Perkembangan Sistem Pertukaran Mata Uang pada Zaman Bali Kuna

MadeYuliasih
Pegawai Badan Riset dan Inovasi Nasional
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2023 20:56 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari MadeYuliasih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Uang sebagai alat transaski pada zaman Bali Kuna (Foto : dokumentasi I Gusti Made Suarbhawa)
zoom-in-whitePerbesar
Uang sebagai alat transaski pada zaman Bali Kuna (Foto : dokumentasi I Gusti Made Suarbhawa)
ADVERTISEMENT
Pikiranku mulai berkelana membayangkan situasi di mana suatu masa yang hanya memanfaatkan alam sekitar untuk bertahan hidup. Tidak ada listrik, tidak ada handphone, tidak ada peralatan canggih lainnya. Rasa ingin tahu ini mendorong aku untuk mulai melangkahkan kaki melihat-lihat buku yang tersusun rapi di Perpustakaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Kawasan Denpasar Selatan.
ADVERTISEMENT
Tangan dan mataku mulai aktif bekerja menemukan buku-buku yang memuat tentang transaksi perdagangan yang terjadi pada masa tersebut. Suatu masa yang dipenuhi dengan keindahan alam dan kehidupan yang sederhana. Manusia menjalin hubungan dengan alam secara dalam, bergantung pada hasil pertanian, perburuan, dan kerajinan tangan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tercipta harmoni antara manusia, tanah, dan makhluk hidup lainnya. Suasana pedesaan yang terhampar luas, masyarakat saling berbagi hasil panen dan barang-barang yang dihasilkan, saling membantu dalam kesulitan dan merayakan kegembiraan bersama.
Hingga akhirnya tangan ini terhenti pada sebuah buku yang dapat menceritakan bagaimana kehidupan pada masa tersebut yang menceritakan bahwa manusia dalam melakukan transaksi pada awalnya tidak menggunakan uang seperti sekarang, tetapi pertukaran antar barang dengan barang yang dikenal dengan istilah barter. Nilai tukar ditentukan oleh kesepakatan bersama atau standar yang diterima oleh komunitas. Barang-barang yang diperlukan diperdagangkan dengan barang-barang lain yang memiliki nilai setara.
ADVERTISEMENT
Pada abad ke -7 hingga abad ke -15 muncul kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Bali, pada zaman itu pulau Bali telah masuk dalam jaringan perdagangan nusantara. Perdagangan berlangsung dengan sistem barter dan juga dengan menggunakan uang sebagai alat tukar. Kehidupan ekonomi masyarakat Bali didasarkan pada pertanian, perdagangan, dan kerajinan rumah tangga, seperti menenun, memande (membuat senjata tajam), dan membuat alat-alat kebutuhan rumah tangga lainnya.
Sebelum ditemukannya mata uang sebagai bentuk alat tukar, masyarakat melakukan transaksi perdagangan dengan tukar-menukar barang secara langsung disebut sistem barter. Dalam sistem ini, orang menukar barang yang diinginkan dengan barang lain, seperti yang tersisa desa Kuta Banding di Pura Gambur Angalayang di Kubutambahan Buleleng (Pageh, 2019).
ADVERTISEMENT
Transaksi melalui sistem barter umumnya terkait dengan barang-barang dikonsumsi saja, sehingga sistem barter terjadi pada masyarakat dengan kebutuhan subsistensi, yaitu kebutuhan akan barang yang dikonsumsi, bukan untuk dikomersialisasikan atau disebut untuk kebutuhan terbatas (Pinardi,dkk,1993;dalam Forum Arkeologi,1998).
Meningkatnya kebutuhan konsumsi dalam hidup manusia, terutama yang bersifat material, dan adanya dorongan psikologis untuk mendapatkan keuntungan lebih besar, maka mendorong manusia untuk menggunakan segenap keterampilan, keahlian, pengetahuan, dan kreasinya untuk mengubah materi yang semula tidak ekonomis menjadi bernilai ekonomis.
Transaksi semula hanya menggunakan barang (barter) kemudian mengalami perubahan menjadi benda yang terbuat dari bahan yang tahan lama, mudah dibawa ke mana-mana, mempunyai berat tertentu, didasarkan atas kesepakatan bersama, dan memiliki tanda/cap dari penguasa pada zamannya yang mengisyaratkan bahwa benda tersebut digunakan sebagai alat pertukaran dalam perdagangan yang sah yang disebut dengan uang (dengan mata uang tertentu) seperti yang kita kenal sekarang seperti disebutkan oleh Amelia (2003) (cf. Forum Arkeologi, 2008).
