Konten dari Pengguna

Separuh Jiwaku Pergi bersama 'Avengers: Endgame'

Novianti Putri
Personal writing and not related to advertorial. Mostly about superhero, badminton, traveling, and food.
7 Juli 2019 14:10 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Novianti Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Film 'Avengers: Endgame' dari Marvel. Foto: Marvel
zoom-in-whitePerbesar
Film 'Avengers: Endgame' dari Marvel. Foto: Marvel
ADVERTISEMENT
Entah sebuah kebetulan atau bukan, tapi sejak kecil gue memang sudah lekat dengan dunia superhero. Jauh sebelum dielu-elukan oleh banyak orang seperti saat ini, gue sudah diperkenalkan dengan dunia superhero, tepatnya film Batman and Robin pada tahun 1997—empat tahun setelah gue lahir pada 1993.
ADVERTISEMENT
Aneh. Bagaimana seorang anak kecil bisa diperkenalkan dengan dunia superhero? Dan bagaimana juga seorang anak kecil bisa mengerti? Well, tentunya enggak langsung ngerti, tapi yang jelas saat itu gue cukup menikmati dan mengagumi para jagoan DC—Batman, Robin, dan Batgirl—melawan penjahat utamanya, Mr. Freeze dan Poison Ivy.
Seperti anak kecil kebanyakan, kita selalu mengagumi sosok superhero tanpa tahu background mereka. Ya… yang namanya anak kecil, yang penting punya sosok pembasmi kejahatan yang bisa jadi panutannya juga sudah seneng.
Jadi saat kecil, enggak ada tuh yang namanya gue mengerti apa itu Marvel dan DC. Semuanya sama, pukul rata, yang penting aku bahagia.
Ilustrasi Marvel vs DC. Foto: deviantart.com
Entah ini merupakan sebuah kebetulan lagi atau tidak, ataau Tuhan memang sudah menuliskannya sedemikian rupa, gue pun tumbuh besar dengan film-film dengan tokoh superhero, seperti Spider-Man, X-Men, Wolverine, dan lainnya. Namun tetap, saat itu gue masih jadi penikmat film saja. Tidak baca komik, tidak ikut komunitas, hanya penonton saja.
ADVERTISEMENT
Maksud hati sebenarnya ingin lebih dalam masuk ke dunia superhero, tapi sayangnya, di Indonesia agak susah untuk mendapatkan akses komik Marvel dan DC. Jikalau ada, harganya pasti mahal—dan itulah yang terjadi hingga detik ini.
Tapi untungnya, saat ini pencinta superhero di Indonesia bisa dengan mudah mengakses berbagai komik secara online. Thanks a lot, internet!
Di dunia perfilman, masa keemasan superhero sempat datang ketika SONY Pictures merilis film perdana Spider-Man. Kesuksesan tersebut diikuti oleh beberapa film superhero lain yang turut mencoba peruntungannya.
Namun, lambat-laun, film superhero kembali meredup, hingga akhirnya Iron Man pertama dirilis pada tahun 2008—di tahun yang sama dengan perilisan The Dark Knight.
Buat gue pribadi, Iron Man dan The Dark Knight menjadi titik balik kebangkitan film bergenre superhero. Sementara bagi Marvel sendiri, Iron Man merupakan awal dari universe mereka—Marvel Cinematic Universe (MCU). Hadirnya Iron Man tidak hanya menjadi titik awal Marvel dengan universe yang akan dibangunnya, tetapi juga titik awal gue untuk lebih mendalami dunia superhero.
Adegan film 'Iron Man' (2008) Foto: IMDb
The Dark Knight. Foto: Polygon
Sejak saat itu, petualangan gue dimulai. Gue mulai ‘gila’ dengan berbagai hal yang ada hubungannya dengan superhero. Gue mulai menghabiskan waktu seharian di kamar hanya untuk baca komik, keluar rumah seharian untuk ngumpul sama teman-teman komunitas, hingga menyisihkan sedikit demi sedikit uang jajan untuk mengumpulkan berbagai merchandise.
ADVERTISEMENT
Semua kegiatan tersebut tidak gue lakukan secara tiba-tiba. Sebenarnya, ada sebuah kejadian dalam kehidupan pribadi yang cukup memukul, hingga akhirnya membuat gue sangat-sangat-sangat down.
Jujur, saat itu gue enggak punya pegangan hidup dan tidak tahu harus berbuat apalagi. Tapi entah kenapa, ada sebuah rasa berbeda ketika gue nonton Iron Man, dan membuat gue berpikir, “oke, lo perlu distraksi, dan ini adalah distraksi yang baik.”
