Konten dari Pengguna

Memaknai Reshuffle Transisi Jokowi

Alit Teja Kepakisan
Penulis Lepas & Mahasiswa Universitas Terbuka
19 Agustus 2024 16:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alit Teja Kepakisan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru saja usai akrobat pertunjukan oleh Jokowi di masa akhirnya yakni Ibukota Baru pada 17 Agustus 2024, kini akrobat pertunjukan beralih ke reshuflle di masa akhir kepemimpinan Presiden Jokowi. Penting untuk memaknai reshuffle ini sebagai bagian dari agenda politik dan kepentingan politik dari Jokowi sendiri antara lain mengamankan tempat politik Jokowi setelah 20 Oktober 2024 dan tentunya Gibran yang tentunya juga harus menggaet Jokowi sebagai mentor politiknya nanti. Namun, apa saja makna itu?
ADVERTISEMENT
Menkumham dan Prahara Partai
Pertempuran Pilpres 2024 antara Prabowo, Anies dan Ganjar memiliki dimensi unik, yakni dimensi bahwa ketiga kendaraan partai petarung itu semua berada di dalam Pemerintah. Termasuk juga yang sangat keras mengkritik Jokowi pada Pilpres lalu adalah PDIP. Menteri PDIP, tergolong banyak di dalam pemerintahan Jokowi. Wajar saja, PDIP mengantarkan Jokowi menjadi ke kursi presiden untuk kedua kalinya yakni 2019-2024. Salah satu kursi yang dimiliki PDIP adalah Menteri Hukum dan HAM, yang dijabat oleh Yassona Laoly.
Yassona Laoly, bisa dikatakan sebagai menteri yang (dalam tanda kutip) di masa kepemimpinannya berhasil memperbarui KUHP setelah sekian lama. Meski ada pro-kontra, bersama dengan Eddy Hiariej, Wakil Menteri Hukum dan HAM, ia melakukan pembaruan terhadap KUHP. Namun, kursi menteri ini memang sangat penting, terutama berkaitan dengan urusan administrasi negara, selain mengurusi lapas. Kementerian ini adalah yang sangat strategis, terutama juga kewenangannya yang mengesahkan administrasi partai, salah satunya adalah kepengurusan.
ADVERTISEMENT
Yang kontroversial adalah ketika Menkumham hendak di angket karena mengesahkan salah satu kepengurusan Golkar yang sedang konflik pada 2015, ketika panas-panasnya Agung Laksono dan Aburizal Bakrie. Termasuk juga posisinya yang strategis ini mampu juga untuk tidak mengesahkan. Misalnya saja kursi KLB Deli Serdang yang saat itu Moeldoko terpilih sebagai ketua umum Partai Demokrat. Kuncinya ada di Menkumham. Bahkan, jika kita menerka seandainya KLB Moeldoko diterima oleh Menkumham, maka citra Jokowi yang runtuh. Jadi, sangat potensial dan strategis kursi menteri ini.
Kembali ke konteks transisi Jokowi, PDIP yang sudah jelas arah angin politiknya pasca 20 Oktober 2024, tentu saja sebenarnya melakukan reshuffle terhadap kursi PDIP adalah alasan yang logis. Namun, mengapa tidak semuanya? Di dalam kabinet masih ada Risma, Abdullah Azwar Anas, Pramono Anung dan Bintang Puspayoga (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Tetapi, mengapa Menkumham? Ini berkaitan dengan konteks bahwa adanya prahara partai yang ada di masa transisi, yakni PKB dan Golkar yang sedang mengalami kegoyahan kursi ketua umum.
ADVERTISEMENT
Apapun ceritanya, konflik ini sangat berkaitan dengan masa transisi. Oleh karena itu, penting untuk melihat bahwa waktu yang harus digunakan untuk merebut partai tidaklah boleh lewat dari 20 Oktober 2024. Harus sebelum, dalam artian bahwa sebelum pelantikan Prabowo sebagai presiden. Belum lagi kita melihat realitas bahwa Megawati yang marah ke Menkumham Yassona pada Juli 2024 mengenai intervensi penegakan hukum. Namun, pengganti Yassona pun bukanlah orang yang awam. Dia adalah Ketua Badan Legislasi, ini bukanlah orang yang tidak mengerti hukum. Kapasitasnya tidaklah diragukan lagi, mengingat di masa dia sebagai Baleg, banyak undang-undang, baik yang kontroversial maupun yang diterima oleh publik itu lolos. Itu juga merupakan kursi yang strategis. Namun, masalahnya, Menkumham yang baru ini adalah berasal dari Gerindra. Bisakah dikatakan bahwa Menkumham yang baru ini merupakan manifestasi dari Prabowo yang akan ikut terlibat dalam prahara Golkar? Kita nantikan.
