Konten dari Pengguna

Film The Lion King: Transisi Dari Animasi ke Live Action

Stevanus Novandito Suhartana
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Atma Jaya Yogyakarta
31 Oktober 2024 14:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Stevanus Novandito Suhartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Pribadi
ADVERTISEMENT
Teknologi Virtual Reality kembali digunakan pada adaptasi film The Lion King, yang awalnya merupakan film animasi menjadi film live action. Film The Lion King Live Action menghidupkan kembali kisah ikonik Simba dengan membawa penonton dalam petualangan secara langsung di Savana Afrika.
ADVERTISEMENT
Transisi pada film The Lion King dari animasi ke Live Action, membuat penonton dapat merasakan keajaiban Savana Afrika, menjelajahi hutan dan berinteraksi dengan karakter-karakter ikonik seperti Simba dan Mufasa dengan Teknologi Virtual Reality.
Film The Lion King (1994) menjadi salah satu film Disney yang berkembang seiring adanya perkembangan teknologi yang ada. Walt Disney Feature Animation mengaplikasikannya melalui teknologi virtual reality. Teknologi yang yang sudah dinantikan penggemar selama 25 tahun, akhirnya tuntas. Simba sebagai karakter utama kembali ke layar lebar dengan versi live action.
The Lion King (2019) hanya mendapatkan rating sebesar 6.8/10 dari para penggemarnya (IMDb, 2019). Berbeda dengan rating film animasi The Lion King (1994) yang mendapatkan rating 8.5/10 yang menunjukan bahwa penggemar lebih menyukai film animasi The Lion King dibandingkan film live action.
ADVERTISEMENT
Menjadi sebuah tantangan serta tuntutan bagi Disney yang sudah mengadaptasi film-film animasi ke bentuk live action seperti film Beauty and The Beast (2017), Cinderella (2015), Alladin (2019) dan Alice in Wonderland (2010) namun mendapat rating yang rendah pada film The Lion King (2019).
Teknologi yang Digunakan
Film The Lion King (2019) menggunakan teknologi yang canggih dan menjadi pelopor dalam pengunaan teknologi virtual reality yang memungkinkan untuk mengeksplorasi dunia dalam virtual reality (VR) untuk merasakan berada langsung di lokasi. Dalam proses ini, Disney mengatur sudut kamera atau pencahayaan dengan lebih presisi. Dalam produksi film live action, kameramen bisa benar-benar terjun ke dunia The Lion King dan berdiri berdampingan dengan singa buatan komputer, dan bukannya hanya duduk di depan komputer dan mengerjakan semuanya.
ADVERTISEMENT
Teknologi non tradisional yang digunakan dalam pembuatan suara film The Lion King (2019), biasanya berbicara di depan mikrofon, di film ini merekam suara para aktor dengan yang namanya “black box theatre”. Memberikan ruang, para aktor dapat leluasa berjalan, berinteraksi dengan aktor lain, bahkan membuat improvisasi, sehingga didapatkan hasil rekaman yang lebih emosional.
Melalui film animasi yang berkembang menggunakan teknologi digital mampu membuat film The Lion King (1994), tetap memiliki penggemar walaupun selang pembuatan film live action tergolong lama, kesan yang diberikan melalui rating dapat menunjukan bahwa film The Lion King (2019), masih kalah dibandingkan dengan yang animasi, penggemar mengetahui bahwa film The Lion King (1994) pertama merupakan pelopor film tersebut dan masih menggunakan animasi berupa hewan yang ditampilkan pada visualnya.
ADVERTISEMENT
Tantangan pembuatan live action di kritik oleh kritikus yang mengatakan bahwa "hasilnya memang mengesankan. Visualisasi film The Lion King ini terlihat sangat nyata. Para kritikus sampai bingung untuk menyematkan genre live action atau animasi. Karena semuanya memang serba komputer." (Dianto, Edwin, 2019). Film tersebut menarik penggemar karena selain mengusung teknologi canggih, Disney juga mendatangkan banyak bintang Hollywood papan atas sebagai pengisi suara The Lion King. Mulai dari Seth Rogen, Chiwetel Ejiofor, Donald Glover, hingga Beyonce Knowles-Carter.
Ditulis oleh : Stevanus Novandito Suhartana (Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta).