Konten dari Pengguna

Verrell, Antara Salah Alamat atau Terlalu Normatif

Alit Teja Kepakisan
Penulis Lepas & Mahasiswa Universitas Terbuka
12 Mei 2025 9:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alit Teja Kepakisan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Verrell Bramasta dilantik sebagai anggota DPR dari PAN, 1 Oktober 2024. Foto: Dok DPR RI
zoom-in-whitePerbesar
Verrell Bramasta dilantik sebagai anggota DPR dari PAN, 1 Oktober 2024. Foto: Dok DPR RI
ADVERTISEMENT
Pernyataan Verrell Bramasta cenderung normatif dan cenderung sejuk dalam ruangan di Jakarta. Tapi, apa yang dikatakan Verrel tidak salah, soal anak adalah tanggung jawab orang tua, seratus persen sampai seribu persen saya setuju. Masalahnya, itu kebijakan siapa? Okelah, Verrell adalah seorang DPR bahkan Komisi X dan sudah menegaskan bahwa dia tahu tupoksinya. Ya, publik pun tahu Anda punya tupoksi disana, jadi tidak usah diperjelas. Tapi, Anda adalah pengawas K/L yang berkaitan dengan Pemerintah Pusat. (Semoga, bukan hanya jadi tukang stempel kebijakan ya nantinya. Ditunggu kritisnya, he-he-he).
ADVERTISEMENT
Beda ceritanya Anda kalau DPRD, entah Kabupaten atau Provinsi Jawa Barat. Baru cocok tuh speak up disana. Masalahnya bukan. Mendikdasmen saja sudah bilang “No Comment,”, seharusnya yang Anda komentari ya itu tuh, yang Anda awasi. Apa saja? Kan tahu tupoksi, contohnya ya bisa Mendikdasmen, Mendiktisaintek, dll. Kalau yang diawasi saja sudah ‘No comment’ , sebenarnya harusnya partai Anda sebagai pengawas (baca : pendukung sekaligus militan alot Pemerintah), ya harus setuju saja dong? Kan logika eksekutif dan legislatif disini gak serumit konservatif dan liberal, atau layaknya perdebatan Republik dan Demokrat. Gitu kok repot. Gak susah disini.
Nah, saya sih gak masalah, toh ini demokrasi. Bukan tidak boleh, malah memang harus bicara dan keras, tapi kepada siapa? Ya tupoksi dong, pusat. Bahasa mudahnya, kepada K/L yang dipilih oleh Presiden yang didukung partai Anda. You know lah. Masalahnya, anggota DPR RI (Senayan), kalo ngomongin daerah itu kek membohongi diri sendiri. Kalo kata Bupati Purwakarta nih, ya, saya kutip, turun ke dapil dong! (maksudnya ke lapangan nyata di tempat you terpilih, bukan di ruangan sejuk tok). Kalau secara tugas, yakni turun ke dapil itu memang kewajiban kan, tapi DPD yang harusnya bicara. Kok DPD? Ya jelas, DPD itu apa gebrakan yang bisa kita ketahui? Secara normatif saja (karena dia normatif, kita normatif juga lah), kewenangan DPD itu contohnya di bidang legislasi, itu kewenangannya secara kata kunci hanya : dapat mengajukan, dapat ini, dan dapat itu. Dapat, artinya gak wajib. Mana ini, pertanggungjawaban atau minimal speak up lah. Walaupun salah alamat.
ADVERTISEMENT
Di tengah demokrasi omong kosong ini, dimana kewajiban DPR RI (alias pusat) sebagai tukang stempel, ditambah remuknya independensi peradilan, seharusnya memang kurang – kurangi bicara yang normatif. Apalagi bicara soal teori di hadapan masyarakat. Praktik trias politika yang disebut saja sudah menyimpang jauh disini (sekali lagi, disini), kalau dihitung melencengnya ibarat dari Jakarta ke Suriname. Mau bicara teori njelimet di tengah ketidakpastian dan kegaduhan politik yang nyaris gak pernah kelar? Menurut saya, apa yang dilakukan Gubernur Jawa Barat, KDM, adalah penyegaran dan terobosan di tengah kekakuan komunikasi antara atasan dan bawahan, termasuk juga mencabut aura kekuasaan yang kaku itu menjadi sebuah doktrin bahwa pada pada dasarnya adalah pegawainya rakyat. Digaji oleh rakyat, dibiayai oleh rakyat.
ADVERTISEMENT
Kenapa saya tekankan kalau Verrell ini salah alamat? Kalau kita lihat saja, daerah itu memiliki kewenangan yang memang sudah ada sebelum Verrell ini menjabat. Kalau sekarang kan artinya masih pakai UU Sisdiknas (20 Tahun 2003). Praktiknya adalah pusat, Mendikdasmen, itu tidak bisa mengatur sekolah - sekolah itu dalam arti secara harian dan mengamati riil. Yang bisa mengatur siapa? Ya pemerintah daerah, dengan segala perangkatnya yang pernah dipaksa turun ke dapil oleh KDM juga di salah satu videonya (maksudnyak, DPRD yang main catur). Entah tingkat Kab/Kota, atau Provinsi. Dan disitu pun dibedakan lagi. Yang TK, SD, SMP itu Kabupaten. Kalau yang SMA/K, itu ke provinsi. Sederhananya begitu. Mendikdasmen, itu hanya menyiapkan kebijakan entah itu belanja anggaran, menetapkan program kurikulum yang berubah – ubah, tapi kan pada intinya yang konkret ada di daerah.
ADVERTISEMENT
Jadi, kalau mau ingin mempengaruhi kebijakan, menurut saya, satu saran saja sih. Berapa tahun lagi kalau ada pemilihan, lebih baik ikut disana jangan di pusat yang tiap rapat ini itu, meski ngomong gak karuan, tetap juga disorot kan? Ditambah ada vlog juga kan? Nah, saran hanya itu saja, tapi kan turun pangkat dari Senayan ke Daerah? Ya kalau seorang aktivis dengan segala perangkat idealisme saja tidak cukup di jalanan dan mau mengubah sistem kan masuknya dari dalam, begitu juga kalau merasa daerahnya melenceng, ya jadi pejabat di daerah saja sih. Karena, disana yang menentukan mau stempel atau tidak. Sekian.