Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Dari Zonasi hingga Jurusan Sekolah: Besarnya Wewenang Menteri Pendidikan
14 April 2025 14:33 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nur Fauzi Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kalimat di atas terdengar layaknya seperti anekdot, hal demikian biasanya diucapkan ketika tiap pergantian pemerintahan Presiden yang diikuti dengan pergantian menteri. Dalam sejarahnya, di setiap pergantian menteri yang membidangi pendidikan, biasanya diikuti dengan pergantian pula terhadap kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh pendahulunya.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, terdapat beberapa contoh bergantian dalam kebijakan yang diambil mulai dari pergantian pada kurikulum beserta dengan nomenklaturnya, pergantian pada program manfaat beasiswa, hingga pada pergantian zonasi dalam proses penerimaan peserta didik baru. Terbaru, Menteri pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) melontarkan wacana untuk mengembalikan jurusan peserta didik setingkat SMA dengan memberlakukan kembali jurusan IPA,IPS, dan Bahasa.
Pangkal Kebijakan yang Terus Berganti
Pasca Reformasi, kementerian yang memegang urusan pendidikan nasional selalu mengalami restukturisasi hampir di setiap pergantian pucuk pemerintahan. Dalam rentan 2004-2025, tercatat sudah terjadi empat kali pergantian nomenklatur kementerian, mulai dari Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, hingga teranyar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.
ADVERTISEMENT
Pergantian nomenklatur kementerian tersebut tentu diikuti dengan restukturisasi pemangku urusan-urusan yang mengampu bidang tertentu. Sebagai contoh, dengan adanya penggabungan atau pemisahan kementerian maka berkonsekuensi pada perubahan target capaian, mata anggaran, dan stuktur jabatan yang mengurusi suatu bidang. Pergantian nomenklatur juga jika tidak disiasati dengan baik akan menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan atau sebaliknya, akan terjadi kekosongan kewenangan terhadap suatu urusan.
Nomenklatur kementerian, terlepas dari faktor politis, seyoginya menunjukan bagaimana prioritas pemerintahan dan sudut pandang dalam menjalankan target-target capaian dalam suatu bidang. Sebagai contoh, keputusan untuk mengembalikan dua urusan yaitu pendidikan dan kebudayan bermaksud supaya pendidikan dan kebudayan (Culture-Education) agar dibangun secara sinergis dan tersinkronisasi.
Perubahan baik berupa peleburan, penggabungan, ataupun menciptakan kewenangan baru perlu dilakukan atas dasar adanya urusan yang perlu diselesaikan. Hal demikian seyogianya tidak dilakukan atas dasar membagi jatah kekuasaan politik pada koalisi.
ADVERTISEMENT
Kekosongan Blue Print Pendidikan Nasional
Meskipun Indonesia sudah memiliki Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai instrumen hukum perencanaan, akan tetapi secara substansi kedua dokumen tersebut tidak menyebutkan mengenai kurikulum, sistem pendidikan, serta mengenai tata laksana pendidikan. Hal tersebut diperpanjang dengan ketiadaan Blue Print pendidikan sebagai arah pembangunan pendidikan jangka panjang nasional.
Pendidikan nasional dalam praksis berbagai negara di dunia membutuhkan blueprint sebagai bagian integral dari perencanan jangka panjang. Kurikulum dan kebijakan pendidikan memang dapat berganti seiring dengan perkembangan zaman dan pergantian pemangku jabatan, akan tetapi tanpa kejelasan kerangka arah pembangunan pendidikan yang jelas akan menyebabkan sistem pendidikan menjadi kehilangan arah.
Terlebih, eksekusi program pendidikan acapkali berakhir seiring dengan berakhirnya masa jabatan pejabat yang menaungi, sehingga potensi bergantinya arah kebijakan tanpa adanya fondasi kebijakan yang matang akan mengakibatkan kebijakan pendidikan berpotensi berganti-ganti sesuai dengan tren kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Besarnya Kewenangan Menteri
Mengenai kurikulum, saat ini instrumen hukum yang diberlakukan adalah melalui peraturan menteri. Peraturan yang saat ini eksis ialah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. Hal yang diatur dalam permen ini ialah pemberlakuan Kurikulum Merdeka yang dicanangkan oleh Nadiem Makarim, selaku menteri yang membidangi pendidikan saat itu.
