Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Konflik Kurikulum di Indonesia yang Merugikan Siswa
4 Desember 2022 12:02 WIB
Tulisan dari Nenden Dalfa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Indonesia termasuk negara yang sering berganti Kurikulum di setiap pergantian tampuk kekuasaan politik. Sejak Indonesia merdeka, sistem pendidikan nasional sudah menetapkan sepuluh pergantian Kurikulum yakni: Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Kurikulum 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004 atau Kurikulum yang Berbasis Kompetensi, Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Kurikulum 2013 (K13) hingga yang terakhir adalah Kurikulum Merdeka yang mulai ditetapkan pada tahun ajaran 2022/2023.
ADVERTISEMENT
Acap kali pergantian Kurikulum di Indonesia lebih karena faktor pergantian situasi politik dan sosial budaya, ketimbang fokus pada orientasi peningkatan kecerdasan dan pembinaan karakter peserta didik. Padahal seyogianya Kurikulum di Indonesia yang berdasarkan pandangan hidup Pancasila serta UUD 1945 titik tumpu nya bukan perkara politik tetapi sebagai kawah candradimuka dalam menggembleng karakter anak yang unggul.
Idealnya, Kurikulum sebagai konsep dalam pendidikan yang dapat merangkum bermacam pengalaman belajar yang diadakan untuk peserta didik di sekolah. Kurikulum disusun oleh pakar dalam pendidikan, pengajar, tenaga kependidikan serta unsur masyarakat yang lain.
Konsep ini disusun dengan misi memberikan prinsip pada eksekutif pendidikan dengan cara edukasi kemajuan peserta didik untuk mencapai misi yang dicita-citakan oleh peserta didik. Kurikulum perlu dikembangkan agar mencapai misi yang diharapkan. Untuk mencapai misi dari Kurikulum, para pendidik harus dapat menguasai berbagai macam permasalahan pada Kurikulum. Terdapat beberapa kendala problematis dalam penetapan Kurikulum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pertama, perubahan sistem Kurikulum tidak dibarengi dengan persiapan dan studi kelayakan yang matang. Seringkali perubahan dilakukan mengejar target dan karbidan. Hal ini ditandai dengan keluhan yang selalu disampaikan elemen pendidikan dalam implementasi Kurikulum terbaru. Keluhan ini bisa berupa kritik dari pengajar, peserta didik, serta wali murid ihwal mekanisme Kurikulum baru yang dijalankan dan kurang memuaskan.
Menurut Nasution, pergantian Kurikulum dapat dimaksud dengan ikut mengganti orang, maksudnya ialah pengajar, peserta didik, serta seluruh yang ikut serta pada pendidikan. Itu penyebabnya pergantian Kurikulum kerap dikira sebagai perubahan sosial. Pendidikan harus sanggup menyesuaikan dinamika yang bertumbuh pada masyarakat, paling utama adalah tuntutan serta kebutuhan masyarakat. Dan itu bias dijadikan jawaban dari adanya pergantian sistem Kurikulum.
ADVERTISEMENT
Kedua, implementasi Kurikulum yang buntu dan kompleks. Tidak hanya pergantian sistem Kurikulum, Kurikulum yang diaplikasikan di Indonesia terbilang cukup kompleks. Perihal ini amat berdampak kepada para pengajar serta peserta didik. Peserta didik akan terbebani dengan beberapa materi yang wajib dikuasai nya.
Alhasil, sulit bagi peserta didik untuk memilih dan mengembangkan potensi dalam dirinya yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka. Tidak hanya peserta didik, pengajar pula terkena akibatnya. Pengajar akan terbebani dengan tugas yang banyak untuk mempelajari materi dan tugas mengajari muridnya dengan materi yang banyak. Sehingga, tidak menutup kemungkinan pendidik kurang optimal dalam mengajari muridnya.
