Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Edy Rahmayadi, Manifesto PDIP dan Mentaliter Oposisi
11 Agustus 2024 10:35 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Alit Teja Kepakisan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan Panglima Kostrad Letnan Jenderal TNI (Purn.) Edy Rahmayadi dan sekaligus merupakan “incumbent” Gubernur Provinsi Sumatera Utara secara resmi diusung oleh PDIP untuk maju di Pilkada 2024. Meski momen deklarasi “oposisi” di Jakarta belum, sepertinya sikap mencalonkan Eddy Rahmayadi yang tentu saja akan menjadi anti-tesa dari Bobby Nasution yang merupakan menantu Presiden Jokowi. Tentu saja memang politik sangatlah dinamis, apalagi dulu Eddy adalah lawan Djarot namun kini mereka dipertemukan dengan satu momen yang sama yakni “deklarasi oposisi”.
ADVERTISEMENT
PDIP adalah partai yang sangat “fix” dan tidak suka ribut dalam mengambil keputusan strategis namun ketika mengambil keputusan secara pasti, termasuk dengan mengusung Edy Rahmayadi adalah bentuk pernyataan sikap PDIP yang akan menjadi oposisi terutama kepada Koalisi Indonesia Maju. Bobby yang dulu diusung PDIP, kini PDIP investasi di lawannya. Jadi, jelas bahwa Bobby bukanlah sekedar personalnya, melainkan ada bayangan di belakang Bobby yakni Jokowi itu sendiri.
Kita bisa lihat bahwasanya Edy Rahmayadi merupakan anti-tesa dari Jokowi selama ini juncto bukan juga bagian dari “Jokowi connection” dalam hal keterkaitan dukungan kepala daerah secara politik kepada Jokowi. Anti-tesa tentu saja bisa dilihat contohnya seperti Anies, misalnya yang jelas sekali merupakan anti-tesa dari Jokowi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Ketepatan Sikap yang Jelas
Di tengah wacana adanya Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus) yang berupaya menggaet Nasdem, PKB dan PKS, PDIP rasa-rasanya sudah jelas mengambil momentum untuk berkata bahwa “PDIP adalah oposisi” dan kembali ke trah-nya sebagai partai yang akan kritis dengan kebijakan Pemerintah sebagaimana pemerintahan SBY dua periode 2004-2014. PDIP is wong cilik dan dengan identitasnya sebagai oposisi ini tentu akan mendapatkan elektoral politik yang jelas. Khususnya mereka yang militan anti-Jokowi juncto Prabowo-Gibran.
Jelas sekali, bagaimana misalnya PDIP digaet-gaet untuk misalnya mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta. Sinyal ini semacam memberikan dukungan dari akar oposisi yang meminta PDIP untuk mengambil momentum Anies agar tidak bergabung dengan KIM Plus, di tengah PKS mengalami kebocoran perahu untuk segera bergabung dengan Kapal Besar bernama Koalisi Indonesia Maju.
ADVERTISEMENT
Selain digaet, PDIP seharusnya juga “peka” terhadap situasi seperti ini, namun dengan mencalonkan dan mengusung Edy Rahmayadi, harusnya harus ada sinyal keberlanjutan untuk beroposisi di daerah lainnya, termasuk juga Jakarta. Tidak harus Anies, Ahok pun bisa. Tetapi kan hal yang paling jelas adalah bahwasanya Anies adalah simbol rematch Pilpres antara Anies dengan Prabowo yang dalam hal ini adalah Koalisi Indonesia Maju.
Anies dan PDIP tentu saling membutuhkan, menurut saya. Mengapa? Ketika mengambil sikap oposisi, maka sudah jelas bahwasanya kewajiban moral PDIP adalah mencalonkan anti-tesa terhadap calon yang dijagokan oleh Jokowi, dalam hal ini bisa juga merupakan Koalisi Indonesia Maju yang merupakan keberlanjutan dari Jokowi.
Jalannya komunikasi antara Anies dan Ahok, sepertinya tidak relevan apabila dibaca sebagai pertarungan ulang antara Anies versus Ahok melainkan komunikasi Anies dan PDIP itu sendiri. Karena nyaris tidak ada alternatif lagi siapa yang akan maju di tengah ekspansi Koalisi Indonesia Maju yang akan berubah nama menjadi KIM Plus. Jadi, ekspansi politik KIM Plus ini juga bisa dibaca sebagai usaha untuk berinvestasi politik selama lima tahun kedepan terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran.
ADVERTISEMENT
Jadi, PDIP dalam hal ini sudah tepat mengambil bayang-bayang oposisi dengan mengusung Edy Rahmayadi. Namun, harusnya tetap menjadi konsisten di daerah lain, termasuk juga dalam hal ini adalah di Jakarta. Mau Anies atau Ahok, konsekuensi politiknya begitu berpengaruh kedepannya, termasuk politik lima tahun lagi. Tentu dengan mengusung Edy Rahmayadi, oposisi sudah di tangan. Apakah akan konsisten atau tidak?
Trah PDIP dan Wong-Cilik
Perubahan struktur di dalam PDIP adalah yang menentukan alur PDIP ini kedepannya. Struktur pengurus yang baru ini adalah orang yang akan menjadi lingkungan Ketua Umum dalam hal ini adalah Megawati. Pembersihan yang terjadi secara natural dengan perginya Budiman Sudjatmiko dan kroni-kroni Jokowi dari PDIP, harusnya juga menjadi momentum bahwa PDIP akan kembali ke trah-nya yakni wong cilik.
ADVERTISEMENT
Sebagai partai yang dianggap lebih memiliki warna, posisi ideologis dan akar rumput berdasarkan spektrum, PDIP dan PKS bisa dikatakan partai yang sedikit banyaknya memiliki pendirian dan akar rumput militan dalam politiknya. Sudah cukup rasanya bagi PDIP menjadi partai penguasa yang mana sejak bersama Jokowi, isu-isu seperti oligarki itu berdampak kepada PDIP. Hal ini tentu bertentangan dengan gaya “Korea-korea” Bambang Pacul yang memang selama ini jelas bahwa personalitas dan psikologi politiknya merupakan gaya “wong cilik” yang berbeda dengan Golkar.
Jokowi yang dianggap lebih dekat dengan Golkar setelah berkuasa dan menuju akhir masa jabatannya, memang sudah tidak seperti gaya baju kotak-kotak ketika ia datang ke Jakarta bersama PDIP dan membawa istilah Soekarnois seperti Trisakti misalnya. Jadi, kembalinya PDIP ke oposisi akan mengembalikan identitas PDIP yang kritis dan membela rakyat bahkan dengan gaya demo “BBM” yang memang mampu untuk menarik kekuatan politik yang berdampak pada elektoral PDIP itu sendiri. Secara historis, partai ini (baca : Megawati) memiliki jejak perlawanan dan perjuangan demokrasi pada masa Orde Baru. Jadi, mentaliter oposisi bukanlah hal yang asing bagi PDIP, termasuk Megawati itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, semuanya akan bergantung pada konsistensi PDIP itu sendiri. Di tengah ekspansi politik KIM Plus yang sepertinya belum percaya diri dengan Gerindra, Golkar, PAN dan Demokrat, KIM Plus juga berupaya untuk menggusur anasir-anasir kekuatan yang mengganggunya selama lima tahun kedepan. Apakah dengan oposisinya PDIP itu menakutkan? Rekam jejak sudah banyak dan banyak publik yang berharap PDIP kembali pada mode oposisi-nya. Sekian.