Konten dari Pengguna

Digitalisasi Pemerintahan: Omon-Omon di Ruang Rapat atau Sampai ke Publik?

Nicholas Martua Siagian
Reformasi Birokrasi, Perbaikan Sistem, Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, dan Inovasi. Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Inisiator Asah Kebijakan Indonesia. Peraih Talenta Riset dan Inovasi BRIN Tahun 2024.
16 Januari 2025 7:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nicholas Martua Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Transformasi Digital. Sumber: Foto Pribadi Nicholas Martua Siagian, Penulis (Canva)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Transformasi Digital. Sumber: Foto Pribadi Nicholas Martua Siagian, Penulis (Canva)
ADVERTISEMENT
Digitalisasi memainkan peran penting dalam mewujudkan prinsip-prinsip good governance, terutama dalam konteks pelayanan publik. Dengan penerapan kecanggihan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), proses administrasi pemerintahan menjadi lebih transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Digitalisasi memungkinkan akses informasi yang lebih mudah bagi publik, mengurangi birokrasi yang rumit, serta mempercepat penyampaian layanan publik. Bahkan, digitalisasi mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya, dan memperkuat mekanisme pengawasan terhadap kinerja aparatur negara. Digitalisasi tidak hanya meningkatkan kualitas pelayanan publik, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang berintegritas dan berorientasi pada kepentingan umum.
Perkembangan signifikan terjadi pada tahun 2018, ketika pemerintah mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (Perpres SPBE), yang kemudian dikembangkan dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 2022 tentang Arsitektur Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik Nasional (Perpres Arsitektur SPBE) dan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2023 tentang Percepatan Transformasi Digital dan Keterpaduan Layanan Digital Nasional (Perpres Transformasi Digital).
ADVERTISEMENT
Amanat Perpres tersebut tidak hanya memerintahkan pemerintah pusat di level kementerian/lembaga menerapkan SPBE, termasuk juga terhadap pemerintah daerah di Indonesia yang terdiri atas 38 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota.
Hampir semua pemerintah daerah menerbitkan regulasi sebagai turunan dari Perpres SPBE. Namun, membludaknya regulasi di level daerah menjadi persoalan di tataran implementasi, bedanya persepsi transformasi digital antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga menjadi penghambat keberhasilan transformasi digital.
Banyak regulasi di tingkat daerah yang belum sesuai dengan kebijakan pusat, menyebabkan variasi dalam implementasi kebijakan. Selain itu, kebijakan arsitektur dan peta jalan untuk integrasi sistem layanan digital berbasis data belum jelas, serta infrastruktur digital yang belum merata, menciptakan kesenjangan digital yang signifikan.
ADVERTISEMENT
Proses transformasi digital di sektor pemerintahan mendorong pengembangan berbagai aplikasi yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Aplikasi-aplikasi ini mencakup berbagai aspek pelayanan publik, seperti layanan kesehatan, pendidikan, kependudukan, perpajakan, perizinan, dan pelayanan lainnya. Mulai dari level kementerian, lembaga, pemerintah daerah provinsi hingga kabupaten/kota berbondong-bondong mengembangkan aplikasi.
Ironisnya, bukan semakin memudahkan publik, justru terjadi persoalan serius yang sebenarnya semakin memperlambat proses pelayanan publik. Begitu banyaknya aplikasi yang diinisiasi oleh pemerintah tidak diikuti dengan pemahaman masyarakat dalam menggunakan aplikasi yang dikembangkan. Belum lagi, persoalan infrastruktur digital, tingkat pemahaman masyarakat yang berbeda-beda justru semakin memperlihatkan kesenjangan digital.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 2023, hingga saat ini terdapat kurang lebih 27 ribu aplikasi milik pemerintah pusat dan daerah yang tidak efektif karena tidak adanya integrasi maupun sinkronisasi antar aplikasi tersebut, sehingga prinsip interoperabilitas dan kolaborasi masih sering terlewatkan. Seandainya dilakukan efisiensi aplikasi, begitu banyak anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan pada kebutuhan lainnya.