ADVERTISEMENT
Bahlil, Kode Berlanjut?
Saya ingat salah satu menteri yang menghadapi reshuffle kabinet namun tidak pernah keluar yakni Sofyan Djalil, yang diketahui sebagai “JK Connection”. Jadi, ibaratnya adalah bahwa orang andalan Jokowi selain Luhut, ya Bahlil. Haruslah diakui hal tersebut. Salah satu peninggalan Jokowi yang terkenal adalah UU Cipta Kerja atau bahasa yang digunakan adalah Omnibus Law. Bahlil merupakan juru bicaranya. Pindahnya seorang Bahlil ke ESDM, bisa dikatakan bahwa ini merupakan kepastian terhadap Bahlil. Sementara, dugaan ini bisa dilihat dengan menelisik ke belakang pengalaman “orang kepercayaan” yang ditaruh sebagai eksistensi Jokowi di dalam kabinet, bukan hanya kursi Wakil Presiden.
Sama seperti Sofyan Djalil ketika di periode pertama Jokowi menduduki kursi menteri, dari Menko Perekonomian dan sampai berakhir di Menteri ATR/BPN. Sama seperti Bahlil, yang dipercaya oleh Jokowi dan karena di masa transisi dijadikan Menteri ESDM, maka jelas, menurut saya Bahlil akan tetap di ESDM. Sederhananya, bahwa Bahlil adalah “Menteri Jokowi” yang akan diangkut ke kabinet Prabowo. Tentu saja, nasib Bahlil adalah nasib Jokowi. Sama seperti JK, jika Sofyan Djalil sudah tidak ada, maka aroma JK di kabinet maka juga tidak ada.
ADVERTISEMENT
Memaknai Reshuffle di Menit Terakhir
Tentu saja, teori maupun asumsi bahwa menteri adalah bagi-bagi kursi merupakan hal yang biasa, terutama dalam presidensialisme dan multi partai sistem ini. Namun, mengganti di menit terakhir itu penuh tanda tanya. Hal yang paling penting untuk ditanyakan adalah urgensinya apa? Reshuffle itu adalah sebenarnya hal yang paling keramat dan punya konsekuensi paling signifikan, terutama catur perpolitikan. Kita ingat, misalnya, bagaimana ketika Gus Dur memecat Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla di dalam kabinet-nya, berakhir tragis, bukan? Tetapi, dalam perspektif pembangunan kabinet dan melaksanakan rencana pembangunan yang baru pun sudah sangat telat.
Usia kabinet Jokowi-Maruf, tidak akan lama lagi. Bahkan, nyaris tidak akan mampu bekerja apa-apa lagi. Karena ini sudah telat waktu untuk berakrobat. Mudahnya begini, Jokowi ini memang seperti bermain catur. Sudah jelas bahwa menteri dari Nasdem, PDIP, PKB, PPP itu semua beroposisi dengan Prabowo-Gibran tetapi mengapa tidak ada reshuffle? Tapi, di menit terakhir ini mengapa sangat urgensi sekali untuk melakukan reshuffle kabinet? Ini kan aneh sekali. Tetapi itulah, hak prerogatif yang melekat pada Presiden yang bisa menjawabnya. Terutama, soal urgensi dan subjektif Presiden.
ADVERTISEMENT
Ini bukan mempersoalkan kewenangan, namun mempersoalkan urgensi saja. Apa sebenarnya yang terjadi? Di tengah isu hukum bahwa intervensi hukum dilakukan kepada PDIP yakni sang Sekjen Hasto Kristiyanto, Airlangga (dalam hal ini isu Kejaksaan Agung)? Mengapa justru ketika panas-panasnya Jokowi disebut sebagai Neo-orba dan akan dilakukan pemakzulan serta hak angket justru tak mereshuffle? Jawabannya ada pada Jokowi. Tetapi sebagai penutup, yang ingin saya katakan adalah bahwa hak subjektif yang melekat pada Presiden, itu tidak melulu memang soal kepentingan kerja melainkan juga kerja-kerja politik praktis, mengapa? Karena, Jokowi kalau tidak memiliki partai pasca 20 Oktober 2024 dia akan tenggelam, sedangkan PDIP akan tetap eksis bersama Megawati. Urgensi perebutan kendaraan politik ini sudah sangat jelas. Sekian.
ADVERTISEMENT