Konten dari Pengguna

Sagihan: Tradisi Lebaran Ketupat Masyarakat Muslim Bali

Noor Fatimah Albirkah
Mahasiswa universitas Padjadjaran
5 Juli 2024 10:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Noor Fatimah Albirkah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masjid Baiturrahman, Kampung Islam Bugis Angantiga
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Baiturrahman, Kampung Islam Bugis Angantiga
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masjid itu gagah bertengger di tengah pemukiman masyarakat muslim minoritas. Dengan kubah dan juga dua menara di depannya yang tegak menghadap ke jalan raya, bagai raja yang dikawal oleh dua prajuritnya.
ADVERTISEMENT
Bernuansa putih dan hijau dengan sentuhan kuning keemasan, memberikan kesan teduh dan ramah. Bila dilihat dari beberapa meter ketinggian, masjid tersebut menjadi satu-satunya ikon yang bisa menandakan bahwa kehidupan umat muslim masih menggeliat di tanah dengan mayoritas penduduk beragama Hindu.
Masjid itu adalah masjid Baiturrahman. Masjid kepunyaan masyarakat muslim minoritas, tempatnya di Kampung Islam Bugis Angantiga, Kec. Petang, Kab. Badung, Bali.
Bangunan dengan 2 lantai yang telah diresmikan pada 26 September 2023 oleh Bupati Badung, I Nyoman Giri Prasta. Setelah mengalami renovasi bertahap dimulai sejak tahun 2018.
“2018 mulai renovasinya. Cuma kan, karena bertahap jadi ada jeda nya gitu,” jelas Yuna (28), salah satu penduduk Kampung Angantiga.
Mengutip laman website resmi Kesekretariatan Daerah Kabupaten Badung, Masjid Baiturrahman mendapat saluran dana anggaran hibah sebesar 4,1 miliar untuk renovasi di tahun 2018 dan 2022.
ADVERTISEMENT
Di tempat itulah satu-satunya azan terdengar ketika waktu salat telah tiba. Berbeda dengan di Pulau Jawa yang ketika memasuki waktu sembahyang, masjid-masjid saling bersahutan mengumandangkan panggilan Ilahi.
Itulah mengapa, masjid Baiturrahman menjadi pusat umat muslim Kampung Angantiga beraktivitas. Mulai dari salat lima waktu, tempat belajar dan mengajarkan Al-Qur'an bagi anak-anak dan warga setempat, hingga tempat perayaan-perayaan tradisi hari raya besar umat Islam.
Saat bulan Ramadan tiba, masjid selalu makmur dipenuhi baik orang dewasa maupun anak-anak. Di sana hiruk pikuk aktivitas ibadah tercium dengan pekat.
Agenda buka puasa bersama selalu dilaksanakan. Pengurus kampung biasanya menempelkan daftar nama kepala keluarga untuk giliran shodaqoh takjil. Maka, setiap jelang berbuka, makanan akan selalu tersedia untuk jemaah yang hendak berbuka di masjid.
ADVERTISEMENT
Malamnya akan semakin riuh oleh salat tarawih yang selalu berhasil membuat masjid penuh. Setelah salat tarawih, diagendakan tadarus dengan pengeras suara sehingga bacaan mengaji para tetua kampung masih mengalun hingga menjelang larut.
“Sekarang dari selesai tarawih kurang lebih jam 9, tadarusan sampai jam 10-an lah, yang tua-tua sih kebanyakan, yang remaja ada kadang-kadang kalo mereka nggak lagi pada kerja di Denpasar,” ujar Yuna.
Pada Hari Raya Idul Fitri, rangkaian tradisi telah dilaksanakan dari malam hari raya Lebaran, yaitu malam takbiran. Kampung Angantiga gegap gempita dengan suara takbir yang bersumber dari masjid. Baik tua baik muda, bergantian menguasai mic untuk bertakbir.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Kampung Islam Angantiga juga berbahagia atas Hari Raya Lebaran. Sebagaimana muslim mayoritas di tanah Jawa. Tak kurang satu apa pun.
