Konten dari Pengguna

Stockholm Syndrome: Alasan di Balik Bertahan Dalam Abusive Relationship

Ninda Syifa Mulyani
seorang mahasiswa psikologi Universitas Brawijaya
24 Desember 2020 13:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ninda Syifa Mulyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Stockholm Syndrome: Alasan di Balik Bertahan Dalam Abusive Relationship
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sebuah hubungan yang sehat idealnya dipenuhi rasa sayang, aman, dan nyaman. Namun, ada beberapa hubungan yang justru dipenuhi dengan kekerasan. Ketika melihat seseorang yang memilih untuk bertahan dalam hubungan yang dipenuhi kekerasan, kita sering kali merasa gemas dan bertanya
ADVERTISEMENT
“kenapa sih dia nggak putus aja?” “Kenapa sih dia masih bertahan padahal sudah disakiti?”
Sudah sewajarnya ketika seseorang berada di sebuah hubungan yang tidak baik dan penuh kekerasan memilih untuk melepaskan diri dari hubungan tersebut karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar. Namun, hal itu terkadang sulit untuk dilakukan oleh beberapa orang. Meskipun mendapatkan kekerasan, namun sering kali beberapa korban kekerasan dalam hubungan memutuskan untuk bertahan dan kembali pada pasangannya. Dalam psikologi, ada banyak teori yang berusaha menjelaskan pertanyaan mengapa seseorang mempertahankan dirinya dalam hubungan yang penuh kekerasan diantaranya adalah teori Stockholm syndrome yang dicetuskan oleh Graham, dkk (1955).
Apa itu stockholm syndrome?
Stockholm syndrome merupakan gangguan perilaku dimana korban justru mengalami ikatan emosi dengan pelaku kekerasan. Menurut Graham, dkk (dalam Sekarlina, Margaretha. 2013:2) stockholm syndrome adalah paradoks psikologis antara korban dengan pelaku kekerasan yang di dalamnya timbul ikatan kuat yang meliputi rasa cinta dan rasa ingin melindungi pelaku, menyangkal kekerasan yang terjadi, bahkan menganggap diri sendiri sebagai penyebab kekerasan. Pada awalnya, istilah stockholm syndrome menjelaskan ikatan psikologis yang terjadi antara korban yang disandera dengan pelaku perampokan bank Sveriges Kreditbanken di kota Stockholm, Swedia pada tahun 1973. Dalam peristiwa tersebut, muncul ikatan emosi antara pegawai bank dengan perampok setelah mereka disandera selama lima hari. Para pegawai bank tersebut justru merasakan empati kepada perampok dan menolak untuk memberikan kesaksian untuk melawan mereka di pengadilan. Bahkan, beberapa dari mereka masih ada yang bertemu dengan para perampok.
ADVERTISEMENT
Saat korban berada dalam keadaan tertekan dengan durasi yang cukup lama, korban akan beradaptasi untuk menganggap situasi tersebut sebagai hal yang normal hingga akhirnya rasa empati itu bisa timbul. Meskipun istilah stockholm syndrome pada awalnya digunakan untuk menjelaskan yang terjadi pada kasus penculikan, tetapi stockholm syndrome bisa juga terjadi di keluarga, pernikahan, pacaran, dan hubungan lainnya. Seseorang yang bertahan dalam hubungan yang penuh dengan kekerasan, biasanya memiliki harapan bahwa abuser (istilah untuk pelaku kekerasan) akan mengubah perilakunya serta adanya rasa aman karena tidak perlu merasa khawatir mendapatkan ancaman ketika meninggalkan abuser tersebut.
Sebenarnya apa yang mendorong adanya stockholm syndrome?
Graham, dkk (1955) mengatakan ada beberapa keadaan yang dapat memicu Stockholm syndrome (dalam Sekarlina, Margaretha. 2013:2). Pertama, adanya ancaman yang dilakukan oleh abuser kepada korban. Ancaman yang diberikan bisa dalam bentuk fisik maupun psikologis korban. Perkataan seperti “saya akan bunuh diri kalau kamu meninggalkan saya” atau mengancam untuk melukai hal-hal yang korban sayangi menjadi salah satu cara abuser untuk mengintimidasi korban. Selain itu, Gerakan melempar atau memecahkan barang, memukul, dan kekerasan fisik lainnya juga bisa dianggap sebagai ancaman.