Dengan mengatur kurikulum melalui peraturan setingkat peraturan menteri secara politik hukum menunjukan betapa besarnya peran menteri yang memnbidangi urusan pendidikan untuk mengatur, termasuk juga mengubah kurikulum yang berlaku. Hal demikian membawa kebijakan pendidikan pada tren ganti menteri, ganti kebijakan.
Selain itu, secara ilmu perundang-undangan, muatan dari peraturan menteri haruslah bersifat teknis dan tidak dapat membuat penormaan baru. Muatan peraturan menteri haruslah didasari oleh pendelegasian ataupun bentuk atribusi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan batasan kewenangan yang dimiliki oleh tupoksi menteri yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Memang, dalam aaturan yang lebih tinggi, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 yang mengatur mengenai Standar Nasional Pendidikan. Kendati begitu, dalam peraturan pemerintah tersebut tidak diatur megnenai keberlakuan dari kurikulum yang berlaku.
Peraturan pemerintah No. 57 Tahun 2021 merupakan aturan delegasi dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), kendati begitu, UU Sisdiknas sayangnya tidak memberikan perintah untuk mengatur penetapan kurikulum melalui peraturan perundang-undangan yang jelas.
Momentum Perbaikan Melalui Revisi RUU Sisdiknas
Pembahasan RUU Sisdiknas yang sudah dimasukan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025 sejatinya menjadi momentum penting untuk memperbaiki tata kelola penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Pengaturan mengenai peran menteri yang membidangi pendidikan, penetapan kurikulum, serta tata kelola pendelegasian wewenang menjadi hal urgen di samping masalah sistemik seperti kesejahteraan pendidik, pendidikan inklusif, kekerasan di dunia pendidikan, hingga jalur pendidikan formal, non formal, dan informal.
ADVERTISEMENT
Mengingat tren pergantian kebijakan yang terjadi, utamanya mengenai hal-hal esensi seperti kurikulum, termasuk pula adanya pengelompokan jurusan seperti IPA, IPS, dan Bahasa, serta terusnya perdebatan mengenai zonasi saat penerimaan siswa baru sehingga menjadi perlu untuk meningkatkan pengaturan tersebut tidak melalui peraturan menteri. Menurut saya, penggunaan instrumen hukum berupa peraturan pemerintah dalam menentukan kurikulum, jurusan, serta jalur masuk melalui peraturan pemerintah adalah langkah yang tepat.
Hal tersebut didasari pada dua alasan. Pertama, penggunaan peraturan pemerintah membatasi tren ‘ganti menteri, ganti kebijakan’ sebagaimana lazim terjadi dewasa ini. Di samping itu, penggunaan peraturan pemerintah juga tidak terlalu rigit dalam proses pergantiannya sehingga masih tetap dapat menyesuaikan perkembangan zaman.
Kedua, secara tata perundang-undangan, muatan peraturan pemerintah adalah tindak lanjut dari undang-undang, baik berupa aturan delegasi (mengenai urusan yang disebutkan secara jelas) maupun atribusi (memberikan kewenangan pada pejabat terkait untuk menjalankan suatu urusan). Sehingga dalam hal ini penetapan kurikulum langsung merujuk pada ketentuan mengenai kurikulum yang diatur oleh UU Sisdiknas.
ADVERTISEMENT
Di akhir, kebijakan soal pendidikan merupakan kebijakan yang membutuhkan proses lama untuk menuai hasilnya. Oleh karenanya, perbaikan mengenai sistem pendidikan, termasuk pula blue print pendidikan nasional amat sangat penting untuk mencegah arah pendidikan yang hilang arah. Perlu adanya upaya secara terstuktur, sistematis, dan masif guna mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia, yang dimulai dari perbaikan tata kelola penyelengaraan pendidikan, hingga ke proses pembelajaran di sekolah. Sehingga perlu kembali ditegaskan bahwa kebijakan pendidikan yang berkesinambungan menjadi amat sangat penting untuk diberlakukan.