news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Salahkah Wanita Mempercantik Wajah?

Nukila Evanty
Executive Director Women Working Group (WWG)
Konten dari Pengguna
23 Juli 2019 10:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nukila Evanty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wanita mempercantik wajah. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wanita mempercantik wajah. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Evi Apita Maya, seorang calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB), dibawa ke ranah hukum MK (Mahkamah Konstitusi) oleh lawan politiknya karena dianggap melakukan kebohongan publik dengan memanipulasi foto pada spanduk pencalonan. Dilansir dari media online Senin (15/7) dan Selasa (16/7), menurut penggugat, foto Evi Apita Maya tersebut dianggap 'terlalu cantik' karena proses editing yang di luar batas wajar.
ADVERTISEMENT
Evi Apita Maya tentu saja membela diri pada sidang sengketa yang diselenggarakan oleh MK dan mengungkapkan bahwa semua caleg (calon legislatif) di Pemilu 2019 melakukan tindakan yang sama, yaitu mengedit foto, seperti yang ditulis media online, Minggu (18/7).
Masalahnya adalah mengapa mempermasalahkan wajah cantik (walau diedit) sebagai alasan ketidakjujuran kemenangan Evi Apita Maya? Apakah hanya karena wajah cantik sehingga Evi Apita Maya terpilih?
Mempercantik diri dengan make-up, teknologi kecantikan dan aplikasi
Beberapa perempuan melakukan rutinitas untuk mempercantik diri atau memperindah diri, yaitu dengan ber-makeup, memakai pelembab, menggunakan krim penyamar noda, memoleskan bedak, memoleskan pemerah pipi, melentikkan dan menebalkan bulu mata dengan maskara, menajamkan dan memperjelas batas mata dengan eyeliner hingga memperindah bibir dengan lipstik.
ADVERTISEMENT
Beberapa perempuan yang lain lebih memilih untuk hanya memakai pelembab wajah saja, atau mengoleskan sun block untuk melindungi kulit dari sinar matahari atau beberapa pilihan untuk merias diri. Ada juga perempuan lainnya lebih memilih tampil tanpa memoleskan apa-apa di wajahnya. Ya, itu adalah pilihan dengan berbagai alasan dan kondisi yang melekat pada mereka.
Belum lagi dengan banyaknya media iklan kecantikan di televisi dan "tekanan" dari industri kecantikan yang tanpa henti. Maka, bermunculan pula produk seperti penutup uban dengan pilihan bermacam warna rambut, produk penebal alis, lip gloss yang disebut bisa membuat bibir lebih cerah, hingga maskara yang beraneka warna. Iklan-iklan kecantikan juga menjadi suatu daya tarik yang pada akhirnya mendorong perempuan untuk mencoba suatu produk kecantikan.
Ilustrasi alat kecantikan. foto: pixabay
Iklan-iklan tersebut bahkan menyampaikan pesan yang bersifat subyektif seperti; kita (perempuan) disuruh terlihat lebih muda, lebih cerah kulit wajah, lebih halus, tubuh lebih langsing, lebih seksi, lebih tinggi, lebih tipis, lebih gelap, sehingga pada akhirnya perempuan menjadi terdorong untuk memakai makeup setiap hari. Perempuan didorong salah satunya oleh pesan subyektif iklan bahwa terlihat lebih tua itu kurang menarik, tanpa menggunakan lipstik maka wajah kelihatan pucat atau kulit kusam itu kurang menyenangkan bila dipandang mata .
ADVERTISEMENT
Kemudian, sekitar tahun 2015-an (dapat diperdebatkan), booming anti aging di Indonesia. Bermunculan treatment kecantikan dengan memanfaatkan teknologi kecantikan yang cepat dan serba instan. Klinik-klinik kecantikan pun menawarkan berbagai macam produk, seperti laser pengencang wajah (rejuvenation) dan laser untuk perawatan kulit lainnya, tarik benang wajah, suntik botox, filler, sulam alis dan lain-lain. Perempuan dan laki-laki bahkan ingin diri mereka terlihat menarik dan segar di hadapan publik atau tampil di sosial media.
Walaupun produk anti aging ini bisa disebut relatif mahal dan kadang membutuhkan biaya perawatan yang konsisten. Bahkan, klinik-klinik kecantikan ini mendapatkan konsumennya tersendiri dan selalu menawarkan teknologi dan temuan untuk mempercantik diri. Buat yang mempunyai budget lebih, dapat melakukan operasi plastik dan treatment kecantikan di Korea Selatan dan Jepang sebagai tempat di Asia yang menjadi tren new face of beauty. (Nikkei, Asian review, September 2018)
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, muncul juga teknologi aplikasi dengan kamera, mempercantik diri dengan proses editing dan dengan teknik fotografi, selanjutnya Photoshop dan kemunculan aplikasi kamera android yang dapat menyulap foto kita menjadi menarik dengan cepat, dengan beragam pilihan filter, face slimming effects, menyamarkan jerawat dan lain-lain.