ADVERTISEMENT
Setelah memberi ancaman, akan ada kebaikan yang diberikan oleh abuser. Sering kali kita melihat para abuser justru dengan mudah meminta maaf setelah ia melakukan kekerasan. Pelaku kekerasan akan memperlakukan korban dengan baik, mengucapkan kata-kata manis, dan mengatakan janji untuk tidak mengulangi perbuatannya agar korban menjadi yakin kembali dengan pelaku. Bahkan, tidak jarang mereka beralasan bahwa semua yang mereka lakukan itu karena rasa sayang mereka kepada korban. Hal-hal seperti ini yang menyebabkan korban justru jatuh semakin dalam. Korban akan merasakan simpati dan empati sehingga muncul harapan bahwa hal-hal buruk tersebut tidak akan pernah terjadi lagi dan pada akhirnya membuat korban akan semakin sulit lepas dari hubungan yang tidak sehat.
Kondisi selanjutnya adalah korban akan dibuat terisolasi dari perspektif yang lain. Secara tidak sadar, pelaku akan menjauhkan korban dari orang-orang di sekitarnya. Perkataan seperti “teman-temanmu toxic. kamu jangan bergaul sama mereka lagi” atau sikap cemburu abuser yang membuat korban akan menjauhkan dirinya dari teman-temannya hanya semata-mata untuk menghindari perdebatan antara abuser dan korban. Selain itu, korban juga cenderung akan menutup telinga ketika seseorang membicarakan hubungannya yang tidak baik. Korban akan menyangkal semua perkataan orang lain mengenai keburukan abuser. Bahkan sering kali korban justru menganggap bahwa teman-teman atau keluarganya tidak mendukung korban. Kalau sudah begitu, korban akan menganggap bahwa yang dimiliki korban hanya si pelaku saja sehingga korban akan semakin bergantung pada pelaku.
ADVERTISEMENT
Semakin sering korban menyangkal keadaannya, maka semakin besar distorsi kognitif yang dialami oleh korban. Distorsi kognitif ini merupakan faktor utama terjadinya Stockholm syndrome. Jika tidak ada distorsi kognitif yang terjadi di dalam diri korban, maka stockholm syndrome tidak akan terjadi. Pada keadaan ini, korban akan mencoba melihat segala sesuatu dari sudut pandang si pelaku. Distorsi kognitif ini bisa berupa anggapan korban bahwa apa yang terjadi padanya bukan hal yang terlalu buruk. Korban menganggap kekerasan yang dilakukan oleh abuser adalah sesuatu yang wajar karena pelaku juga pernah memiliki masa lalu yang penuh kekerasan dan percaya bahwa kekerasan yang terjadi adalah bentuk rasa sayang pelaku untuk dirinya. Selain itu, Korban meyakini bahwa dia benar-benar mencintai pasangannya sehingga muncul keyakinan bahwa dia bisa mengubah perilaku kasar tersebut. Tidak jarang, korban justru berpikir bahwa yang menjadi penyebab kekerasan tersebut adalah dirinya.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa yang harus dilakukan jika orang terdekat kita yang mengalami hal ini?
Biasanya, Korban kekerasan dalam hubungan akan memiliki kesadaran untuk keluar dari hubungannya ketika sudah mencapai puncak rasa lelahnya untuk terus melanjutkan hubungan dan hal tersebut akan menimbulkan trauma yang besar bagi korban. Untuk mencapai hingga tahap keluar ini, akan ada proses decision making yang harus dilewati oleh korban. Tahap ini akan sangat terasa berat karena korban harus mengambil keputusan melalui banyak pertimbangan. Maka, sebagai orang terdekatnya, kita harus mendengarkan dan mendukung segala keputusan yang dipilih korban. Jangan memaksa mereka untuk segera pergi dari hubungannya karena hal itu hanya akan membangun rasa malu korban terhadap hubungannya yang sebenarnya hal itu sudah terlebih dahulu mereka rasakan. Jika perlu, berikan bantuan profesional untuk mengobati trauma yang mereka alami.
ADVERTISEMENT
Refrensi
Sekarlina, Margaretha. (2013). Stockholm syndrome pada wanita dewasa awal yang bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. 2(3): 1-6.
Anne McMurray. (2005). Domestic violence: Conceptual and practice issues. Contemporary Nurse. 18(3):219-232. DOI: 10.5172/conu.18.3.219
Logan, M. (2018). Stockholm syndrome: Held hostage by the one you love. Violence And Gender. 5(2). DOI: 10.1089/vio.2017.0076
Widyanti, P. (2012). Studi kasus mengenai decision making untuk keluar dari abusive relationship pada remaja akhir. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 1(1): 1-10.
Syukriah, D (2020). Stockholm syndrome: Ketika seseorang bertahan dalam hubungan yang penuh dengan kekerasan. Di akses dari https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/712-stockholm-syndrome-ketika-seseorang-bertahan-dalam-hubungan-yang-penuh-dengan-kekerasan