Konten dari Pengguna

Mencegah Pendidikan Inklusif yang "Sekadar Nama"

Nur Fauzi Ramadhan
Co-Founder Asah Kebijakan Indonesia, Civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Alumni Sekolah Staf Presiden, Konsultan hukum dan kebijakan.
30 April 2025 13:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Fauzi Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pendidikan yang Inklusif. Sumber: Foto Pribadi (Canva)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pendidikan yang Inklusif. Sumber: Foto Pribadi (Canva)
ADVERTISEMENT
Peringatan Hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei bukan sekadar sebuah seremoni tahunan, melainkan sebuah momentum krusial untuk merefleksikan perjalanan panjang dan cita-cita luhur pendidikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di tengah semangat pemerintahan Presiden Prabowo untuk terus memajukan kualitas sumber daya manusia sebagai pilar utama pembangunan bangsa, isu pendidikan inklusif tampil sebagai sebuah imperatif etis dan strategis yang tak terhindarkan. Hal ini menjadi penting untuk menjamin hak setiap individu, tanpa terkecuali penyandang disabilitas untuk mendapatkan akses dan partisipasi penuh dalam pendidikan.
Evolusi pendekatan terhadap peserta didik berkebutuhan khusus di Indonesia telah melalui serangkaian tahapan yang mencerminkan perubahan pemahaman dan respons terhadap keberagaman. Pendekatan dengan melakukan segregasi terhadap siswa berkebutuhan khusus sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan, terutama bagi peserta didik yang secara kemampuan tidak memiliki perbedaan dengan peserta didik lainnya..
Deklarasi Salamanca yang merupakan Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkebutuhan Khusus yang diselenggarakan oleh UNESCO di, Spanyol, menghasilkan kesepakatan yang menegaskan kembali hak setiap anak untuk belajar di sekolah reguler dan menyerukan kepada pemerintah di seluruh dunia untuk mengadopsi prinsip pendidikan inklusif sebagai norma universal.
ADVERTISEMENT
Pendidikan inklusif memberikan kesempatan bagi peserta didik disabilitas untuk dapat belajar di tempat yang sama dengan peserta didik dengan non-disabilitas. Hal ini tidak berarti menghilangkan penyesuaian terhadap kemampuan spesial dari anak dengan kebutuhan khusus tersebut.
Dengan adanya pendidikan inklusif yang memberikan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas untuk mendapat pendidikan bersama teman sebayanya yang non-disabilitas, pada gilirannya dapat secara langsung meningkatkan peluang disabilitas untuk berinteraksi secara aktif di masyarakat yang pada akhirnya meningkatkan kualitas kehidupannya.
Pendidikan Sebagai Jalan
Salah satu masalah sistemik yang dialami oleh hampir sebagian besar disabilitas ialah persoalan stuktural dan kultural secara bersamaan. Individu dengan disabilitas acapkali menghadapi hambatan yang membatasi partisipasi penuh dalam masyarakat, termasuk partisipasi dalam pendidikan, peluang pekerjaan, termasuk pula akses kesehatan yang layak. Hal ini yang menyebabkan disabilitas sebagai akibat dan konsekuensi dari kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Menurut studi yang dilakukan oleh Bank Dunia (2011), tingkat kemiskinan secara global lebih tinggi di kalangan individu dengan disabilitas dibandingkan dengan individu non disabilitas. Hal ini diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik di tahun 2024 sebesar 17,85 persen penyandang disabilitas tidak pernah mengenyam pendidikan.
Oleh karenanya, menjadi sangat relevan bagaimana upaya pemerintah untuk memaksimalkan pendidikan inklusi dengan memberikan kewajiban bagi setiap sekolah untuk menerima peserta didik dengan disabilitas.
Perlu Roadmap yang Jelas
Pendidikan inklusif sebagai satu bagian dari sistem pendidikan nasional, sangat berimbas dengan segala kebijakan yang berkaitan dengan sistem pendidikan secara keseluruhan. Sebagai contoh, perubahan kurikulum akan membuat penyesuaian kembali terhadap layanan yang akan diterima oleh penyandang disabilitas.
Maka dari itu, menjadi sangat penting untuk memikirkan kembali untuk membentuk blue print pendidikan nasional termasuk pula bagaimana menjalankan pendidikan inklusif sebagai sub-bagian di dalamnya. Salah satu hal pokok yang dapat dikolaborasikan dalam hal ini ialah berkaitan dengan bagaimana menciptakan kolaborasi antara pendidikan inklusif dengan dunia kerja.
ADVERTISEMENT
Memang, saat ini sudah terdapat kuota bagi penyandang disabilitas dalam dunia kerja yakni sebesar satu persen untuk perusahaan swasta dan dua persen untuk lembaga pemerintah dan BUMN/BUMD. Kendati begitu, tanpa adanya pendidikan dan pelatihan yang mumpuni, penyediaan kuota khusus akan mempertegas stigmatisasi dari disabilitas itu sendiri.
Kita tentu tidak berharap bahwa angka satu persen dan dua persen kuota khusus hanya dijadikan sebagai kebijakan afirmatif rasa ‘cek kosong’ semata, atau bahkan cara perusahaan untuk sekedar memenuhi kuota supaya mendapatkan insentif pemerintah. Akan tetapi kita menginginkan kebijakan afirmatif tersebut haruslah diiringi dengan kontribusi yang maksimal dari penyandang disabilitas itu sendiri.
Oleh karenanya, kunci dari meniadakan celah antara penyandang disabilitas dengan kebutuhan realitas dunia kerja ialah dengan peningkatan kualitas pendidikan, termasuk dengan pendidikan inklusif dan didukung dengan penguatan kebutuhan yang bersifat khusus. Unit Layanan Disabilitas yang menjadi amanat dari UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas baik yang ditempatkan dalam satuan kerja pendidikan, ketanegakerjaan, maupun layanan sosial sudah seyogianya ikut bahu membahu mengatasi persoalaan ini.
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang perlu dilakukan ialah membuka kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan beserta dengan pengalaman dalam dunia kerja. Tentu hal demikian bukan hanya ‘berbasis proyek’ yang bersifat sekali selesai, melainkan harus dilakukan secara berkesinambungan.
Tetapi yang paling penting, dibutuhkan kebijakan yang berisikan ‘kebijaksanaan’ serta political will yang kuat untuk melakukan kebijakan pendidikan inklusif tersebut.
Maka sudah seyogianya seperti yang saya telah sebutkan sebelumnya, momen Hari Pendidikan sudah seharusnya menjadi refleksi bersama bagi kita sebagai insan pendidikan baik guru, pembuat kebijakan, ataupun pihak-pihak penyuara kepentingan disabilitas itu sendiri. Apakah pendidikan inklusif saat ini sudah benar-benar inklusif? Lalu bagaimanakah strategi untuk mengoptimalkan pendidikan inklusif agar benar-benar inklusif?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan lanjutannya ialah, bagaimana pendidikan inklusif perlu ditingkatkan untuk mempersiapkan disabilitas yang berdaya saing tinggi dan tidak menjadi objek ‘cek kosong’ dalam kebijakan dunia kerja?