ADVERTISEMENT
Mata uang muncul karena adanya kepentingan alat tukar yang dapat dijadikan sebagai alat ukur yang dapat dihitung untuk tujuan tukar menukar secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian uang dipakai sebagai alat pembayaran, satuan baku, dan sebagai alat tukar menukar (Evers (1988) dalam Forum Arkeologi;2008).
Dengan meningkatnya penggunaan mata uang, mengakibatkan meningkatnya jumlah mata uang yang beredar di masyarakat, peran uang pun dalam masyarakat juga berubah. Selain digunakan sebagai alat tukar, uang juga menjadi alat pembayaran utama. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau dapat diketahui melalui temuan-temuan prasasti oleh para peneliti, arkeologi, sejarah dan prasejarah.
PRASASTI SEBAGAI SUMBER INFORMASI KEJADIAN PADA MASA LAMPAU
Informasi mengenai uang yang beredar pada masa lalu banyak ditemukan dalam prasasti. Prasasti merupakan sumber sejarah tertulis yang banyak memuat keterangan berbagai aspek masyarakat seperti birokrasi, historis, perekonomian, keagamaan, permukiman, topografi, dan aspek masyarakat lain dengan berbagai aktivitasnya. Prasasti memiliki peran yang sangat penting sebagai sumber informasi tentang sejarah dan budaya.
ADVERTISEMENT
Prasasti menjadi sumber signifikan yang memberikan informasi tentang masa lalu. Jika prasasti tersebut diteliti dengan cermat, keterangan yang terdapat di dalamnya dapat memberikan gambaran tentang berbagai aspek kehidupan pada masa lampau, termasuk struktur pemerintahan, administrasi, masyarakat, ekonomi, agama, dan tradisi termasuk mata uang di dalam masyarakat. (Boechari, 1965:48;1972:2,22).
Prasasti Sukawana AI (Foto : dokumentasi I Gusti Made Suarbhawa)
Prasasti Sukawana AI tahun 804 Saka atau 882 Masehi, merupakan prasasti pertama yang memuat tentang satuan mata uang dan tercatat dalam konteks penggunaannya di Bali. Berbagai mata uang yang beredar dapat juga menunjukkan dari mana mata uang itu berasal, dan zaman dinasti atau kerajaan apa uang itu digunakan. Satuan pecahan mata uang pada zaman Bali kuna disebutkan dalam beberapa prasasti tersebut, yaitu: ma (masaka) dan ku (kupang). Jenis mata uang yang sama juga ditemukan dalam prasasti Bebetin AI (818 Saka atau 896 Masehi). Penggunaan satuan mata uang ini terkait dengan pembayaran iuran, pungutan, persembahan, dan sejenisnya yang dikenakan kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selain mata uang masaka yang disingkat ma dan kupang yang disingkat ku, terdapat pula pecahan mata uang yang dimuat dalam Prasasti Trunyan AI 883 saka 911 masehi terdapat juga pecahan mata uang piling yang disingkat pi.
Berdasarkan keterangan prasasti Sukawan AI, Bebetin AI, Terunyan AI diketahui bahwa pecahan mata uang masaka/ma, kupang/ku dan piling/pi terdiri dari dua jenis yang terbuat dari emas dan terbuat dari bukan emas. Jenis yang terbuat dari emas disebut dengan mas ma, mas ku dan mas pi, sedangkan yang terbuat bukan dari emas disebut ma,ku,dan pi.
Dari prasasti yang ditemukan tersebut memperlihatkan bahwa pada masa Bali kuna telah dikenal adanya mata uang emas dan uang perak. Satuan mata uang emas disebut: swarna, masa, dan kupang, sedangkan mata uang perak disebut dengan kati, dharana. Satu kati sama dengan 20 dharana; 20 swarna sama dengan 20 tail. Satu suwarna atau satu tahil sama dengan 16 masaka dan 1 masaka sama dengan 4 kupang (Sutterheim 1940; dalam Forum Arkeologi 2009). Selain itu untuk mata uang perak juga dikenal dengan istilah atak (satak) yang nilainya sama dengan 2 kupang atau ½ masa. Sedangkan berat 1 masaka sama dengan 4 kupang (cf. Christie 1994; Nastiti, 2003, dalam Forum Arkeologi 2009).
