Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pertimbangan (Teknokratik) Pemekaran Sumatera Utara, Tepatkah?
11 Mei 2025 13:58 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Nicholas Martua Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, Kemendagri menerima 341 usulan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) atau pemekaran wilayah hingga April 2025. Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik mengatakan bahwa usulan tersebut terdiri dari permintaan pembentukan provinsi, kabupaten, kota, hingga daerah istimewa dan khusus baru.
ADVERTISEMENT
Secara rinci, bahwa terdapat 42 usulan pembentukan provinsi, 252 kabupaten, 36 kota, 6 daerah istimewa, dan 5 daerah khusus. Pernyataan tersebut dijelaskan saat Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI pada Kamis, 24 April 2025.
Terkhusus di wilayah Sumatera Utara, terdapat tiga provinsi yang diwacanakan menjadi Daerah Otonomi Baru yaitu Provinsi Tapanuli, Provinsi Sumatera Tenggara, dan Provinsi Kepulauan Nias. Setiap provinsi ini memiliki karakteristik wilayah, jumlah penduduk, dan potensi ekonomi yang berbeda, yang akan dibahas lebih mendalam dalam artikel ini.
Memang, semua daerah berhak memberikan usulan atas pemekaran wilayah, bahkan tidak ada yang salah mengajukan diri menyandang gelar daerah khusus hingga istimewa. Namun, jika pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri tidak memiliki strategi dan kebijakan (grand design) yang jelas menjawab tanggapan usulan ini, maka ini adalah persoalan kronis lainnya, yang bisa saja semakin lari dari reformasi birokrasi dan esensi desentralisasi.
ADVERTISEMENT
Jangan sampai kita mengalami fenomena semakin banyak daerah yang “dimekarkan terus menerus”, atau dikhususkan hingga diistimewakan tanpa alasan yang jelas, eviden, dan ilmiah. Artinya, hanya berbasis pada kacamata politis, kepentingan elit saja, tanpa memperhatikan efek jangka panjang.
Maka, jika saya merangkum persoalan ini berdasarkan kacamata permasalahan di lapangan, maka terdiri dari beberapa pertanyaan: Bagaimana mungkin di tengah kondisi Pemda yang tidak mandiri secara fiskal akan dimekarkan lagi? Bagaimana mungkin di tengah kondisi korupsi Pemda yang “begitu membludak dan tidak karuan”, pemekaran wilayah menjadi narasi yang diangkat kembali di forum resmi? Mengapa tidak Mengoptimalkan Pemda yang sekarang masih butuh asupan kemandirian dan vaksin teknokratisme?
Birokrasi Sumut
Sumatera Utara bukan daerah yang kekurangan luas wilayah, penduduk, atau kompleksitas masalah. Yang menjadi sorotan adalah lemahnya kinerja pemerintah daerah secara menyeluruh. Sejumlah laporan dan pengamatan publik menunjukkan bahwa korupsi masih sangat merajalela di tubuh birokrasi, mulai dari tingkat desa hingga provinsi. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kita bicara soal pemekaran wilayah, sementara sistem pemerintahan yang ada belum mampu bekerja secara efektif dan bersih?
ADVERTISEMENT
Kondisi korup birokrasi di Sumatera Utara bukan sekadar problem moral, tetapi juga problem tata kelola yang akut. Korupsi menyebabkan terputusnya layanan publik yang seharusnya menjadi jantung dari otonomi daerah. Pendidikan, kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur jadi mandek atau berjalan ugal-ugalan karena anggaran diselewengkan, proyek dibagikan secara transaksional, dan pengambilan keputusan tidak berbasis data maupun kebutuhan riil masyarakat. Dengan realitas ini, pemekaran hanya akan memperluas wilayah kegagalan tata kelola, bukan mendekatkan negara kepada rakyat.
Kekurangan Vaksin Teknokratisme
Lebih jauh, Pemda di Sumatera Utara masih mengalami “defisit vitamin teknokratisme”. Agenda-agenda pembangunan yang seharusnya didesain berbasis analisis kebutuhan dan data empiris, justru lebih banyak diproduksi sebagai ritual seremonial dan administratif semata. Dokumen penting seperti RPJMD, RPJMN, hingga Renstra, sering kali hanya menjadi lembar-lembar dokumen seremonial yang disusun demi memenuhi tenggat, bukan demi merumuskan arah pembangunan yang visioner dan terukur. Di sinilah letak persoalan utama yang selama ini tak tersentuh yaitu lemahnya fondasi teknokratik dalam tata kelola daerah.
ADVERTISEMENT
Seharusnya, sebelum bicara pemekaran, yang perlu dilakukan pemerintah adalah memperkuat fungsi koordinasi antara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan 33 kabupaten/kota. Jadi, tidak hanya soal sinkronisasi program, tetapi juga menyangkut penguatan kapasitas birokrasi, sistem monitoring evaluasi berbasis data, serta integrasi layanan publik yang inklusif.
Di era Prabowo Subianto, pemerintahan harus berani mencontoh ketegasan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menolak berbagai usulan pemekaran karena melihat belum adanya kesiapan struktural dan manfaat konkret bagi rakyat.
