Rumah ARIP, Model Bangunan Tahan Gempa Hasil Rekonstruksi Tempat Tinggal Masyara

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
Konten dari Pengguna
31 Maret 2023 8:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rumah ARIP, Model Bangunan Tahan Gempa Hasil Rekonstruksi Tempat Tinggal Masyarakat
zoom-in-whitePerbesar
Rumah ARIP, Model Bangunan Tahan Gempa Hasil Rekonstruksi Tempat Tinggal Masyarakat
ADVERTISEMENT
Kepala Pusat Studi Bencana (PSB) IPB University, Dr Doni Yusri menawarkan satu model bangunan yang kokoh dan tahan gempa. Temuan dan rekomendasi model rumah atau bangunan tahan gempa tersebut dinamakan ‘Rumah ARIP’ yang merupakan akronim dari Rumah Agronomi-Hortikultura IPB.
ADVERTISEMENT
“Satu bangunan yang masih kokoh berdiri di area lahan percobaan IPB, Pasir Sarongge, Kabupaten Cianjur. Bangunan tersebut nampak sangat cocok dengan kondisi daerah-daerah rawan bencana gempa,” jelasnya saat menyampaikan laporan akhir terkait Studi Riset Aksi Cianjur pada Kamis (30/3) di Pendopo Kabupaten Cianjur.
Dalam laporannya, Dr Doni menjelaskan bahwa Studi Riset Aksi Cianjur merupakan respon atas terjadinya Bencana Gempa Bumi Cianjur pada 21 November 2022 lalu. “Judul Riset Aksi yang dilakukan oleh PSB IPB University adalah Studi Identifikasi Rekonstruksi Tempat Tinggal Masyarakat Terdampak Bencana Gempa Bumi Cianjur Berbasis Perspektif Masyarakat,” jelasnya di depan Bupati Cianjur, Rektor IPB University, serta undangan lainnya.
Dr Doni menerangkan bahwa judul penelitian aksi tersebut terinspirasi dari beberapa masukan dari warga terdampak bencana setelah beberapa kali mengunjungi tenda-tenda pengungsian korban bencana gempa bumi saat fase tanggap darurat. “Dari warga yang saya temui untuk diskusi sebagian besar tidak mau dipindah,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini kemudian ditangkap oleh Dr Doni untuk dijadikan tema penelitian aksi seperti yang tertera dalam salah satu tujuan penelitian studi ini, yakni mengidentifikasi perspektif masyarakat terhadap keinginan mereka untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi pada fase rekonstruksi saat pemulihan dan fase rehabilitasi.
“Metode penelitian menggunakan pendekatan survey, wawancara dan analisis data deskriptif dan skoring. Responden diambil acak sebanyak 150 orang dari lima lokasi terdampak bencana di mana rumah tinggal mereka mengalami kerusakan mulai dari kategori ringan, sedang hingga kerusakan berat,” imbuhnya.
Ia mengungkap, hasil penelitiannya menunjukan persepsi berbeda antara aparat dengan masyarakat terdampak. Mayoritas aparat berpandangan bahwa sebaiknya masyarakat terdampak direlokasi ke tempat yang baru. Alasannya demi menghindari korban jiwa dan kerusakan lebih parah pada bangunan, jika kelak bencana gempa bumi terulang.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, masyarakat terdampak yang diwakili pandangannya oleh responden hampir 85 persen menolak relokasi. “Mereka lebih memilih rekonstruksi tempat tinggal (rumah) di lokasi lama yang mereka tempati. “Alasan dekat dengan sumber mata pencaharian, hidup dan kehidupan yang sulit dipisah dari diri mereka, hingga pesimis untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik ke depannya menjadi di antara alasan mereka tidak mau direlokasi,” urai Dr Doni.
Sejauh ini pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan juga beberapa perguruan tinggi telah menemukan dan menawarkan beberapa model dan pilihannya sebagai rumah atau bangunan yang tahan gempa.
“Pilihan apapun untuk pemulihan hidup dan kehidupan yang lebih baik untuk masyarakat terdampak bencana yang paling penting adalah kualitas rumah atau bangunan yang kokoh dan tahan gempa,” tegas Dr Doni di akhir paparannya. (*/Rz)
ADVERTISEMENT