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut pada tahun saka 916 berdasarkan keterangan prasasti Buahan A yang dikeluarkan oleh raja Udayana dan beberapa prasasti yang terbit belakangan antara lain pada masa raja Marakata, Anak wungsu, Suradhipa, Jayasakti, Jayapangus, dan Adhikutiketana diketahui terdapat satuan mata uang yang bernama saga atau sering disingkat sa.
Pemakaian saga hanya diceritakan bahwa 1 saga emas beratnya 250 mg atau 0,00025 kg. Mata uang emas maupun perak sama-sama berbentuk bulat dengan ukuran yang bervariasi sesuai dengan nilainya. Satu sisi bergambar pola empat kelopak bunga cendana dan sisi lainnya bertuliskan ma atau ku, yang juga ditulisi dalam aksara dewa negeri.
Bentuk mata uang kupang lebih cekung daripada bentuk mata uang masa, demikian informasi dari dalam Forum Arkeologi. Mata uang emas dan uang perak dipakai untuk transaksi jual beli yang bernilai tinggi seperti transaksi jual beli tanah, bayar pajak, dan pembayaran penting lainnya, sedangkan untuk transaksi dengan nilai tidak begitu tinggi dan untuk barang keperluan sehari-hari seperti transaksi jual beli yang terjadi di pasar diperkirakan menggunakan mata uang kepeng Cina (Chinese opper Coins), yang pada masa Majapahit disebut Pipis bolong.
ADVERTISEMENT
Pulau Bali sendiri berdasarkan dari keterangan prasasti Gobleg Pura Batur C yang dikeluarkan pada tahun 1320 Saka, mata uang yang disebutkan di dalamnya cenderung mengacu pada uang kepeng/Pipis Bolong Cina.
Uang Kepeng pada masa Bali Kuna (Foto : dokumen pribadi)
Penggunaan uang kepeng pada masa Bali Kuna diyakini berdasarkan temuan pada beberapa situs di Bali seperti di Pura Bukit Dharma Kutri, Jero Agung, Tamblingan, Wasan, Pura Pengukur-ukuran, Pura Dalem Balingkang dan situs-situs lainnya ditemukan uang kepeng dalam jumlah yang relatif banyak. Dalam ritual Bali terutama dalam konteks bekal kubur (funeral gift) menjadi sangat penting dan wajib bagi masyarakat Bali.
Dengan demikian pemanfaatan uang kepeng oleh masyarakat Bali sebagai sarana ritual agama Hindu menjadi sangat penting dan menjadi life museum, dan masih terjadi sampai saat ini. Datangnya pengaruh uang Belanda (Ringgit Belanda) juga menjadi bagian terkait dengan bekal orang meninggal, ketika ada upacara penagabenan. Karena ngaben sebenarnya berasal dari kata “aba” menjadi “ng+aba+in” menjadi ngaben (dalam konteks funeral gift). Hal ini butuh kajian lebih lanjut, akan dilanjutkan dalam kajian berikutnya.
ADVERTISEMENT
Sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka, zaman kerajaan-kerajaan di nusantara banyak jenis mata uang beredar di nusantara ini. Kemudian setelah merdeka, juga mengeluarkan mata uang rupiah sebagai mata uang resmi di Indonesia, pertama dikeluarkan pada tahun 1946.
Pada masa Belanda dan Jepang menjajah Indonesia khususnya Bali dalam melakukan transaksi pernah menggunakan uang Belanda dan Jepang. Seperti Ringgit dari bahan perak, bengol, sen dan sebagainya. Zaman jepang menggunakan bahan kertas sehingga nilai instrinsiknya tidak ada, demikian tidak berlaku habis riwayatnya, berbeda dengan mata uang yang terbuat dari emas, perak, tembaga, perunggu dan kuningan, seperti uang bolong nilainya dapat stabil.
Terbebasnya Indonesia dari penjajahan kedua bangsa tersebut membuat pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1946 dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1946 tentang Pengeluaran Uang Republik Indonesia yang membuat uang republik Indonesia berlaku sampai saat ini, dengan variasi gambar dalam uang itu bervariasi, sesuai dengan kreasi Bank Indonesia, terutama sesuai dengan regulasi dalam pencetakan uang kertas nasional Indonesia.
ADVERTISEMENT
Badan Riset dan Inovasi Nasional memiliki berbagai pusat riset dengan spesifikasi ilmu yang berbeda, salah satunya Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Arkeologi Prasejarah dan Sejarah dapat menghubungi Kantor Kerja Bersama BRIN wilayah Denpasar Selatan. (Yul)