Hujan dari Hati

Nuamirul Abidin
Mahasiswa Keperawatan Universitas Airlangga semester 2
Konten dari Pengguna
7 Maret 2023 9:42 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nuamirul Abidin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hujan deras. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hujan deras. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Hai namaku adalah Anita, lebih tepatnya Anita Putri Andini. Bapakku memberikan nama Anita agar aku senantiasa bahagia. Tapi, kenyataannya Bapak juga yang merenggut kebahagiaanku.
ADVERTISEMENT
Semua orang mengatakan bahwa masa kecil adalah masa yang sangat menyenangkan. Agenda masa kecil hanya sekolah, bermain, makan, dan tidur. Kita bisa tertawa lepas tanpa ada hal yang memenuhi pikiran. Nyatanya tidak semua orang bisa merasakan indahnya masa kecil.
Jujur, cerita ini aku tulis dengan penuh derai air mata yang menemani. Tanganku terus saja bergetar. Mencoba bertahan meskipun batin tersiksa. Mengoyak hati, menahan perih demi menyelesaikan kisah ini.
Ini adalah kisahku, kisah di mana aku menjalani masa kecil dengan penuh penderitaan. Kebanyakan anak kecil menginginkan mainan dan baju baru. Berbeda dengan diriku, aku hanya menginginkan Bapak bertanggung jawab sebagai kepala keluarga. Ketidakpedulian Bapak membuatku dan Ibu begitu sengsara. Pedih sekali hati ini ketika harus mengingatnya.
ADVERTISEMENT
Semua berjalan seperti biasannya. Aku yang pergi sekolah dan Bapak yang menghilang entah ke mana. Aku mengira cukup sampai di sini saja penderitaan kami, tapi semua itu salah. Seperti tidak ada rasa puas dalam diri Bapak untuk menyakiti kami.
Aku tidak tahu betapa hancurnya perasaan Ibu ketika melihat Bapak membawa wanita itu pulang bersamanya. Wanita yang membuat kedua orang tuaku berpisah. Benar sekali, wanita itu adalah istri kedua Bapakku.
“Kenapa kasih sayang yang harusnya kamu berikan kepadaku malah kamu berikan kepada wanita ini, Mas?!” tangan lembut Ibu menutup mulut rapat-rapat mencoba menahan.
Ibu menangis sesenggukan. Aku mengintip mereka di balik tirai kamar. Pikiranku belum mengerti saat itu. Tapi melihat air mata Ibu yang terus mengalir deras membasahi pipinya membuat jiwaku terguncang.
Ilustrasi Hujan. Foto: Shutterstock
Setelah kejadian itu, aku tidak pernah melihat Bapak lagi. Bapak meninggalkan kami bersama luka yang dibuatnya. Meskipun begitu, kehidupan harus terus berjalan. Ibu mencoba berdagang keliling untuk menutup kebutuhan kami.
ADVERTISEMENT
Aku mengenal Ibu sebagai sosok wanita yang sangat kuat. Setiap hari, Ibu selalu bangun mendahului matahari untuk mempersiapkan dagangannya. Semua itu membuat badan Ibu semakin kurus setiap harinya. Saat itu, aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Sebelum berangkat sekolah, aku harus berkeliling desa dengan berjalan kaki untuk menjual nasi bungkus buatan Ibu. Setiap pagi, aku harus kejar-kejaran dengan waktu. Di satu sisi, aku harus menjual habis nasi bungkus dan disisi lain, aku tidak mau terlambat sekolah.
Bukan hanya itu, sepulang dari sekolah aku masih harus membantu Ibu menjajakan dagangannya. Panas matahari yang menyengat kulit dan dinginnya musim penghujan sudah menjadi makananku sehari-hari. Belum lagi, aku harus mencari kayu bakar jika Ibu tidak punya cukup uang untuk membelinya.
ADVERTISEMENT
“Anita, aku mau beli.”
Itu adalah Zahra, teman baikku di sekolah. Meskipun tinggal di lingkungan yang sama, tapi kehidupan kami jauh berbeda. Zahra lahir di keluarga yang sangat harmonis. Kedua orang tuanya penuh dengan kasih sayang. Terutama ayahnya yang bertanggung jawab atas kehidupan Zahra.
“Mau beli apa, Ra?” ucapku sembari menurunkan nampan bambu dari atas kepalaku.
“Aku mau beli pisang goreng lima ya, Nit,” kata Zahra.
“Oh iya, Nit. Aku sekalian mau berpamitan sama kamu. Aku mau lanjut mondok di pesantren temannya ayahku. Kalo kamu mau lanjut SMP di mana, Nit?” lanjutnya.
Ilustrasi gorengan. Foto: Istimewa
Badanku terdiam kaku seketika seperti ada petir yang menyambar. Aku tidak pernah sekalipun berpikir untuk melanjutkan sekolah. Untuk makan saja sudah susah, apalagi harus melanjutkan sekolah, aku tidak ingin memberatkan ibuku.
ADVERTISEMENT
Zahra sangat beruntung. Dia bisa bersekolah dan belajar agama sekaligus tanpa harus memikirkan hal lain.
Kepalaku rasanya pusing sekali. Aku ingin melanjutkan sekolah, aku ingin belajar agama, dan aku ingin bisa mengaji. Tapi semua itu adalah angan-angan belaka. Keputusanku untuk berhenti sekolah dan mengaji semakin bulat ketika aku melihat Ibu yang sering sakit-sakitan.