ADVERTISEMENT
Tentu menjadi pertanyaan serius, sebenarnya aplikasi ini digagas apakah sekadar sebagai serapan anggaran saja? Sekadar belanja-belanja birokrasi saja? Kalau pemerintah tidak sedang bercanda menggagas transformasi digital, seharusnya tidak hanya memikirkan kuantitas saja, namun juga berdasarkan kualitas aplikasi.
Di level pemerintah daerah, aplikasi bahkan dijadikan seremonialiasi program pemerintah, seperti sistem pelayanan program penanggulangan kemiskinan dan jaminan kesehatan warga kurang mampu di Kabupaten Cirebon (SiPEPEK), Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan (Sisemok), Aplikasi memantau stok dan kebutuhan pangan pokok (Simontok), dan lain sebagainya. Artinya, hanya sekadar ingin menunjukkan popularitas nama aplikasi daripada kualitas kegunaan aplikasi.
Keamanan siber dan proteksi data juga menjadi persoalan penting, karena kekhawatiran utama dalam transformasi digital untuk layanan publik adalah bocornya data pribadi yang dimiliki masyarakat. Artinya, perlu sinkronisasi yang tidak hanya sekadar penyelarasan peraturan, tetapi juga melibatkan harmonisasi standar, prosedur, dan teknologi yang digunakan oleh berbagai tingkat pemerintahan. Standar teknis dan operasional harus diselaraskan untuk memastikan interoperabilitas sistem di seluruh wilayah, termasuk standar keamanan data, protokol komunikasi, dan format data yang digunakan dalam berbagai aplikasi e-government.
ADVERTISEMENT
Dari sisi infrastruktur, tidak semua wilayah di Indonesia memiliki kondisi infrastruktur yang sama kualitasnya dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berada di pulau Jawa. Luas wilayah dan kondisi geografis Indonesia juga menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan infrastruktur pembangunan, khususnya pada sektor IT, karena masih terdapat beberapa daerah yang belum terjangkau sinyal internet maupun sinyal komunikasi seluler.
Ketimpangan infrastruktur tersebut menjadi penghambat implementasi transformasi digital yang optimal. Jika dihubungkan dengan administrasi publik, maka tolak ukur suksesnya pelayanan publik adalah kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat.
Berdasarkan kajian yang dilakukan penulis bersama Tim Kajian Transformasi Digital Layanan Publik Pemerintahan Daerah pada Ditpolhukam BRIN, bahwa salah satu penyebab transformasi digital mengalami stagnasi adalah ketika anggaran lebih banyak habis pada urusan birokrasi, mulai dari sosialisasi, rapat-rapat teknis, monitoring dan evaluasi (monev), hingga capacity building aparatur daerah. Kondisi akhirnya mengakibatkan anggaran yang seharusnya untuk maintenance aplikasi layanan digital semakin kecil yang berujung pada buruknya kualitas layanan kepada publik.
ADVERTISEMENT
Jika permasalahan birokrasi ini masih saja terjadi, maka transformasi digital hanya akan menjadi ‘omon-omon’ yang lalu lalang di ruang rapat, tidak lagi sampai diterima publik sebagaimana ekspektasi yang diharapkan. Tidak sedikit juga belanja aplikasi pemerintah menjadi temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), atau bahkan menjadi salah satu modus korupsi pada sektor pengadaan barang dan jasa.
Untuk memastikan digitalisasi pemerintahan tidak hanya berhenti di ruang rapat, langkah-langkah strategis harus dilakukan. Pemerintah perlu membangun infrastruktur yang memadai, termasuk memastikan akses internet yang merata di seluruh wilayah, terutama di daerah terpencil.
Selain itu, pelatihan dan edukasi harus diberikan kepada aparatur pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan literasi digital. Kolaborasi dengan sektor swasta juga dapat membantu mengembangkan solusi inovatif yang dapat menjangkau masyarakat luas. Evaluasi berkala terhadap implementasi program digital dan keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut juga menjadi kunci untuk keberhasilan.
ADVERTISEMENT
Digitalisasi pemerintahan memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas layanan publik dan transparansi. Namun, keberhasilan implementasi ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Jika ternyata hanya sekadar berhenti di ruang rapat, digitalisasi tidak akan memberikan dampak nyata. Oleh karena itu, diperlukan komitmen bersama untuk memastikan teknologi benar-benar menjadi alat yang inklusif dan bermanfaat bagi semua.