Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Menakar Parameter Adat: Larangan Menikah di Antara Dua Hari Raya
8 Juli 2020 8:13 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Nirwansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menikah atau pernikahan merupakan sunnah Nabi yang sangat dianjurkan bagi manusia, lebih-lebih umat Islam. Maksud dan tujuannya pun sudah jelas. Selain untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang (zina), menikah juga bertujuan untuk membangun harmoni antara satu keluarga dengan yang lainnya secara lebih intens. Sehingga terjalinnya kehidupan, kekeluargaan, dan kekerabatan yang sakinah, mawadah, warahmah.
ADVERTISEMENT
Adapun tujuan lain dari menikah ialah untuk menjaga dan merawat nasab agar tidak punah. Terkhusus untuk umat Islam, menikah juga dumaksudkan untuk menambah kuantitas umat yang memeluk agama yang dibawa oleh rasul terakhir, Nabi Muhammada Saw. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang dikutip dari kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd yang berbunyi:
"saling menikahlah kalian, sesungguhnya aku bangga dengan jumlah kalian yang banyak di hadapan umat-umat lain”. (Shohih. HR. Ibnu Majah 1863).
Namun, terkait hukum menikah pun terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Diantara perbedaan pendapat terkait hukum menikah itu ialah ada yang menghukumi wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Disisi lain, terdapat pula larangan pernikahan. Setidaknya, dilarang menikahi orang-orang karena sedarah kandung, sepersusuan, dan sebagainya. Bahkan di daerah penulis, dilarang menikah dengan orang yang sukunya sama, meskipun itu orang jauh.
ADVERTISEMENT
Terkait larangan pernikahan, penulis menemukan suatu peristiwa atau kebiasaan, dimana dilarang menyelenggarakan pernikahan di antara dua hari raya. Yakni, menikah di antara pasca-hari raya idul fitri dan idul adha.
Hal ini terilhami ketika salah seorang abang sepupu menanyakan, adakah larangan menikah menjelang idul adha dalam ajaran Islam? Sontak, pertanyaan tersebut membuat penulis bertanya balik, apa alasan dari larangan tersebut? Lantas dijawab, banyak orang tua-tua atau para sesepuh yang mengatakannya.
Atas jawaban yang nir-argumen tersebut, lalu penulis mencari jawabannya menurut perspektif Islam. Selain itu, penulis juga menanyakan pertanyaan tersebut kepada salah seorang dosen yang juga menjadi Ketua MUI Bogor.
Larangan Pernikahan
Di dalam ajaran Islam larangan nikah itu secara tegas termaktub di dalam Al-Qur’an surah an-Nisa ayat 23. Dalam ayat ini larangan itu berkaitan dengan hubungan individu dengan individu yang lain, tidak berkaitan dengan waktu atau keadaan, kecuali memang dilarang oleh agama, misalnya pada saat ihram umrah atau haji, seseorang tidak boleh menikah atau menikahkan.
ADVERTISEMENT
Setidaknya yang dilarang dalam untuk dinikahi, yaitu; pertama, diharamkan karena nasab (keturunan). Kedua, diharamkan karena sesusuan. Ketiga, diharamkan karena mushaharah (bersemenda) yang terjadi oleh sebab pernikahan.
Dari ayat diatas jelas kiranya beberapa hal larangan dalam pernikahan. Namun, jika memang larangan menikah di antara dua hari raya itu merupakan kebiasann atau tradisi turun temurun, maka dalam Islam digolongkan pada ‘urf. Menyitir jawaban tim majelis tarjih Muhammadiyah, ‘urf yang diterima ialah kebiasaan yang membawa kemaslahatan dan senafas dengan Islam. Jika kebiasaan tersebut tidak senafas dengan Islam, maka mesti ditolak, meskipun diterima oleh orang banyak.
Terkait persoalan tersebut, melalui pesan singkat via WA, penulis mendapat afirmasi dari Ketua MUI Bogor, KH. Ahmad Mukri Aji. Jawaban beliau “dalam perspektif hukum Islam, baik di bulan Syawal pasca idul fitri atau di bulan Haji, melakukan akad nikah di dua bulan tersebut tidak ada masalah...”.
ADVERTISEMENT
Parameter Adat
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa masyarakat di desa/kampung masih jamak ditemui berbagai hal yang masih mengakar kuat pada masyarakat. Baik itu adat istiadat, tradisi, klenik, mitos ataupun sebangsanya.
Bukan bermaksud untuk menegasikan adat atau kebiasaan, namun kita perlu sedikit “radikal” dalam menyikapi sesuatu. Sehingga, kita tidak cepat menerima atau menolak (taklid) terhadap suatu hal, dalam hal ini larangan menikah di antara dua hari raya. Meskipun itu sudah mengakar kuat dan berkaitan dengan kebiasann masyarakat setempat.
Ada pepatah Minang yang mengatakan bahwasannya adat itu “indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan”. Dalam bahasa Indonesia, yaitu adat “tidak akan lekang karena panas, dan tidak akan lapuk karena hujan”. Dengan kata lain, adat ialah sesuatu yang hidup secara perenial.
ADVERTISEMENT
Namun, apabila larangan menikah tersebut merupakan adat yang tidak senafas dengan Islam, maka mesti ditinggalkan dan dimasukkan dalam museum sejarah untuk selama-lamanya. Karena memang sudah tidak layak untuk dilestarikan.
Bukankah falsafah adat minangkabau itu “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah?”. Dimana adat harus bersandarkan pada ajaran syariat Islam. Hal ini dipertegas lagi dengan mamangan “adaik bapaneh, syarak balinduang”. Maksudnya ialah, adat itu sebagai tubuh dan syariat Islam itu sebagai jiwa. Artinya, adat dan syariat yang dimaksud dalam mamangan tersebut merupakan sesuatu yang inheren.
Lanjutan mamangan tersebut, “syarak mangato, adaik mamakai”, Maksudnya, syariat Islam memfatwakan atau memberi rambu-rambu terkait hal yang diperintahkan dan yang dilarang. Sedangkan, adat merupakan implementasi darai apa yang sudah difatwakan. Sehingga, diharapkan adanya keselerasan antara fatwa dan perilaku.
ADVERTISEMENT
Jika demikian adanya, parameter yang benar dalam mengukur sesuatu yang menyangkut adat adalah parameter Islam yang dipahami secara benar sesuai dengan realitas zaman yang sedang dihadapi (Maarif , 2013). Jika adat bertentangan dengan Islam, maka boleh saja hal itu diubah bahkan ditinggalkan. Tidak ada dosa sejarah dengan mengambil sikap semacam ini.
Dus, dapat disimpulkan bahwasannya tidak ada larangan menikah apabila dilaksanakan di antara dua hari raya dalam ajaran Islam. Jika itu menyangkut adat istiadat, hendaknya ditinjau kembali, apakah adat tersebut sudah selaras atau bertentangan dengan ajaran syariat. Sebab, adat yang tidak senafas dengan Islam, maka boleh saja hal itu untuk tidak dipelihara.