Belajar dari Berbagai Daerah
Kalau kita belajar dari kasus tata kelola yang terjadi pada proyek pembangunan Rumah Sakit Regional Kota Langsa, yang didanai anggaran Otsus Aceh bernilai dari rencana total anggaran Rp1,2 triliun, namun hingga kini dana baru mengucur tak sampai setengahnya, atau lebih detailnya hanya sebesar Rp169 miliar.
ADVERTISEMENT
Berhenti di tengah jalan alias “mangkrak”. Penundaan pembangunan rumah sakit itu disebabkan oleh perubahan prioritas anggaran pemerintah, sehingga pembangunannya terhenti sejak 2018. Dia menjelaskan dari rencana total anggaran Rp1,2 triliun, hingga kini dana baru mengucur Rp169 miliar. Dari beberapa kasus tersebut, maka bukan lagi pertanyaan, namun pernyatan, bahwa Pemda kita memang sedang mengalami gejala “mekar tapi tidak kekar”.
Sejalan dengan pernyataan Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (2009) bahwa, daerah hasil pemekaran menjadi beban signifikan tanpa ada kemajuan. Permasalahannya tetap sama yakni tingginya biaya operasional pemerintahan.
Fiskal Lemah
Kalau kita kaji secara fiskal, berdasarkan data Kementerian Keuangan, Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditransfer ke daerah melonjak dari Rp 54,31 triliun pada 1999 menjadi Rp 167 triliun pada 2009. Pada tahun 2025, anggaran DAU bahkan telah mencapai Rp 446 triliun. Artinya, semakin banyak daerah, maka kuantitas yang harus ditopang oleh pemerintah pusat akan semakin banyak.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah kenyatannya anggaran itu dapat dirasakan rakyat? Tentu, ini dilemanya. Fenomena ini dapat kita lihat dalam tren belanja daerah yang timpang. Di banyak daerah hasil pemekaran, belanja modal dan belanja pegawai menyedot hampir seluruh anggaran. Akibatnya, anggaran untuk sektor produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur menjadi minimalis. Ironisnya, pemekaran yang semestinya memperpendek jarak pelayanan publik justru memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyatnya karena minimnya kapasitas birokrasi yang mumpuni.
Sarat Politis
Tak bisa disangkal, banyak usulan pemekaran sarat akan kepentingan elitis dan politis. Kepala daerah, tokoh lokal, hingga politisi kerap menggunakan ‘isu pemekaran’ sebagai kendaraan elektoral. Daerah Otonomi Baru menjanjikan posisi politik strategis: jabatan gubernur, bupati, DPRD, hingga dinas-dinas baru yang menyedot APBD untuk belanja rutin birokrasi, bukan untuk rakyat.
ADVERTISEMENT
Pemekaran wilayah juga tidak lepas dari semakin besarnya beban demokrasi elektoral. Setiap daerah baru akan membutuhkan Pilkada, Pileg, dan Pilgub di daerah-daerah baru. Ini artinya, setiap lima tahun sekali, negara harus mengeluarkan lebih banyak biaya untuk menyelenggarakan pemilu di daerah-daerah baru yang bebannya tidak kecil, mengingat biaya satu kali Pilkada saja bisa menelan ratusan miliar rupiah.
Lebih dari itu, pemekaran wilayah di Sumatera Utara ujungnya adalah memperbanyak ‘pasar politik’, dimana rakyat hanya menjadi komoditas elektoral. Rakyat bukan lagi subjek politik, melainkan sekadar angka-angka dalam daftar pemilih yang diperebutkan elit lokal dan nasional. Proses politik makin mahal, korupsi politik makin menggila, dan rakyat lagi-lagi hanya menjadi penonton yang membayar ongkosnya melalui pajak.
ADVERTISEMENT
Maka, kita patut merenung: jika pemekaran tidak membawa layanan publik lebih dekat ke rakyat, maka untuk apa ia diadakan? Desentralisasi seharusnya membebaskan daerah dari ketergantungan pusat, bukan justru menciptakan kantong-kantong birokrasi yang ‘selalu mengharapkan’ anggaran.
Maka, sebelum menyetujui satu pun usulan DOB baru, pemerintah pusat harus menjawab satu pertanyaan fundamental: apakah rakyat benar-benar akan lebih sejahtera karenanya, atau hanya mengeskalasi kursi-kursi kekuasaan elit lokal?
Pertimbangan Matang
Pemekaran tidak boleh menjadi proyek politis maupun alat tawar elit lokal. Jika dilakukan tanpa dasar teknokratik, maka pemekaran hanya akan menambah daftar panjang daerah gagal tumbuh. Pemerintah pusat harus bersikap tegas bahwa hanya daerah yang telah menunjukkan kinerja pemerintahan yang bersih, efisien, dan teknokratis yang pantas dipertimbangkan untuk dimekarkan. Menurut saya pribadi, saya harus sampaikan, Sumatera Utara hari ini belum memenuhi prasyarat itu.
ADVERTISEMENT