Konten dari Pengguna

Perilaku Korupsi dan Solusi

Nia Kaniasari
ASN Kementerian Pertanian. Pegiat Sosial Kemasyarakatan. Founder Komunitas Rumah Anak Asuh LCC. Salah satu PJ Yayasan Peduli Squad (YPS) di Sumbagsel. Menulis lebih dari 22 Buku Antologi.
30 Desember 2024 12:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nia Kaniasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tak habis-habisnya berita korupsi muncul. Ibarat tanaman, korupsi bak gulma yang tumbuh subur dan tak terkendali. Belum selesai satu kasus korupsi, hadir lagi kasus berikutnya.
ADVERTISEMENT
Sendi-sendi birokrasi rusak dan porak poranda. Inilah salah satu dampak dari jahatnya perilaku korupsi. Wajar jika di beberapa negara, pemerintahannya menghukum “keji” para koruptor. Mungkin seharusnya, Indonesia harus memulai sistem hukum seperti itu juga. Sistem hukum yang tegas dan tak pandang bulu.
Beberapa kasus korupsi yang sangat menyita perhatian belakangan ini salah satunya yaitu kasus korupsi yang secara massif dan terang-terangan yang dilakukan Syahrul Yasin Limpo (SYL) beserta keluarga dan koleganya.
Perilaku korupsi mereka telah menghancurkan tatanan birokrasi di Kementerian Pertanian. Tidak hanya itu, proses panjang WTP Kementerian Pertanian pun harus mulai lagi dari nol, karena efek dari korupsi SYL ini. Bayangkan ada berapa banyak keluarga pegawai Kementerian Pertanian yang menantikan kenaikan 100% (persen) tunjangan kinerja suami atau istrinya, tetiba harus gigit jari. Proses WTP harus mulai lagi dari awal, 4 (empat) kali WTP langsung sia-sia.
ADVERTISEMENT
Sebegitu "hebatnya" SYL beserta keluarga besarnya hingga membuat pejabat dan staf di Kementan tidak sanggup berkutik. Beberapa yang berani untuk speak up langsung di-nonjob-kan atau langsung mutasi. Pengancaman itu pun, katanya, tidak hanya untuk pejabatnya tapi juga ke staf-staf yang “tidak loyal” ke SYL dan geng-nya. Mulai dari istri, anak, menantu, cucu, adik, bahkan keluarga besarnya ikut terlibat dalam kasus korupsi.
SYL melakukan korupsi dengan motif tamak. Iya, tamak alias serakah. Selama persidangan, SYL dan keluarganya pun tidak berterus terang atau berbelit belit dalam memberikan keterangan. SYL dan kroninya melakukan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan) pada periode 2020–2023. Menyalahgunakan kekuasaannya dengan memaksa meminta pemberian uang atau barang dan menggunakannya untuk kepentingan keluarganya.
KPK masa penggeledahan kasus korupsi SYL di Kementan (dok : pribadi)
Korupsi yang dilakukan SYL ini juga bersifat “terstruktur dan masif” karena jejaring korupsinya luas, melibatkan banyak pihak, dan tata cara ciamik serta memeras bawahan-bawahannya agar mendanai kepentingan pribadinya. Bahkan mungkin para "koruptor" di Kementan belajar korupsi dari mereka. Hingga para pejabat yang bekerja di bawahnya pun lebih memilih untuk bungkam karena khawatir kehilangan jabatan. Ketakutan itu nyata di Kementan. Terlihat dari bagian Keuangan "kelimpungan" menghadapi masa buruk ini. Kecuali mungkin, para pihak yang ikut menikmati hasil korupsi.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya KPK sudah menyampaikan bahwa pegawai yang melapor dilindungi oleh hukum. Sehingga, seharusnya pegawai Kementan tidak perlu takut. Namun, adanya “ancaman” yang dilakukan oknum pejabat Kementan yang memiliki kuasa lebih tinggi berhasil membungkam bawahan-bawahannya. Sehingga mereka akhirnya terjerat ke dalam tindak pidana itu sendiri meskipun menyadari bahwa itu merupakan pelanggaran.
Lantas, mengapa korupsi macam ini masih marak di sistem pemerintahan khususnya Kementan? Apa penyebabnya?
Pertama, keserakahan dan kesempatan. Menurut Jack Bologne dalam Teori GONE : Greed + Opportunity + Need + Expose. Faktor-faktor penyebab korupsi adalah keserakahan (Greed), kesempatan (Opportunity), kebutuhan (Needs), dan pengungkapan (Expose). Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi. Organisasi, instansi, atau masyarakat luas dalam keadaan tertentu membuka faktor kesempatan melakukan kecurangan.
ADVERTISEMENT
Suka atau tidak, budaya konsumtif masyarakat adalah salah satu penyebab maraknya korupsi di negeri ini. Saat ini, seseorang dinilai dan dihormati bukan dari tingkah laku dan prestasi, melainkan dari yang dipakai dan dari penampilannya.
Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri juga sebagai pemicu. Penghasilan di banding dengan kebutuhan sehari-hari yang semakin lama semakin meningkat. Faktor ekonomi ini dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Namun, fakta juga menunjukkan bahwa korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-pasan.
Lalu, persaingan karier yang tidak sehat mendorong individu untuk melakukan segala cara, termasuk korupsi, demi mencapai tujuan.
Selain itu, ketidakberesan manajemen, emosi mental pegawai, dan gabungan beberapa faktor internal individu serta eksternal lainnya.
Termasuk, lemahnya kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi, kurangnya pengajaran-pengajaran agama dan etika, kurangnya pendidikan, tiadanya hukuman yang keras dan tegas.
ADVERTISEMENT
Kelemahan dalam sistem hukum dan penegakan hukum ini dapat menciptakan lingkungan di mana pelaku korupsi merasa bahwa risiko hukuman rendah atau hukuman yang tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan.
Apa solusi agar tidak terjadi korupsi?
Hiduplah sesuai kemampuan. ASN dan terutama para pejabatharus hidup sesuai dengan penghasilan yang didapatkan. Masuk akal antara pemasukan dan gaya hidup. Salah satu hal yang mendorong perilaku korupsi adalah tidak merasa cukup dan bergaya hidup yang tidak wajar, atau melebihi dari kemampuan. Harus selalu bersyukur. Ini yang paling penting, eling pribadi.
Lalu diperkuat dengan manajemen kantor yang baik dan kuat. Pengawasan tidak dilakukan secara tebang pilih. Harus menyeluruh di setiap bagian. Ini harus diperkuat dengan menaikkan pendidikan dan kesadaran semua pegawai dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pentingnya penguatan hukum dan penegakan hukum yang ditopang dengan transparansi dan partisipasi aktif semua pihak.
Jangan sampai korupsi mengakibatkan dampak negatif yang jauh lebih besar lagi selain melambatnya pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan menurunnya investasi yaitu menghalau percepatan swasembada pangan.