Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Pemimpin Ideal Generasi Z dalam Mewujudkan Masyarakat Ideal
8 Desember 2022 16:15 WIB
Tulisan dari Nova Yustika Putri Sinaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konsep masyarakat ideal atau madani mungkin terdengar kuno karena telah ramai dibahas pasca orde baru dengan banyaknya buku bahkan kepada diskusi forum kecil. Selain itu, konsep dan paradigma masyarakat madani seringkali hanya dianggap sebagai kerangka teoritis kaum pembaharu masa lalu (Tabrani, 2016).
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, masyarakat madani menjadi penting untuk dibahas di tengah kondisi gejolak percepatan teknologi dengan tujuan membentuk karakter masyarakat yang independen dan sesuai dengan adat budaya serta dasar negaranya, berintelektual, bermoral, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan moderat dalam bermasyarakat (Amaliyah, R. & Lutviatiani, M., 2022).
Masyarakat ideal atau madani identik sebagai konsep dan paradigma atas pembaharuan dari pemikiran feodal ke pemikiran yang lebih modern sehingga masyarakat ideal menjadi impian setiap orang yang menginginkan konsep kehidupan berkembang secara alamiah tanpa ada tekanan-tekanan (Syamsi, 2010).
Masyarakat madani pertama kali muncul dari pernyataan Anwar Ibrahim sewaktu menjabat sebagai perdana menteri Malaysia di sebuah seminar pada tahun 1995 di Masjid Istiqlal Jakarta. Ibrahim menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur dengan berprinsip menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan stabilitas masyarakat.
ADVERTISEMENT
Seperti dikutip dari Tabrani, 2016, Ibrahim mengatakan,
Ketika berbicara mengenai masyarakat madani maka kita berbicara mengenai kebebasan ruang publik, demokratis, toleransi, pluralisme, keadilan sosial dan berkeadaban.
Cita-cita besar mewujudkan masyarakat madani sebagai struktur masyarakat ideal membutuhkan perjuangan khususnya di era new media dan lahirnya generasi celik teknologi yaitu generasi Z. Beberapa penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa setiap orang yang lahir pada tahun 1995 sampai 2010 disebut generasi Z atau generasi pasca milenial (Brown, 2020; Francis & Hoefel, 2018; Linnes & Metcalf, 2017).
ADVERTISEMENT
Generasi Z sering kali dianggap generasi yang unik dengan karakternya. Menurut penelitian yang dilakukan McKinsey (2018), generasi Z memiliki empat jenis karakter yang signifikan dari generasi sebelumnya. Pertama, generasi Z menghargai segala bentuk ekspresi (The Undefined ID), sangat inklusif dalam berbagai kegiatan komunitas terutama yang berperan dalam teknologi komunikasi (The Communaholic), percaya pentingnya komunikasi dalam penyelesaian konflik dan perubahan datang melalui dialog (The Dialoguer), serta lebih realistis dan analitis dalam pengambilan keputusan dibandingkan dengan generasi sebelumnya (The Realistic).
Lahir di tengah kondisi serba canggih atas kehadiran teknologi, menurut Max Mihelich (2013) generasi Z cenderung lebih tidak sabar dan berorientasi proses yang instan. Selain itu, generasi Z kurang berambisi dan haus akan perhatian karena bergantung pada teknologi. Mereka dikenal dengan sikap yang individualistis, lebih banyak menuntut, serakah, materialistik, dan menganggap dirinya yang paling berhak atas segala sesuatu.
ADVERTISEMENT
Generasi Z memiliki kesadaran dan kepekaan informasi terhadap berbagai isu sehingga menumbuhkan karakter yang kreatif, inovatif namun sensitif. Mereka juga tidak malu untuk menyuarakan pendapatnya sehingga bukan tidak mungkin mengubah atmosfer lingkungan kerja yang diisi dengan generasi sebelumnya.