Teknologi mempercantik diri ini tak dapat dibendung satu persatu karena telah banyak dipergunakan baik perempuan maupun laki-laki, serta menimbulkan kebahagiaan bahkan kepercayaan diri bagi penggunanya.
Ilustrasi diskriminasi. foto: pixabay
Seksisme dan Misogini; Mendiskriminasikan Perempuan
Tindakan seksisme (sexism) dan berprasangka terhadap perempuan di masyarakat juga menjadi penyebab bahwa perempuan selalu menjadi objek celaan tanpa memandang intelektual, kerja keras dan kapasitas perempuan tersebut yang mampu bersaing atau menjadi pemimpin.
Seksisme juga menjadi penyebab bahwa jenis kelamin tertentu lebih unggul atau lebih berharga daripada jenis kelamin lainnya. Sehingga membatasi bahwa perempuan hanya bisa melakukan tindakan tertentu saja seperti mempercantik diri, karena dengan kecantikan serta daya tarik tertentu bisa memenangkan suatu pemilihan di suatu organisasi, menjadi pemimpin di suatu perusahaan atau memenangkan suatu pemilihan umum dan politik. Ini lah yang disebut budaya patriarki atau dominasi laki-laki.
ADVERTISEMENT
Bentuk ekstrem dari ideologi seksis adalah misogini atau kebencian terhadap perempuan.
Kate Manne dalam bukunya 'Down Girl, the logic of misogyny' (2017), menyebutkan bahwa misogynists sering menetapkan landasan moral yang tinggi bahkan terhadap perempuan dengan mempertahankan status quo bahwa mereka adalah orang yang paling benar, lebih unggul secara sosial dan moral dari perempuan yang menjadi target mereka. Bahkan, perilaku yang paling misoginis adalah memusuhi perempuan yang dianggap melanggar norma "patriarki" dan standar masyarakat tentang kecantikan yang dianggap melebihi kewajaran.
Misogynists ini berpandangan bahwa perempuan selalu melakukan sesuatu yang salah, bahkan mereka lah seolah-olah secara moral yang paling benar.
Nina Renata Aron dalam artikel di New York Times yang berjudul 'What does Mysogyny Look Like?' diterbitkan 8 Maret 2019, menjelaskan bahwa misogini adalah istilah yang muncul pada abad 17 sebagai tanggapan terhadap pamflet anti perempuan yang saat itu ditulis oleh seorang guru dari Inggris bernama Joseph Swetnam.
ADVERTISEMENT
Tulisan Swetnam adalah tuduhan bahwa perempuan cabul adalah perempuan yang tidak taat. Tulisan Swetnam tersebut mendapatkan banyak protes pada saat itu, bahkan dalam sebuah pertunjukan drama feminist yang ditulis secara anonim, menyebut Swetnam sebagai The Woman-Hater (Pembenci Perempuan atau Misogini) .
Selanjutnya, istilah misogini tidak banyak digunakan selama beberapa abad berikutnya, tetapi pada pertengahan tahun 1970-an istilah misogini ini muncul kembali dengan munculnya kritik Andrea Dworkin pada tahun 1974, yaitu “Woman Hating.”
Dalam buku tersebut, Dworkin berpendapat bahwa timbulnya prasangka membenci perempuan telah mendarah daging dalam aspek-aspek kehidupan suatu masyarakat sampai dengan pembentukan kebijakan hukum yang tidak pro-perempuan. Dworkin menyebut bahwa masih banyak masyarakat yang menganggap perempuan rendah, perempuan menjadi korban kekerasan yang terus menerus dan perempuan akan terus dikenai sanksi.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1980-an dan 90-an, tulisan Dworkin yang tajam tersebut juga merefleksikan pengalaman sehari-hari perempuan pada saat itu. Pemahaman tentang kebencian terhadap perempuan ini secara terstruktur menjadi ide yang dipegang oleh kalangan feminis pada saat itu. Individu, terutama laki-laki yang membenci perempuan, selalu akan muncul di tengah masyarakat dan selalu akan menggunakan alasan tertentu untuk meminggirkan perempuan. Perempuan dianggap gila jika menginginkan keadilan (kutipan Dworkin tahun 1997).
Sehingga seksisme dan misogini tersebut akan menjadi budaya yang menghambat ke depan perempuan-perempuan hebat di bidangnya dan hanya akan dinilai serta diberi label karena dia cantik, dia menarik sehingga menjadi tambah pantas dia menempati posisi tertentu.
Menilai perempuan karena dia cantik maka dia dipilih dan kemudian menang serta mendapatkan suara pemilih, serta selanjutnya membawa ke ranah hukum adalah sesuatu penghakiman untuk menilai perempuan dari sisi fisiknya saja dan mengabaikan prestasi perempuan lainnya. Mengapa tidak bisa melihat hal-hal yang lebih positif dari sisi perempuan tersebut, yaitu kemampuan, kecerdasan dan kepribadiannya?
ADVERTISEMENT