Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
United Trimurti: Poros Madinah, Kairo, Manchester
26 Oktober 2020 10:32 WIB
Tulisan dari A Fuadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pengasuh kami. Patah tumbuh hilang berganti. Ujian dan tantangan besar bagi puluhan ribu pesantren di Indonesia adalah regenerasi pemimpin. Apalagi, origin pesantren memang bermula dari magnet seorang alim lautan ilmu. Sosok pandita ini lambat laun didatangi oleh orang-orang yang ingin belajar, semakin hari semakin ramai, lama kelamaan mereka tinggal di sekitar rumah orang alim itu supaya leluasa belajar.
ADVERTISEMENT
Orang alim ini ikhlas mengajar dan pendatang ini ikhlas diajar. Orang alim ini lalu dipanggil kiai, para penuntut ilmu inilah santri dan komunitas baru ini disebut pesantren. Koneksi mereka adalah sambungan energi ikhlas antara guru dan murid, bahkan sudah bagai orang tua yang mengasuh anak kandung sendiri.
Lalu, bagaimana kalau orang alim ini wafat? Kepada siapa lagi para santri ini mengadu, bertanya dan belajar? Mereka bagai anak yatim. Apakah dengan wafatnya kiai, maka bubar pula sebuah pesantren?
Tiga orang founding fathers Gontor mencoba menghindari macetnya pesantren kalau kiai wafat. Tiga bersaudara yang kerap dipanggil Trimurti (KH Ahmad Sahal, KH Imam Zarkasyi, KH Zainuddin Fanani) sepakat mewakafkan pesantren milik mereka kepada umat Islam.
ADVERTISEMENT
Umat Islam ini diwakili oleh Badan Wakaf. Karena itu, keputusan tertinggi di Gontor ada pada anggota Badan Wakaf, kira-kira seperti fungsi MPR di era sebelum pilpres langsung. Ketika mereka satu persatu wafat, Badan inilah yang segera bersidang jika salah satu dari 3 kiai berkurang (Gontor selalu punya 3 kiai/pimpinan secara bersamaan). Badan ini segera memilih kiai baru, untuk memastikan pondok tetap berjalan dan santri terus punya pengasuh.
Saat melepas jenazah Kiai Syukri, Kiai Hasan terisak sambil menyeka air mata dengan punggung tangannya. Kurang lebih beliau mengungkapkan perasaan seperti berikut: “Beliau orang yang paling tahu saya, dan saya paling tahu beliau. Kini, saya ditinggal sendiri..” Tentu yang terbayang oleh Kiai Hasan adalah beban berat mengasuh 33 ribu santri di belasan pondok cabang Gontor, dan mengelola amanah 1000 hektar lebih tanah wakaf dengan segala aset lainnya.
ADVERTISEMENT
Kini Kiai Hasan sudah punya dua kawan seiring untuk mengasuh Gontor. Badan Wakaf sudah memilih 3 pimpinan baru. KH Hasan Abdullah Sahal, KH Akrim Mariyat, dan KH Amal Fathullah Zarkasyi. Ketiga kiai yang pernah mengajar di kelas saya dulu, adalah orang-orang terpilih dan amanah. Mereka bertiga adalah kombinasi yang kuat dan saling melengkapi secara ilmu dan persona. Pak Hasan tamatan Madinah University, Pak Amal dari Darul Ulum University, Mesir dan Pak Akrim dari Manchester University. Kesamaan para kiai ini, mereka semua lahir dan tumbuh dari tanah dan air Gontor. Rahim Darussalam.
Kebetulan, beberapa tahun lalu saat menjalin kerjasama dengan berbagai universitas di Inggris Raya, mereka bertiga sempat berpose di Old Trafford Stadium dengan gaya United Trinity, trio legendaris MU (George Best, Denis Law, dan Sir Bobby Charlton).
ADVERTISEMENT
Kiai-kiai Gontor memang penyuka bola dan juga pemain bola. Walau mampir ke kandang MU, sejatinya Pak Hasan fans berat Barcelona, Pak Amal fans Liverpool. Mungkin Pak Akrim yang fans MU, karena dulu kuliah di Machester University.
Kalau dulu United Trinity mengharumkan kesebelasannya menjuarai Liga Champion tahun 1968, semoga "United Trimurti" ini membawa Gontor terus melaju jaya menuju usia satu abad. Aamin.
---
A. Fuadi (Alumni Gontor, Penulis Negeri 5 Menara, IG@afuadi)