Jadi sebenarnya, awal perkenalan gue dengan dunia superhero adalah karena ingin menjadikan ‘dunia tersebut’ menjadi tempat pelarian, di tengah dunia nyata yang gue jalani berjalan tidak seperti yang semestinya.
Ya, menjadi bagian dari sebuah komunitas Marvel, menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk membaca komik, mengurung diri di kamar untuk memutar kembali film-film yang sudah tayang, semua itu menjadi penawar yang selalu gue gunakan di kala hantaman masalah datang.
ADVERTISEMENT
Saat masalah datang, bagi gue, hanya sosok-sosok superhero itulah yang menjadi pengalihan dan mengembalikan kewarasan dalam diri. “It turns out, they really become a real superhero, at least for me. They help me to get up and to be alive again.”
Poster Avengers: Endgame
Sekarang, mari kita mengerucut ke pembahasan Avengers: Endgame. Ya, setelah kurang lebih 11 tahun dan memproduksi 22 film, MCU akhirnya sampai pada film pemungkasnya yang menjadi penutup dari Infinity Saga: Iron Man (2008) hingga Captain Marvel (2019).
Avengers: Endgame menjadi film yang paling ditunggu-tunggu seantero jagat raya. Tidak heran, kalau sejak hari pertama penjualannya, tiket selalu habis dan banyak bioskop yang rela menambah jam tayangnya. WOW!
Tidak hanya menjadi penutup Infinity Saga, film ini juga menjadi jawaban dari bagaimana cara menyelamatkan para superhero yang hilang karena jentikkan jari Thanos di Avengers: Infinity War, hingga bagaimana nasib MCU ke depannya.
ADVERTISEMENT
Sejak tahu Avengers: Endgame akan menjadi seri pemungkas, gue sudah mempersiapkan diri untuk patah hati. Karena gue yakin, bakal ada setidaknya satu atau lebih dari karakter utama yang mati.
Di awal, tebakan gue hampir 60 persen jatuh kepada Captain America. Mengapa? Alasan pertama, Chris Evans melalui Twitter-nya sudah mengumumkan kalau dia akan pensiun menjadi Captain America. Kedua, setahu gue kontrak Evans memang habis di 2019.
Tebakan gue lainnya juga jatuh kepada Iron Man. Namun, tebakan ini sempat gue urungkan karena ada isu yang mengatakan kalau Robert Downey Jr. masih membuka peluang untuk memperbarui kontraknya dengan Marvel. Plus dengan adanya Spider-Man di MCU, desas-desus Tony Stark menjadi mentor New Avengers pun semakin kuat.
ADVERTISEMENT
Membaca desas-desus cantik yang dibuat oleh teman-teman geek, gue pun bahagia. “Yes, bisa jadi bapak gue (Tony Stark) enggak mati nih!”
Iron Man di Endgame
Saat memasuki theater di hari pertama penayangan Avengers: Endgame, asli jantung gue deg-deg-an. Jujur gue enggak siap dengan apa yang akan gue saksikan tiga jam ke depan. Dan bener aja, paruh akhir Avengers: Endgame membuat gue menangis sesenggukan. Tapi, ada nangis bahagia dan nangis yang bener-bener nyelekit, sakit, nyesss dalam hidup gue.
Tangis bahagia sudah pasti saat semua superhero di MCU berkumpul menjadi satu di final battle untuk melawan Mad Titan, Thanos. Saat satu-persatu mereka muncul, gue langsung menutup mulut gue yang sudah enggak tahan ingin teriak, meneteskan air mata bahagia, hingga akhirnya tepuk tangan. EPIC MOMENT!
ADVERTISEMENT
Namun pada akhirnya, tangis kesedihan yang amat-amat dalam pun datang ketika gue harus merelakan Iron Man alias Tony Stark merelakan hidupnya demi menyelamatkan dunia. Ya, orang yang dulu dianggap Captain America bukan hero sesungguhnya, it’s turn out dia mau merelakan hidupnya, keluarganya, untuk kehidupan yang lebih baik bagi manusia di muka bumi.
Avengers: Endgame menjadi film paling epic yang pernah gue saksikan. Walaupun banyak orang mungkin berkata lebay, tapi lewat film ini gue bisa merasakan berbagai perasaan hanya dalam satu waktu. Ditambah lagi, ini adalah kali pertama gue bener-bener nangis sampai segitunya di dalam bioskop.
But anyway, dengan berakhirnya Avengers: Endgame, berarti berakhir juga Infinity Saga yang telah menemani penikmatnya dengan 22 film. Sekarang, tinggal menunggu, apa yang akan dilakukan dan dibuat oleh Marvel selanjutnya.
ADVERTISEMENT
N.R.P