Aku tidak tahu sebetapa besarnya cinta Ibu ke Bapak. Laki-laki itu sudah menyakitinya berulang kali. Tapi perasaan cinta Ibu tidak pernah sirna. Ibu belum bisa benar-benar mengikhlaskan Bapak. Entah perasaan benci atau rindu yang memenuhi pikiran Ibu.
Malam itu, aku mengetahui sosok Ibu yang sebenarnya. Aku hanya bisa menutup mata, menahan sakit, dan berharap ini semua hanyalah mimpi. Ibu menangis. Suara tangisan Ibu membangunkan tidurku. Aku berpura-pura tidur meskipun dada ini sesak merasakan rasa sakit yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
***
Kini aku sudah tumbuh dewasa, aku sudah menikah dengan laki-laki pilihanku. Nasibku tidak banyak berubah. Menjadi orang yang tidak berpendidikan membuatku dipandang sebelah mata. Aku dicap sebagai seseorang yang gagal.
Berbeda sekali dengan Zahra, dia sudah menjadi wanita yang sukses dan mempunyai bisnis sendiri. Dari bisnisnya itu, Zahra menjadi wanita yang kaya-raya dan sering berbagi kepada semua orang.
Zahra juga sering mengajak kami satu kampung untuk pergi berlibur bersama. Bahkan, Zahra dapat menunaikan rukun islam yang kelima. Tidak hanya itu, Zahra selalu memimpin di setiap acara, seperti pengajian, selawatan, dan berbagai acara keagamaan lainnya.
Azan maghrib berkumandang, aku tidak pandai mengaji tapi aku selalu menunaikan salat. Biarlah aku sengsara di dunia, tapi tidak di akhirat. Rumahku dan Zahra bersebelahan.
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi kebiasaanku menunggunya untuk berangkat bersama ke masjid dengan berjalan kaki. Di setiap kesempatan, aku selalu menunggu Zahra. Tapi tidak sekalipun Zahra menunggu untuk orang lain.
Ilustrasi Masjid. Foto: AFP
Langit terlihat sangat cerah petang ini, bintang-bintang terlihat bertebaran di angkasa. Senyuman kecil Zahra sama seperti biasanya.
“Ayo berangkat, Nit.”
“Mari, Umi.” Aku memanggil Zahra dengan sebutan Umi. Panggilan Umi sangat pantas untuk Zahra melihat pencapainnya selama ini.
Aku berjalan tepat di belakangnya melihat punggung Zahra yang terselimuti sajadah dengan semerbak harum bunga melati. Semua orang menyapa Zahra dengan nada yang sangat lembut, senyuman semua orang menghiasi sepanjang jalan.
Perasaanku tidak nyaman. Padahal aku sedang berjalan menuju rumah Allah SWT. Rasanya seperti aku melupakan sesuatu yang sangat penting. Semua kegelisahan aku tumpahkan di dalam sujud. Bersyukur atas apa yang Allah SWT telah berikan kepadaku.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba, kilat menyambar diikuti dengan suara guntur yang menggelegar mengagetkan semua orang. Langit cerah berubah menjadi gelap gulita.
Hujan turun dengan sangat lebat. Angin berembus kencang seperti memperlihatkan amarahnya. Kami semua terjebak, tidak bisa pulang. Tapi semua itu salah. Bukan kami yang terjebak, tapi hanya aku yang terjebak di sini.
Semua orang menawarkan payung kepada Zahra. Mereka berebut untuk bisa mengantarkan Zahra pulang.
“Ini, Umi, pakai payung saya saja,” kata seorang tetangga menawarkan payungnya.
“Payung saya saja, Umi. Payung saya lebih lebar,” timpal yang lain.
Zahra memilih payung yang paling lebar. Payung itu pasti mampu menjaganya tetap kering dari derasnya hujan sampai tujuan.
Aku hanya menjadi penonton. Menonton semua orang yang mencoba menawarkan payungnya kepada Zahra. Tapi tidak ada satu orang pun yang menawarkan payungnya kepadaku.
ADVERTISEMENT
Mereka semua pergi begitu saja, tidak sekalipun orang yang melirikku. Mereka semua seperti menganggapku tidak pernah ada. Aku tahu, aku bukan orang yang berpendidikan, aku bukan orang yang berada, dan aku tidak punya apa-apa untuk dibagikan kepada semua orang seperti apa yang Zahra lakukan.
Ilustrasi musim hujan. Foto: Shutter Stock
Sakit sekali hati ini ketika harus mengetahui kenyataan pahit yang terus mengikuti kehidupanku. Perasaan sedih dan kecewa yang menyelimuti hati. Sepahit inikah hidupku. Kedinginan, sendirian, tidak ada orang yang mendengarkan.
Dinginnya angin malam berkolaborasi dengan angin kencang menusuk kulitku. Meringkuk sendirian meratapi kesedihan. Lengkap sudah penderitaanku.
Suara derasnya hujan berhasil meredam tangisku. Tangis yang penuh dengan arti di setiap tetesannya. Tangis yang menjadi doa ketika lisan tidak mampu berkata-kata.
ADVERTISEMENT
Aku bertanya dalam hati, napasku tercekat. Semua ini kesalahan Bapak atau diriku sendiri? Entah siapa yang harus disalahkan jika sudah seperti ini.
Biarlah aku dipandang sebelah mata oleh mereka. Aku percaya, bahwa manusia di mata Allah adalah sama dan setara. Semuanya memiliki derajat yang sama di mata Allah seperti yang telah terkandung di QS. Al-Hujurat ayat 13.