu”, ujar Gurunya. “Kamu mau jadi diplomat ngga?” tanya saya. Dia menatap saya dan tersenyum. “Dia ga tau bu, apa itu diplomat, dia cuman tau Sarjana”, pak Guru menajawab. Saya terdiam “Kamu mau jadi apa?”. “Saya mau jadi tentara”, mantap Joni menjawab.
Saat itu saya sadari, bahwa Joni yang suka matematika ini, mewakili anak-anak perbatasan yang dengan segala keterbatasannya mencoba meraih mimpi. Dalam benaknya mungkin hanya ambil kait, supaya bendera bisa berkibar. Panjat memanjat mungkin hal biasa, mungkin “makanan sehari-hari”. Mereka membantu orang tua sepulang sekolah.
Pikiran saya melayang ke pertemuan dengan para guru hari sebelumnya. Mereka mengungkapkan bahwa anak-anak selalu penuh semangat dan dengan segala keterbatasan para guru ini mencoba melakukan yang terbaik. Mereka mencoba setiap harinya untuk menjaga semangat anak-anak ini. Khawatir suatu hari api itu akan padam. Membangun sekolah saja tidak cukup, pendidikan para guru, kemampuan sekolah menyediakan pengajaran yang baik dan fasilitas yang membantu siswa belajar juga perlu jadi perhatian. SMP tempat Joni sekolah merupakan satu-satunya SMP di kecamatannya. Kondisi serupa banyak terjadi di daerah perbatasan ataupun pedalaman.
Peta sebaran sekolah tingkat SMP di Indonesia tahun 2015. Sumber: spasial.data.kemdikbud.go.id
ADVERTISEMENT
Namun demikian, pendidikan tidak hanya meliputi pembangunan sekolah, pemberian beasiswa ataupun melengkapi sekolah dengan perangkat internet. SDM pendidikan seperti guru pun perlu perhatian, kapasitas mereka harus terus ditingkatkan menghadapi perubahan dunia yang berjalan begitu cepat. Mendorong anak-anak untuk rajin membaca juga memerlukan buku-buku yang dapat membuka pikiran mereka pada dunia. Mereka perlu yakin bahwa kesempatan untuk mereka terbuka luas. Program-program pengembangan sekolah seperti ini tidak bisa dilakukan cukup sekali, namun perlu terus berkelanjutan. Tidak hanya bagi Joni namun juga ribuan teman-teman Joni lainnya.
Joni sendiri, merupakan cermin umum anak di daerah ini. Gesit dan tak mudah menyerah karena hidup menuntutnya demikian. Berani, tapi belum tentu berani bermimpi. Kisah viral Joni dan perhatian nasional kepadanya harus menjadi momentum untuk mendorong Joni dan kawan-kawannya menggapai mimpi. Senyum malu-malunya harusnya membuat kita merendahkan hati.
ADVERTISEMENT
Bukan saya, bukan anda, yang memanjat tiang bendera itu. Joni-lah yang dengan segala ketulusannya melepaskan sepatu dan merayap ke atas. Bangga akan Joni berarti bangga akan anak-anak di batas negeri. Wujudkan impian Joni dan ribuan Joni lainnya yang hidup di pelosok Indonesia. Titian hidup mereka masih panjang, setiap tangan yang terulur ikhlas akan sangat berarti. Janji untuk Joni, janji untuk putra-putri bangsa yang menanti di sudut-sudut Indonesia.