Saat riuh rendah berlebaran telah reda, aroma rendang dan opor mulai pudar. Kehidupan umat muslim di Indonesia kembali seperti sedia kala. Beberapa hari setelah hari raya Idul Fitri, dapur-dapur di Kampung Angantiga kembali mengepulkan asap.
Tepat tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Kampung Angantiga masih merayakan satu tradisi hari raya lagi, yaitu hari raya Ketupat atau yang biasa disebut Lebaran Ketupat.
Lebaran Ketupat dinyatakan sebagai tradisi masyarakat Jawa di mana sebagai tanda bahwa telah dilaksanakannya puasa sunnah bulan Syawal selama enam hari.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaanya berupa memanjatkan serangkaian doa dan makan bersama-sama di masjid, musala, ataupun lapangan. Dengan tentunya dilengkapi hidangan ketupat dan menu pendamping yang khas seperti opor, rendang, dan sayur lodeh.
Rupanya, tradisi tersebut tak hanya dilakukan masyarakat Jawa. Masyarakat Kampung Angantiga juga melaksanakan tradisi tersebut.
Fiki (26) adik Yuna juga ikut melengkapi, dia mengatakan tradisi Lebaran Ketupat dirayakan dengan melakukan makan bersama-sama di masjid Baiturrahman. “Iyaa bawa sagihan. Nampan isi makanan. Nanti tausiah, doa bareng, dan makan bareng-bareng.”
Sagihan adalah pengucapan untuk nampan makanan yang telah berisi hidangan ketupat dan juga lauk-pauk.
“Yaa isinya ya ketupat, opor ayam, rawon, sapi serundeng,” ujar Yuna.
Sagihan yang dibawa warga desa Angantiga
Pagi hari, pukul 8 pada hari ke-8 Syawal, rumah-rumah akan kosong untuk sementara. Kepala keluarga beserta istri, anak, hingga sanak saudara yang tinggal dalam satu rumah akan berangkat menuju masjid.
ADVERTISEMENT
Nampan-nampan sagihan diletakkan terlebih dahulu di tengah masjid. Masyarakat duduk di sisi-sisi mengitari ruangan. Acara diawali dengan tausiyah dan doa.
“Itu sebelum mulai makan ada doa-doa dulu kan kak, biasanya siapa yang baca doa kak?”
“Ada, ada. Kek Haji Muhdin,” jawab Yuna.
Kek Haji Muhdin, begitu orang-orang akrab menyapa beliau. Salah seorang tokoh kampung yang langganan ditunjuk untuk memanjatkan doa. Saat doa-doa dipanjatkan, masyarakat takzim mengaminkan doa tersebut.
Saat tiba waktunya, setelah doa-doa dirampungkan, warga mulai mengambil sagihan yang dibawa masing-masing. Masjid akan dipenuhi lingkaran-lingkaran kecil yang berisi hidangan nampan di tengahnya.
Keluarga Yuna dan Fiki berkumpul dan mulai menyantap sagihan yang dibawa.
Tradisi Lebaran Ketupat, bukan hanya sebagai pertanda telah selesai puasa sunnah Syawal. Lebih dari itu, menjadi ajang silaturahmi dan semakin mempererat hubungan serta menguatkan antara satu dengan yang lain.
ADVERTISEMENT
Hal ini diakui Qisthi (20) yang tinggal di Sleman Yogyakarta, tepatnya di desa Sidomoyo, kecamatan Godean, Sleman, Yogyakarta.
Qisthi merespon saat diberitahu bahwa masyarakat muslim minoritas di Bali masih merayakan lebaran ketupat dengan berkumpul dan makan bersama di masjid. “Hoo bisa jadi gini, jadi bondingnya lebih dapet ya.”
Rupanya, di Jawa sendiri, tradisi makan bersama-sama di masjid atau lapangan hampir tidak lagi dilakukan oleh masyarakat. Qisthi mengatakan dirinya merayakan lebaran ketupat, akan tetapi tidak berkumpul di masjid, musala, atau lapangan-lapangan.
“Makan sama keluarga aja. Kalo tetangga biasanya kunjungan rumah gitu ga sampe makan berat si,” ungkap Qisthi.