Menurut Rachmawati (2019), generasi yang lebih muda tidak dapat bersosialisasi dengan sempurna karena adanya tembok atau kesenjangan nilai-nilai ideal yang diajarkan oleh generasi yang lebih tua. Perbedaan generasi dalam lingkungan kerja bukan tidak mungkin menjadi gap yang berpotensi menjadi masalah dalam lingkungan tersebut. Banyak peristiwa miscommunication atau salah paham terjadi di lingkungan kerja.
Menurut Parengkuan & Tumewu (2020), para pekerja senior kerap mengatakan bahwa generasi di bawah mereka terlalu cuek, kurang sopan, dan kurang bisa menempatkan diri. Sementara mereka yang muda mengatakan bahwa generasi di atas mereka sangat mudah terbawa perasaan atau biasa mereka sebut baper. Salah satu contoh keculnya ialah penggunaan sapaan yang biasa digunakan generasi Z yaitu “lo-gue” atau “kalian” untuk menyapa generasi yang lebih tua.
ADVERTISEMENT
Gesekan dalam generasi memang tidak bisa dihindari, akan tetapi kesenjangan generasi juga memiliki sisi positif. Adanya beragam generasi mampu membangkitkan dinamisme dalam organisasi atau perusahan karena organisasi yang terdiri dari satu generasi saja cenderung akan statis dan tidak bertahan. Yang perlu diperhatikan, proses transisi ini membutuhkan navigasi dan mediasi antargenerasi. Langkah yang dapat dilakukan adalah dengan komunikasi yang baik, dengan menciptakan ruang untuk mengadopsi karakteristik masing-masing generasi.
Karakter generasi Z yang progresif dengan sosok pemimpin yang konservatif membuat sang pemimpin harus berubah dan menyadari bahwa progresivitas diperlukan dalam perusahaan sehingga dia memberi ruang kepada anak buahnya. Jika terdapat hal yang kurang disetujui maka pemimpin dapat memberi ruang, mendengar dan menampung setiap aspirasi dan pendapat bawahannya, bukan dengan memotong langsung pembicaraan (Parengkuan, E. & Tumewu, B., 2020).
ADVERTISEMENT
Tak dapat dipungkiri, pengaruh kuat globalisasi bagi generasi Z nampaknya menggambarkan kondisi yang mengkhawatirkan. Ragamnya informasi dan kebaruan yang diterima generasi Z membuat para tokoh bangsa merasa bahwa ada sesuatu yang hilang dari anak bangsa.
Oleh karenanya perlu ditingkatkan kembali pembangunan jati diri dan karakter bangsa yang dimaksudkan untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai luhur seperti cinta tanah air, solidaritas sosial, dan keramahtamahan yang menjadi identitas budaya sehingga dapat merekatkan persatuan bangsa. Menurut Alisjahbana, (2010) di akhir tahun 2024 sumber daya manusia diharap sudah berkarakter cerdas, tangguh, kompetitif, berahlak mulia, bermoral, berfalsafah Pancasila, beragama, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, bergotong royong dan berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
ADVERTISEMENT
Hal ini pun sejalan dengan cita-cita masyarakat madani yakni membentuk karakter masyarakat yang independen dan sesuai dengan adat budaya serta dasar negaranya, berintelektual, bermoral, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan moderat dalam bermasyarakat. Salah satu wahana untuk mencapai kepemimpinan di era teknologi dalam mewujudkan masyarakat madani dirancang melalui pembentukan karakter bangsa sebagai salah satu perwujudan masyarakat madani.
Pendidikan karakter bangsa sifatnya pervasif. Artinya, tidak seketika atau instan, tetapi perlu waktu yang cukup lama melalui lingkungan, kontrol dan teladan. Salah satu hal yang wajib dilakukan dan yang mungkin bisa dilakukan sebagai warga negara dari unit terkecil dalam suatu masyarakat, adalah berbuat yang terbaik sesuai hak yang dimiliki tanpa harus merugikan pihak lain dan selalu bertanggung jawab terhadap kewajiban sebagai individu, masyarakat, dan warga negara Indonesia. Memahami, dan menerapkan konsep hak dan kewajiban dengan benar, akan membawa bangsa ini ke arah yang kita inginkan bersama.
ADVERTISEMENT