Konten dari Pengguna

Ekspansi Rantau via Piring

Nirwansyah
Ketua Bidang Hikmah, Politik, dan Kebijakan Publik IMM Ciputat
21 Juni 2020 12:33 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nirwansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi rendang Foto: dok.flickr/kalaimanickam
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rendang Foto: dok.flickr/kalaimanickam
ADVERTISEMENT
Barangkali kita sudah tidak asing lagi dengan salah satu tempat makan yang jamak ditemui hampir di setiap wilayah Indonesia, yaitu rumah makan Padang atau Restoran Padang. Selain rendangnya yang sudah mendunia, ada sisi lain yang jarang diketahui bahkan menimbulkan tanda tanya bagi berbagai khalayak, seperti penamaan “restoran Padang” itu sendiri, pertunjukan akrobat pramusaji dan terkait perbedaan antara porsi nasi bungkus dengan makan di tempat.
ADVERTISEMENT

Cikal Bakal Restoran Padang

Yang terlintas dipikiran kita pertama kali ketika mendengar nasi Padang barangkali ialah ikonnya yang sudah mendunia yaitu, rendang. Berdasarkan survei CNN yang dirilis pada 12 Juli tahun 2017 dengan headline “Your pick: World's 50 best foods”, menempatkan rendang sebagai makanan terenak pertama. Namun, kali ini kita tidak akan membahas tentang rendangnya, melainkan tentang beberapa hal “ganjil” terkait restoran Padang.
Restoran Padang dikenal secara nasional maupun mancanegara tak lepas dari peran para perantau. Merekalah salesman yang tak henti-hentinya bertualang ke berbagai penjuru yang disebut sebagai rantau. Pergi ke rantau/merantau ialah “sebuah jalan untuk memenuhi hukum dasar yang menuntut agar individu menundukkan diri terhadap kebesaran dunia” (Abdullah, 2018).
ADVERTISEMENT
Pada umumnya, merantau bertujuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan juga untuk pendidikan. Dalam konteks ini, pendirian restoran Padang di rantau diharapkan mampu memperbaiki kondisi ekonomi. Lantas, kapan pertama kali nama restoran Padang digunakan?
Menurut pengajar dan peneliti dari Universitas Leiden, Suryadi Sunuri, yang dilansir dari laman padangkita.com, penggunaan nama restoran Padang ditemukan pada sebuah iklan surat kabar yang terbit pada tahun 1937. Iklan tersebut merupakan bukti historis-empiris yang dimuat di harian Pemandangan terbitan Batavia. Iklan tersebut berisi:
“BERITA PENTING! Kalau toean2, njonja2 dan soedara2 djalan2 di Cheribon, djika hendak makan minoem jang enak, sedap rasanja, bikinan bersih mendjadi pokok kesehatan, silahkanlah datang ke: PADANGSCH-RESTAURANT “Gontjang-Lidah” beralamat
di Pasoeketan 23 Cheribon. Dan djoega ada sedia anggoer tenaga boeat orang lemah, bikin tjahja moekamensehatkan badan mengoeatkan pentjernaan, menimboelkan tenaga baroe dengan lekas d.l.l. Tjobalah rasanja enakper glas f 0,25. Bibitnja anggoer Tenaga 1 botol besar f 2,50. Selama keramean Moeloedan di Kanoman, kami ada boeka stand. Datang rame2 kesanah.
ADVERTISEMENT
Wassalam dan hormat, Eigenaar, B. Ismael Naim”
Ini merupakan bukti langka. Dan ini juga menandakan bahwa perantau Minang sudah meneyebar ke berbagai kota di pulau Jawa, selain di kota-kota besar seperti Batavia.

Pertunjukan Akrobat Pramusaji

Jika nasi Padang identik dengan ikonnya, rendang. Maka restoran Padang identik dengan pramusajinya yang unik, dan pada umumnya laki-laki. Keunikan tersebut dapat dilihat dari cara pramusaji menghidangkan makanan. Sebagian besar pramusaji akan membawa banyak piring makanan, biasanya bertumpuk-tumpuk dengan hanya menggunakan tangan. Di masa sekarang, hal tersebut lazim ditemukan di restoran yang cukup mentereng.
Dalam bahasa lokal, cara seperti itu disebut manatiang. Barang tentu, ini adalah suatu cara yang bertujuan untuk lebih menghargai waktu. Penyajiannya pun menjadi tontonan bagi para pengunjung, terkhusus yang dari luar daerah Minangkabau. Atraksi atau pertunjukan akrobat pramusaji tersebut merupakan keunikan tersendiri dari restoran Padang sekaligus menjadi daya tarik bagi pengunjung.
ADVERTISEMENT
Apa yang dipraktikkan oleh pramusaji tersebut merupakan bentuk kongkrit dari moto restoran Padang yaitu, “rancak diawak, katuju diurang”. Maksudnya ialah, si pramusaji diuntungkan dengan tidak terlalu sering mondar-mandir untuk mengambil hidangan disamping hemat waktu. Sedangkan bagi pembeli, mereka diuntungkan dengan tidak perlu menunggu terlalu lama untuk memilih lauk dan bisa segera untuk menyantap makanan. Sehingga, harmoni pun terjalin diantara kedua belah pihak.
Terkait pramusaji, mungkin ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan. Apakah ada pelatihan khusus untuk menjadi pramusaji di restoran Padang? Tentu saja tidak ada pelatihan khusus dalam hal tersebut. Lantas, seperti apa rahasia daibalik keahlian pramusaji dalam menating piring yang bertumpuk-tumpuk itu?
Tidak mudah untuk dikatakan. Dikarenakan sumber atau dokumen-nya sangat amat langka. Disisi lain, “Sejarah Minangkabau secara keseluruhan adalah sejarah yang galau, serba simbolik, tidak berterus terang”, (Maarif, 2013).Kendati demikian, rahasia tersebut dapat ditelusuri lewat tradisi lokal orang Minang.
ADVERTISEMENT
Di Minang, ketika ada acara syukuran, pernikahan dan semacamnya, peran menyajikan makanan dilakukan oleh laki-laki yang disebut sebagai sumando. Sumando ialah laki-laki yang bergabung dengan keluarga perempuan yang diikat dengan pernikahan (menantu laki-laki). Dari tradisi tersebut, secara tidak langsung mereka sudah dilatih dalam hal menyajikan makanan. Dari sini pula-lah muncul kreasi seperti membawa banyak piring, sebagaimana pramusaji di restoran Padang.

Kenapa Porsi Nasi Bungkus Lebih Banyak?

Hal yang tak kalah menjadi sorotan ialah, porsi nasi yang lebih banyak ketika dibungkus ketimbang makan di tempat. Hal tersebut sepertinya sudah menjadi rahasia umum. Di balik perbedaan tersebut, terdapat makna tersirat dengan tujuannya yang mulia, khusus bagi mereka yang membeli nasi bungkus.
Zaman dahulu, hanya golongan “borjuis” yang mampu makan di restoran Padang. Sedangkan, golongan “proletar” hanya mampu membeli nasi yang dibungkus untuk dimakan di rumah. Sehingga, untuk membantunya, pramusaji/pemilik restoran memberi porsi lebih agar bisa dimakan bersama seluruh anggota keluarga. Makna lainnya ialah, sebagai bentuk penghargaan kepada pembeli karena telah telah mengurangi beban pemilik kedai. Dalam ungkapan lain yaitu, “raso pareso” atau tenggang rasa.
ADVERTISEMENT