Konten dari Pengguna

Fanatisme dan Berdirinya Suatu Negara

Nirwansyah
Ketua Bidang Hikmah, Politik, dan Kebijakan Publik IMM Ciputat
31 Juli 2020 5:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nirwansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi peta dunia. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi peta dunia. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pasca-kemerdekaan, Indonesia baru berdiri dengan format anyarnya sebagai negara. Barang tentu, sebagai negara yang baru merdeka, kondisi Indonesia belum kondusif dan stabil. Pihak asing masih memiliki birahi untuk menjajah kembali dan melancarkan serangan ke Indonesia untuk yang kesekian kalinya. Terutama Belanda. Sehingga, diberlakukanlah wajib militer untuk mengantisipasi hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi logis dari pemberlakuan wajib militer ialah berpisahnya para pejuang dari keluarganya. Dengan kegigihan para pejuang, akhirnya Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia secara penuh pada tanggal 22 Juni 1949. Seminggu setelahnya, tepatnya pada tanggal 29 Juni para pejuang tersebut pulang kembali untuk berkumpul dengan keluarganya.
Dari hal tersebut, kita melihat betapa pentingnya peran keluarga dalam kemerdekaan dan mempertahankan bangsa ini. Keluarga menjadi pilar pertama dan utama dalam menanamkan rasa cinta terhadap tanah air. Sehingga, membangun keluarga yang harmonis dan merawat keluarga secara layak, sama artinya kita dengan merawat Indonesia yang tercinta ini.
Di samping itu, keluarga tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan atau fungsi ekonomi semata, tetapi terdapat fungsi-fungsi lain yang tidak kalah pentingnya. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 dan PP Nomor 21 Tahun 1994 menjelaskan bahwa minimal ada delapan fungsi yang harus dijalankan oleh suatu keluarga, yaitu fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, pendidikan, ekonomi dan fungsi pembinaan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Melihat uraian singkat di atas, peran keluarga sangat vital dalam proses terbentuknya suatu negara serta untuk mempertahankannya. Jika seandainya masing-masing keluarga tidak mengizinkan anggota keluarganya untuk berjuang membela tanah air, tak bisa dibayangkan apa yang akan menimpa bangsa ini. Sehingga, peran keluarga dalam suatu negara tak bisa dipandang sebelah mata.
Suatu keluarga terbentuk dari adanya ikatan atau pertalian darah dan secara alamiah akan tumbuh suatu sikap atau jiwa fanatisme. Mereka tidak akan terima apabila anggota keluarganya tersakiti atau dihinakan. Mereka akan saling melindungi bahkan bertaruh nyawa agar sesuatu yang buruk tidak menimpa keluarganya atau akan selalu siap melawan ancaman yang bisa datang kapan saja.
Hal ini disebabkan karena pertalian darah mempunyai kekuatan mengikat pada kebanyakan umat manusia, yang membuat mereka itu ikut merasa sakit setiap ada anggotanya yang sakit. Orang membenci penindasan terhadap kaumnya, dan dorongan untuk menolak tiap kesakitan yang mungkin menimpa kaumnya itu adalah sesuai dengan kodratnya dan tertanam pada dirinya (Khaldun, 2001).
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, ia mengistilahan hal tersebut dengan ashabiyah. Ashabiyah adalah sesuatu yang dihubungkan atas pertalian darah atau memiliki kesamaan karakter tertentu, baik itu kesamaan visi, misi, atau tujuan tertentu. Sehingga, ashabiyah tersebut menjadi landasan berdirinya suatu negara. Apabila ashabiyah memiliki fanatisme yang kuat, maka akan mampu untuk membangun, mempertahankan, dan memelihara suatu negara.
Jadi, ashabiyah yang ditopang dengan fanatisme yang kuat akan bermuara pada terbentuknya atau terpeliharanya suatu bangsa. Dengan kata lain, ashabiyah bisa disebut juga sebagai jiwa bangsa yang menjadi kekuatan penggerak Negara dan merupakan landasan tegaknya suatu negara atau dinasti. Sebab, kekuasaan hanya dapat diraih dengan penguasaan. Penguasaan ini hanya dapat dilakukan dengan fanatisme. Yakni kesamaan harapan untuk menyukseskan suatu tuntutan.
ADVERTISEMENT