Ketiga, kekurangan sarana dan prasaran maupun infrastruktur sekolah. Berjalannya sesuatu Kurikulum akan amat tergantung dalam alat serta infrastruktur pendidikan yang dimiliki. Sedangkan, bila kita turun langsung ke lapangan, kita akan melihat masih banyaknya sekolah yang belum mempunyai alat serta infrastruktur yang lengkap.
ADVERTISEMENT
Alat infrastruktur itu semacam laboratorium, perpustakaan, komputer, serta lain-lain. Sekolah di kota telah banyak yang mempunyai alat serta infrastruktur tersebut. Tetapi bagaimana dengan sekolah yang terdapat di desa serta daerah-daerah terasing? Tidak sering kita temui sekolah di wilayah terasing yang mempunyai alat ala kadarnya.
Keempat, disparitas kualitas pendidikan di perkotaan dan pedesaan. Meninjau dari alat serta infrastruktur, perihal ini berkaitan dengan minimnya pemerataan yang dilakukan oleh Kemendikbud Ristek. Tidak hanya itu, pemerataan pendidikan pula ditinjau dari segi Satuan Tingkatan Pendidikannya. Perihal ini berhubungan dengan materi yang diajarkan di sekolah pada Tingkat Satuan Pendidikan tertentu.
Dalam tingkatan Sekolah Dasar, peserta didik diajarkan semua rancangan dasar adalah membaca, menulis, menghitung serta menggambar. Dalam tingkatan ini peserta didik hanya mengarah pada apa yang diajarkannya saja, tidak mengena dalam maknanya. Dalam tingkatan Sekolah Menengah Pertama serta Sekolah Menengah Atas, pelajaran yang diajukan hanya mengarah kepada konsep dalam tujuan agar peserta didik mampu mengerjakan soal bukan konsep agar peserta didik mampu memahami soal.
ADVERTISEMENT
Kelima, minimnya keaktifan dan partisipasi peserta didik. Peserta didik kurang mampu mengeluarkan potensi dan bakatnya. Hal ini karena peserta didik cenderung ketakutan akan guru karena pengenalan selintas materi tanpa berusaha mengembangkan materi (pasif). Peserta didik hanya terpaku pada materi yang diajarkan oleh guru tanpa adanya rasa ingin berusaha untuk mengembangkan potensinya.
Sederet problematika seputar pergantian Kurikulum tersebut tentunya membutuhkan solusi praktis yang bisa membantu elemen pendidikan menyikapi perubahan dengan positif.
Pertama, perubahan Kurikulum dibarengi dengan penggantian paradigma dari pembelajaran yang berbasis materialis menjadi religius. Globalisasi yang memuat budaya negatif perlu difilter dengan penguatan religius. Ketika fondasi agama kokoh, tidak akan ada lagi peserta didik cerdas intelektual tetapi tidak beradab. Kedua, mengganti paradigma pembelajaran berorientasi pada peserta didik, bukan sekadar menuntaskan tuntutan Kurikulum. Ketiga, melaksanakan pemerataan pendidikan melalui pemerataan alat serta infrastruktur ke sekolah terasing, sehingga tidak ada disparitas kualitas pendidikan. Keempat, melaksanakan pembelajaran bermakna, di mana guru tidak hanya mengarahkan materi, namun membagikan pemaknaan dari materi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, memberikan dorongan motivasi pada peserta didik yang berprestasi supaya sanggup meningkatkan bakat serta kemampuan yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, perubahan Kurikulum yang bersifat instan dan karbidan justru membuat para pengajar serta peserta didik akan terbebani dengan penyesuaian serta perubahan materi yang wajib dikuasai nya. Hal demikian berimbas pada sulitnya peserta didik untuk memilih dan mengembangkan potensi dalam dirinya yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka.
Perubahan Kurikulum juga menentukan kualitas generasi muda Indonesia yang ke depannya akan menjadi para pemimpin. Ketika Kurikulum yang diterapkan tidak sesuai dengan konteks pendidikan yang berorientasi pada pengembangan dan pembinaan kecerdasan, dan karakter peserta didik, maka masa depan bangsa akan dipertaruhkan eksistensinya.